Rabu, 24 September 2014

Menyentuh Kelopak Sakura



via kojikisan


Kau hanya tahu tongkang-tongkang kecil ini akan berlayar
Namun kau tak pernah tahu kemana mereka berlabuh di muara yang tepat


Tanggal 27 Mei di media sosial sudah ramai dengan harapan teman sebaya juga, ingat hari ini merupakan pengumuman hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri alias SNMPTN yang baru bisa diakses pukul 12, agak gugup lagi sebenarnya, bekeringaat dingin dan gemetaran, tapi tak apalah aku mencoba berpikir positif, menguatkan diri dan berdoa. Itu sekarang yang aku lakukan.
“ Diterima dimana?” kata itulah yang kerap dilontarkan ibu rumah tangga yang rumpi di bakul sayur dekat rumah kepadaku ataupun di akun-akun media sosial, hingga jengah rasanya telinga ini mendengar dan mulut menjawab. Demi menjaga kesopanan akhirnya kuucap  kata Yogya dengan lirih.
 Semenjak pengumuman, hari liburku serasa hitam putih tanpa warna, dan polos. Ah  mungkin kalau masih ukuran anak SD musim liburan akan pergi keluar kota, bermain masak-masakan sambil membangun tenda di halaman rumah atau bersepedah ramai-ramai dengan teman sebaya keliling kampung. Keadaan berbanding terbalik, kalau toh aku ikut dalam acara anak SD pasti orang akan menganggap masa kecilku kurang bahagia, maka aku hanya diam menghabiskan waktu untuk menonton TV yang penuh berita politik, makan, tidur, cek notification media sosial dan nge-game hampir sehari penuh hingga tiba SMS tawaran untuk rujakan bareng bersama teman masa SMP, secara otomatis aku mengiyakan tawaran itu. Yang penting  kumpul sebelum merantau lagi.
Baru beberapa anak yang datang ke rumah Ninik, kali ini dia menjadi tuan rumah. Aku, Ais, dan Ninik pergi ke dapur untuk menyiapkan bumbu, teman yang lain kebagian mengupas dan memotong buah.
“ Cieee, sudah ada yang mau merantau di bumi keraton nih, keterima di jurusan sejarah murni ya?” celetuk Ais di sela gemringsing gorengan kacang tanah.
“  Honto ni?[1] Wah selamat-selamat, dengar-dengar si Rendra mau merantau lagi ya? Tapi di Jember, kenapa nggak di Jawa timur aja Dis kan enak tuh masih bisa ketemu Rendra kapan aja”. Ninik ikut bicara, melontarkan pertanyaan beruntun. Nama itu disebut lagi, sudah hampir 3 tahun aku tak pernah ada orang yang membicarakannya, apalagi mendengar kabarnya. Rendra, ya nama itu kembali dalam ingatanku lagi.
Apa-apaan ini mayoritas mereka akan berasumsi orang sejarah itu golongan orang-orang yang susah move on terhadap mantan baik itu mantan pacar, mantan calon pacar atau mantan-mantan yang lain, identik dengan insomnia sepanjang malam dan galau berkepanjangan
“ Hehehehe... iya, benarkah? Beruntung sekali dia bisa merantau dari usia belia”. Aku terkejut, sekaligus bengong.
“ Iya, di grup lini masa sudah banyak kabar tuh, ada niat balikan lagi sama si Rend?”sebuah pertanyaan tanpa basa-basi yang cukup menohok dari Ais.
“ Hah? Balikan? Balikan apa? Siang malam aja mau gantian, musim juga ikutan ganti, masak aku harus stuck terhadap seorang anak yang bernama Rendra?” suaraku mencuat tak keruan, salting lebih tepatnya.
“ Wuah, sudah berhasil move on dong, cowok baru dari mana?” Ais dan Ninik menjadi antusias, aku malah wegah menanggapi omongan kalau pembicaraan ini mengarah pada rumpi.
“ Mendapat cowok baru? Jelas, memangnya kamu tidak? See cowok baru dari mulai kakak kelas, teman seangkatan yang kece, dan adik kelas yang unyu-unyu. Mereka semua jadi cowok baruku dengan status teman yang sah.” Jawab ku langsung.
“ Wah, jadi udah taken nih? Sudah gak jomblo lagi.” Suara berisik melatar belakangi omongan barusan
“ Walaupun gak taken, tapi bukan jomblo juga, jangan pernah menyamakan antara jomblo dengan single loh. Kalau single bisa jadi pilihan kalau jomblo jelas nasib, kalau aku sih gak mau dianggap jomblo.” Jawabku sekenanya.
Bumbu rujak sudah siap, mataku beradu sebentar hanya beberapa detik saja ketika mengantarkan bumbu di ruang tamu dengan  sosok 4 tahun lalu. Mata itu tetap saja sendu, tiba-tiba saja aku ingin marah, marah pada waktu yang melemparkan aku kembali pada kenangan lama itu.
ӁӁӁ
            “ Rend, waktu istirahat pertama nanti ikut aku ke perpus, sendiri saja”. Kurasa kalimatku sedikit  apatis, aku tak tahu bagaimana lagi cara menyusun kalimat yang baik karena pikiranku sudah kalut sejak semalam.
            Tanpa menunggu jawaban, aku langsung pergi ke tempat duduk yang jauh dari bangku Rendra, dia bingung dengan maksudku. Iya ini terdengar egois, terkesan mau menang sendiri.
            Bel istirahat sudah lewat dari 5 menit yang lalu, perpustakaan sudah mulai ramai dengan anak-anak yang meminjam novel,diantara puluhan anak yang berjubel itu aku melihat Rendra berusaha menuju kearahku
            “ Kamu ada apa sih?”       
        “ Bukan aku yang ada apa,  tapi kamu yang ada apa dengan... ah, lupakan!” telingaku menangkap getaran aneh dari suaraku. Aku tak sempat menyelesaikan kalimat yang kuucapkan.
            “ Disti, lihat ke arahku, apa yang salah denganku, apa yang salah denganmu, apa yang salah dengan hubungan kita?” Rendra belum paham rupanya.
            “ Tidak, tidak ada yang salah denganmu, mungkin aku yang salah mengartikan. Aku... Aku rasa kita lebih nyaman berada dalam batas pertemanan saja, lebih leluasa untukmu juga untukku.” Mataku penuh, sudah jelas apa yang kukatakan.
            “ Aku balik ke kelas, kau ikut juga atau memilih mematung disana atau bahkan ingin tenggelam bersama buku-buku.” Kataku tanpa  menoleh lagi, dan ku rasa dia memilih untuk mematung sejenak disana.
            Andai, andai saja aku berani mengungkapkannya Rend, mungkin aku tak menumpuk perasaan seperti ini, aku tak membatasi kepada siapapun kamu berteman. Benar, aku tak berhak atas apapun dalam hidupmu, tapi setidaknya kau menjaga perasaan wanita yang menyukaimu, aku memang berharap seperti itu. Sulit rasanya, bahkan menghela napas untuk menahan air mata.
ӁӁӁ
            Tumpukan berkas beasiswa, bersading dengan printer, papercraft anime yang lucu, laptop, dan gelas kopi, HP hampir memenuhi meja yang tak begitu besar.
            “ Disti, tolong kecilkan suara sound mu itu, ibu lagi telpon ke pak de ini.” Ibu mengencangkan suaranya dari ruang tengah.
            “ Inggih bu.” Cepat ku sahut panel pengecil suara. Tak lama kemudian HP ku berjerit nyaring, dari Ais. Ada untungnya juga aku mengecilkan suara sound.
            “ Halo Ais, assalamualaikum, apa kabar?” aku tak sabar menunggu jawaban dari seberang telepon
            “ Waalaikumsalam, hehehehe... baik Dis, kamu tetap sama ya, selalu reaktif kalau di telpon. Eh, jadi berangkat kapan?” Tawa Ais terdengar renyah di telinga
            “ Berangkat besok Ais, bantuin aku gih ngepack barang, nginep sekalian disini kek, atau menemani belanja peralatan untuk besok.”
            “ Bandung-Mojokerto Disti, aku gak sanggup pulang, peluk dari sini saja deh.”
            “ Pakai teleportasi[2] dong, kan cepet.” Aku menyarankannya
            “ Ogah, menyerap banyak energi. Tapi, semoga Allah membarokahi jalanmu Dis.”
            “ Amin, terimakasih doanya Ais,  semoga Allah memberkahi jalanmu juga”
            “ Yah... gak jadi kesini ceritanya?”
            “ Enggak Disti... enggak! See you next time ya, assalamualaikum?”
            “ Waalaikumsalam, thank you atas telpon hari ini. See you next time juga.”
            Pagi buta, adikku yang membawa mobil ini menuju Juanda samar-samar dia menyanyikan lagu Leaving On A Jet Plane sepanjang  jalan. Pukul 5 kami sampai di Juanda kabut dan angin musim kemarau ini memaksaku merapatkan jaket yang ku kenakan.
            Sebelum masuk ke dalam ruang tunggu ku sempatkan untuk memeluk hangat adikku sekali lagi.
            “ Kamu hati-hati ya, jagain bapak ibu, sekolah yang bener, gausah pacaran dulu, gak usah neko-neko, kalo sudah berhasil insyaallah semua gampang.”
            “ Iya mbak, kamu juga hati-hati, jangan kecantol dengan pria sana.” Kuamati sekali lagi dia, tak jauh dibelakang adikku dua orang yang ku kenal berdiri santai.
            “ Ais, katanya gak pulang, katanya lagi di Bandung.” Aku juga membagi pelukan hangat untuknya.
            “ Hehehehe... aku sudah di rumah dari seminggu yang lalu kok, maaf ya?” dia nyengir lebar.
            Satu orang lagi yang berdiri tak jauh dari kami. Rendra. Kuhampiri dia sekedar untuk bersalaman dan pamit.
            “ Mengapa harus pergi lagi?” tanyanya lirih.
            “ Kamu...? nanti biar derik detik jam yang mendidikmu mengerti mengapa kita harus saling pergi."
ӁӁӁ


Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...