Kau
hanya tahu tongkang-tongkang kecil ini akan berlayar
Namun
kau tak pernah tahu kemana mereka berlabuh di muara yang tepat
Tanggal
27 Mei di media sosial sudah ramai dengan harapan teman sebaya juga, ingat hari
ini merupakan pengumuman hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
alias SNMPTN yang baru bisa diakses pukul 12, agak gugup lagi sebenarnya,
bekeringaat dingin dan gemetaran, tapi tak apalah aku mencoba berpikir positif,
menguatkan diri dan berdoa. Itu sekarang yang aku lakukan.
“
Diterima dimana?” kata itulah yang kerap dilontarkan ibu rumah tangga yang rumpi di bakul sayur dekat rumah kepadaku ataupun di akun-akun media sosial,
hingga jengah rasanya telinga ini mendengar dan mulut menjawab. Demi menjaga
kesopanan akhirnya kuucap kata Yogya
dengan lirih.
Semenjak pengumuman, hari liburku serasa hitam
putih tanpa warna, dan polos. Ah mungkin
kalau masih ukuran anak SD musim liburan akan pergi keluar kota, bermain
masak-masakan sambil membangun tenda di halaman rumah atau bersepedah
ramai-ramai dengan teman sebaya keliling kampung. Keadaan berbanding terbalik,
kalau toh aku ikut dalam acara anak SD pasti orang akan menganggap masa kecilku
kurang bahagia, maka aku hanya diam menghabiskan waktu untuk menonton TV yang
penuh berita politik, makan, tidur, cek notification media sosial dan nge-game
hampir sehari penuh hingga tiba SMS tawaran untuk rujakan bareng bersama teman
masa SMP, secara otomatis aku mengiyakan tawaran itu. Yang penting kumpul sebelum merantau lagi.
Baru
beberapa anak yang datang ke rumah Ninik, kali ini dia menjadi tuan rumah. Aku,
Ais, dan Ninik pergi ke dapur untuk menyiapkan bumbu, teman yang lain kebagian
mengupas dan memotong buah.
“
Cieee, sudah ada yang mau merantau di bumi keraton nih, keterima di jurusan
sejarah murni ya?” celetuk Ais di sela gemringsing gorengan kacang tanah.
“ Honto ni?[1]
Wah selamat-selamat, dengar-dengar si Rendra mau merantau lagi ya? Tapi di
Jember, kenapa nggak di Jawa timur aja Dis kan enak tuh masih bisa ketemu Rendra
kapan aja”. Ninik ikut bicara, melontarkan pertanyaan beruntun. Nama itu
disebut lagi, sudah hampir 3 tahun aku tak pernah ada orang yang
membicarakannya, apalagi mendengar kabarnya. Rendra, ya nama itu kembali dalam
ingatanku lagi.
Apa-apaan
ini mayoritas mereka akan berasumsi orang sejarah itu golongan orang-orang yang
susah move on terhadap mantan baik itu mantan pacar, mantan calon pacar atau
mantan-mantan yang lain, identik dengan insomnia sepanjang malam dan galau
berkepanjangan
“
Hehehehe... iya, benarkah? Beruntung sekali dia bisa merantau dari usia belia”.
Aku terkejut, sekaligus bengong.
“
Iya, di grup lini masa sudah banyak kabar tuh, ada niat balikan lagi sama si
Rend?”sebuah pertanyaan tanpa basa-basi yang cukup menohok dari Ais.
“
Hah? Balikan? Balikan apa? Siang malam aja mau gantian, musim juga ikutan ganti,
masak aku harus stuck terhadap
seorang anak yang bernama Rendra?” suaraku mencuat tak keruan, salting lebih
tepatnya.
“
Wuah, sudah berhasil move on dong, cowok baru dari mana?” Ais dan Ninik menjadi
antusias, aku malah wegah menanggapi omongan kalau pembicaraan ini mengarah
pada rumpi.
“
Mendapat cowok baru? Jelas, memangnya kamu tidak? See cowok baru dari mulai kakak kelas, teman seangkatan yang kece,
dan adik kelas yang unyu-unyu. Mereka semua jadi cowok baruku dengan status
teman yang sah.” Jawab ku langsung.
“
Wah, jadi udah taken nih? Sudah gak jomblo lagi.” Suara berisik melatar
belakangi omongan barusan
“
Walaupun gak taken, tapi bukan jomblo juga, jangan pernah menyamakan antara
jomblo dengan single loh. Kalau single bisa jadi pilihan kalau jomblo jelas
nasib, kalau aku sih gak mau dianggap jomblo.” Jawabku sekenanya.
Bumbu
rujak sudah siap, mataku beradu sebentar hanya beberapa detik saja ketika
mengantarkan bumbu di ruang tamu dengan
sosok 4 tahun lalu. Mata itu tetap saja sendu, tiba-tiba saja aku ingin
marah, marah pada waktu yang melemparkan aku kembali pada kenangan lama itu.
ӁӁӁ
“ Rend, waktu istirahat pertama nanti ikut aku ke perpus,
sendiri saja”. Kurasa kalimatku sedikit
apatis, aku tak tahu bagaimana lagi cara menyusun kalimat yang baik
karena pikiranku sudah kalut sejak semalam.
Tanpa menunggu jawaban, aku langsung pergi ke tempat
duduk yang jauh dari bangku Rendra, dia bingung dengan maksudku. Iya ini
terdengar egois, terkesan mau menang sendiri.
Bel istirahat sudah lewat dari 5 menit yang lalu,
perpustakaan sudah mulai ramai dengan anak-anak yang meminjam novel,diantara
puluhan anak yang berjubel itu aku melihat Rendra berusaha menuju kearahku
“ Kamu ada apa sih?”
“ Bukan aku yang ada apa, tapi kamu yang ada apa dengan... ah,
lupakan!” telingaku menangkap getaran aneh dari suaraku. Aku tak sempat
menyelesaikan kalimat yang kuucapkan.
“ Disti, lihat ke arahku, apa yang
salah denganku, apa yang salah denganmu, apa yang salah dengan hubungan kita?”
Rendra belum paham rupanya.
“ Tidak, tidak ada yang salah
denganmu, mungkin aku yang salah mengartikan. Aku... Aku rasa kita lebih nyaman
berada dalam batas pertemanan saja, lebih leluasa untukmu juga untukku.” Mataku
penuh, sudah jelas apa yang kukatakan.
“ Aku balik ke kelas, kau ikut juga
atau memilih mematung disana atau bahkan ingin tenggelam bersama buku-buku.”
Kataku tanpa menoleh lagi, dan ku rasa
dia memilih untuk mematung sejenak disana.
Andai, andai saja aku berani mengungkapkannya
Rend, mungkin aku tak menumpuk perasaan seperti ini, aku tak membatasi kepada
siapapun kamu berteman. Benar, aku tak berhak atas apapun dalam hidupmu, tapi
setidaknya kau menjaga perasaan wanita yang menyukaimu, aku memang berharap
seperti itu. Sulit rasanya, bahkan menghela napas untuk menahan air mata.
ӁӁӁ
Tumpukan berkas beasiswa, bersading
dengan printer, papercraft anime yang
lucu, laptop, dan gelas kopi, HP hampir memenuhi meja yang tak begitu besar.
“ Disti, tolong kecilkan suara sound mu itu, ibu lagi telpon ke pak de
ini.” Ibu mengencangkan suaranya dari ruang tengah.
“ Inggih bu.” Cepat ku sahut panel
pengecil suara. Tak lama kemudian HP ku berjerit nyaring, dari Ais. Ada
untungnya juga aku mengecilkan suara sound.
“ Halo Ais, assalamualaikum, apa
kabar?” aku tak sabar menunggu jawaban dari seberang telepon
“ Waalaikumsalam, hehehehe... baik
Dis, kamu tetap sama ya, selalu reaktif kalau di telpon. Eh, jadi berangkat
kapan?” Tawa Ais terdengar renyah di telinga
“ Berangkat besok Ais, bantuin aku
gih ngepack barang, nginep sekalian
disini kek, atau menemani belanja peralatan untuk besok.”
“ Bandung-Mojokerto Disti, aku gak
sanggup pulang, peluk dari sini saja deh.”
“ Pakai teleportasi[2]
dong, kan cepet.” Aku menyarankannya
“ Ogah, menyerap banyak energi.
Tapi, semoga Allah membarokahi jalanmu Dis.”
“ Amin, terimakasih doanya Ais, semoga Allah memberkahi jalanmu juga”
“ Yah... gak jadi kesini ceritanya?”
“ Enggak Disti... enggak! See you next time ya, assalamualaikum?”
“ Waalaikumsalam, thank you atas telpon hari ini. See you next time juga.”
Pagi buta, adikku yang membawa mobil
ini menuju Juanda samar-samar dia menyanyikan lagu Leaving On A Jet Plane
sepanjang jalan. Pukul 5 kami sampai di
Juanda kabut dan angin musim kemarau ini memaksaku merapatkan jaket yang ku
kenakan.
Sebelum masuk ke dalam ruang tunggu
ku sempatkan untuk memeluk hangat adikku sekali lagi.
“ Kamu hati-hati ya, jagain bapak
ibu, sekolah yang bener, gausah pacaran dulu, gak usah neko-neko, kalo sudah
berhasil insyaallah semua gampang.”
“ Iya mbak, kamu juga hati-hati,
jangan kecantol dengan pria sana.” Kuamati sekali lagi dia, tak jauh dibelakang
adikku dua orang yang ku kenal berdiri santai.
“ Ais, katanya gak pulang, katanya
lagi di Bandung.” Aku juga membagi pelukan hangat untuknya.
“ Hehehehe... aku sudah di rumah
dari seminggu yang lalu kok, maaf ya?” dia nyengir lebar.
Satu orang lagi yang berdiri tak
jauh dari kami. Rendra. Kuhampiri dia sekedar untuk bersalaman dan pamit.
“ Mengapa harus pergi lagi?”
tanyanya lirih.
“ Kamu...? nanti biar derik detik jam yang mendidikmu mengerti mengapa kita harus saling pergi."
ӁӁӁ