Kamis, 11 Mei 2017

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI
Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 9-10 Mei. Tentu saja kami harus menyiapkan segala bahan untuk berburu bahan bakar bagi proposal penelitian dan calon skripsi kami. Baik pakaian yang akan di bawa, bahan logistik dan daftar data yang akan dicari. Pada (09-05), kurang lebih menjelang pukul 10.00 kami baru memasuki di wilayah Jakarta Selatan. Gedung tingi menyambut kami yang berada di dalam bis batman, bukan pemandangan yang asing sebenarnya. Namun, apa yang saya lihat saat itu adalah pembangunan infrastruktur di berbagai sisi.
Jakarta sudah menerapkan teknologi hunian dan tata kota vertikal seperti apa yang diproyeksikan oleh orang-orang yang berkutat dengan statistik. Jalan layang, hunian, taman sudah mulai ditata sedemikian rupa. Tentunya untuk sedikit menghambat pembangunan jalan raya, kemudian disediakan transportasi masal berupa Transjakarta (Tj). Mantan plt gubernur Jakarta yang sekarang terdakwa kasus penistaan agama, pernah menganggarkan dana untuk pembelian armada Tj menjadi 3,2 triliun pada 2017 ini. uang sebanyak itu juga akan digunakan untuk menambah tetek-bengeknya, termasuk halte dan penambahan rute. Entah, Jakarta akan berhenti sumpek pada tahun berapa. Kenyataannya, kemarin bus kami terjebak kemacetan yang katanya di luar jam kerja.
Bicara tentang kemacetan Jakarta, jalur Transjakarta yang diterabas, tentunya tak akan pernah habis. Maka, kami amat bersyukur ketika tiba di ANRI dengan selamat pada pukul 11.00. karena sudah teramat siang sampai di tujuan, kami disambut ala kadarnya. Hal tersebut juga menyesuaikan dengan jam layanan yang berlaku di sana (08.00-12.00), kemudian dilanjut (13.00-16.00). Ada dua teman kami yang tiba terlebih dahulu, yaitu Caca dan Inu. Pada mulanya saya tak menyadari kehadiran Inu, karena dia tidak berkabar sebelumnya.
Ada beberapa jenis arsip yang tersedia, dari periode VOC hingga republik. Arsip-arsip tersebut berbentu kertas kolonial, kartografi, mikrofilm, juga berbentuk foto. Namun, sebelum mencari bahan baku tersebut, kami harus mencari jenis arsip yang diinginkan melalui katalog. Pencariannya memakan waktu yang lumayan banyak. Berbeda dengan arsip masa republik yang dapat ditelusuri dengan katalog online, masa kolonial harus dicari secara manual melalui buku inventaris dan guide berdasarkan kementrian yang menaungi, maupun berdasarkan wilayah cakupan. Penelitian saya tentang industri hilir dari pabrik gula yang ada di Jawa Timur, maka saya harus mencari katalog wilayah Surabaya, algemeene secretarie, dan beberapa foto. Arsip perihal pembangunan suikerfabriek  atau spiritus tidak saya temukan. Mungkin waktu itu saya yang kurang telaten untuk mencarinya dengan kosakata lain. Begitu pula dengan asip foto, saya meminta 5 arsip foto. Satu tentang tumpukan ampas tebu di halama Sf. Gempolkrep, tiga foto udara komplek industri di Gudo, Pasuruan dan Surabaya. Dan dua foto udara pabrik minuman keras “Heinekens Nederland Brouwerij” dan Pabrik Nederland Indische produsen Bir Jawa di Surabaya. Baru saya ketahui, bahwa Heinekens adalah cikal bakal dari bir Bintang yang namanya sudah kondang di Jawa, bahkan dekat dengan kehidupan salah seorang teman saya.
Agak kecewa sebenarnya, mengingat proposal saya belum memiliki narasi yang baik. Saya berniat mencetak ulang fotonya, namun membutuhkan waktu selama tiga hari. Saya batalkan. Mbak Abmi- tutor mata kuliah, menenangkan saya dengan pencarian sumber di perpusnas keesokan harinya. Semoga mendapatkan petunjuk dalam perjalanan yang singkat ini. Jam menunjukkan pukul 16.00, kami harus segera berpamitan dan melanjutkan perjalanan ke penginapan.

Jam bebas, kami bebas membicarakan berbagai hal
            Kami bebas mencari kawan tidur di penginapan. Asalkan sesama jenis, dan dalam satu kamar berisi 4 orang. Saya sekamar dengan Retno, sekretaris perjalanan kali ini. Tak banyak yang dapat kami lakukan. Setelah beberes kamar dan membersihkan diri, Retno harus mencetak surat tugas dari jurusan untuk diserahkan ke ANRI dan Perpusnas. Maka berjalanlah kami mencari toko fotokopi ke arah utara dari penginapan. Rupanya daerah yang kami susuri bukanlah daerah kampus atau sesuatu yang mengharuskan banyak toko fotokopi. 20 menit kami menyusuri jalan, masuk ke gang kecil menuju pasar kecamatan di Jakarta Pusat. Belum juga kami temukan, sehingga terpaksa bertanya pada seseorang.
“Adanya warnet di sebelah kanan jalan, setelah jembatan di depan mata itu,” katanya sambil menunju arah yang dimaksud. Kami mengiyakan setelah mengucap terimakasih terlebi dahulu. Saya pikir warung internet (warnet) yang kami kunjungi ramai dengan bocah yang bermain game online. Nyatanya anak-anak tersebut saya jumpai bermain petak umpet di gang-gang yang lebih kecil setelah kami melewati jembatan. Warnet tersebut bersebelahan dengan toko kelontong. Dalam ruangan kurang lebih berukuran 2,5m x 3m, terdapat sekat triplek yang membagi ruangan menjadi sekitar 10 bilik dengan dua kipas angin yang menyala kencang. Hanya ada tiga pengunjung dalam warnet itu, termasuk kami. Saya pikir, jaman kejayaan warnet sudah habis di tahun 2010, itu karena sudah banyak yang menggunakan sambungan wi-fi. Itu juga berdasarkan pengamatan saya di beberapa warnet dekat rumah liburan semester lalu. Sekarang internet sudah terletak dalam satu genggaman. Ternyata di ibukota masih ada yang bertahan dengan usaha warnet.
Suara klakson, sorot lampu kendaraan, dan catcalling, agaknya tak terpisah dari malam di Jakarta. Sontak saya teringat dengan percakapan singkat dengan abang gojek yang mengantar saya dari stasiun Pasar Senen- Gambir.
“Kak, jangan keluarkan gawai setelah pukul 20.00 di Jakarta, rawan!” begitu katanya beberapa bulan silam. Retno merapatkan jaket, dan saya menurunkan ujung kerudung.
Di penginapan kami hanya bertemu dengan beberapa teman laki-laki, pasti para teman perempuan sedang jalan-jalan malam. Betul saja, beberapa teman memang sedang berada di Grand Indonesia, itu saya ketahui dari update instagram story mereka, sedangkan beberapa teman laki-laki menghabiskan sisa malam dengan berkumpul dan mungkin bermain kartu di salah satu toko 24 jam dekat penginapan. Saya memilih tidur setelah mengomentari pilihan baju yang akan dikenakan Retno esok hari, dan nggerundel karena ternyata saya hanya cukup membawa satu pasang baju ganti dan bacaan ringan. Tentu saja, lagu pengantar tidur kali itu bukan lagu indie maupun instrumen bethoven. Tapi sebuah plesetan lagu suporter sepak bola lama berlirik,
Jeng jing kapal udara/
numpak sepur mudun Jakarta/
Jakarta akeh lamuk e/
Tukang becak akeh duwik e/
Duwik e satus selawe ewu/
Ditukokno onde-onde...//

Sebelum subuh, teman kami sudah rusuh membangunkan teman yang lainnya, meskipun kemudian tak ada yang menyahuti. Jakarta pagi itu gerah, tak ada kabut pagi hari, atau semburat jingga di ufuk timur. Tapi, saya berjumpa dengan venus di antara lampu-lampu gedung puluhan lantai tersebut ketika jalan-jalan pagi. Beberapa orang tua juga berolah raga selepas solat subuh di masjid dekat kompleks perumahan mereka. Apalagi yang diharapkan warga ibukota selain belajar menghargai tubuh dan waktu, sebelum terjebak macet selepas pukul 6 pagi. Kalau tidak begitu, pasti muka mereka akan lebih berkerut-kerut dan cepat tua.
Kami duduk di salah satu bangku puja sera. Niat utamanya adalah mencari serabi, namun tak berhasil kami jumpai. Saya dan Retno berbincang panjang lebar, mengkonfirmasi kembali gaya berpakaiannya setelah berusaha menata apa-apa yang pantas dikenakan tubuhnya, juga bercerita tentang secuil pengalaman hidup. Sebuah kesimpulan saya ambil secara diam-diam, ada di luar diri kita yang sudah mengatur semuanya, tentunya ada alasan mengapa kita dilahirkan di dunia. Tugas kita adalah mencari ilmu-Nya, dalam takaran yang seimbang dengan porsi bersyukur. Tentunya, juga perlu pegangan, biar tak tersesat di belantara ilmu dan kasih sayang-Nya.
Menuju Perpusnas, keanggotaan baru dan akses pengetahuan yang hampir tak terbatas

            Saya dan teman-teman banyak bermain-main di sana. Setelah mendapatkan kartu keanggotaan baru yang tercetak tak kurang dari limabelas menit, kami sibuk berlalu-lalang di lift. Beberapa menuju lantai 7 yang berisi koleksi majalah lama, beberapa menuju lantai 5 yang berisi monograf, dan beberapa menuju lantai 3 yang berisi buku rujukan. Saya sendiri menemukan beberapa sumber di lantai 7 berupa buku laporan tahunan pembangunan pada tahun 1903-1905 di Jawa Timur. Sayangnya, tidak sempat saya gandakan dengan cepat. Tetapi untuk melacak keberadaan sumber, kalian bisa mengunjungi pnri dan dapat mengakses setelah mendaftar keanggotaan pastinya.
            Kunjungan kami di perpusnas tidak lama, karena ada kesepakatan lain untuk mengunjungi kota lama Jakarta yang berjuluk Batavia. Namun, perjalanan kami tak begitu mulus. Tak satu orang pun dari kami yang mengetahui lokasi parkirnya, sedangkan beberapa halaman gedung sedang mengalami perbaikan. Nampaknya memang ada peraturan baru perihal penataan parkiran pengunjung sejak 2016 lalu. Sekitar 1,3 km dari museum Fatahillah, tetapi kami terlanjur bersepakat untuk pulang ke Yogyakarta.
Sepanjang tol Cileunyi
            Jujur saja saya tak mengetahui bagaimana cengkok ketika mengatakan Cileunyi. Apakah [e] nya dilafalkan seperti mengatakan kata pelepah? Atau [u] nya dihilangkan, sehingga hanya terdengar Cilenyi saja? entahlah. Sepanjang perjalanan pulang tersebut, kami kebanyakan bergosip. Sesekali saya bertukar cerita dengan Irsyad, pemuda asal kaki gunung dataran tinggi Dieng tentang novel Kuntowijoyo yang dicurinya dari tas Rifqi. Atau sesekali mencuri dengar perbincangan Rowi, Soso, Lala, Nurul dan Inu tentang perkembangan K-Pop. Juga tawa Caca ketika menceritakan kejengkelannya saat mematikan alarm bernada marah-marah dari gawai Khanza. Serta sekali saya pindah duduk di deretan belakang dan mendengarkan gosipan cowok sekelas yang belum beranjak dari bahasan cewek cantik di fakultas.
            Tiga puluh menit terakhir di tol Cileunyi, saya meminta Inu untuk duduk di bangku sebelah. Sebab, kami sudah lama tak bertukar cerita. Teman yang presensinya satu angka lebih awal dari saya itu kadang membuat malapetaka, tak mengikuti ujian karena salah melihat nomor bangku, atau terpaksa harus presentasi lebih awal ketika dia tidak masuk misalnya. Tapi, satu kalimat “apa yang akan kau lakukan di semester mendatang?”, cukup mampu membuka keran obrolan kami.
“Banyak yang datang kepada kita penuh dengan cerita, Ra. Sehingga kita harus meladeni dan menutup apa yang sebenarnya ingin kita bagi,” begitu kalimat pembuka yang terlontar dari mulutnya.
Tak berbeda jauh dengan pesan Sukab kepada Alina dalam sepotong senja yang diletakkan dalam amplop oleh Seno Gumira.
      “...sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi...”
Mungkin ini adalah salah satu bahan refleksi untuk menata kembali keinginan dan pekerjaan yang harus diselesaikan. Inu harus pulang semester ini, ada beberapa urusan yang harus ia selesaikan di rumah. Keikut sertaannya kali ini untuk menyadarkan dirinya yang sempat terperangkap dalam zona nyaman. Bahwa kemudian nanti perlu ada yang diselesaikan di Yogyakarta selepas cutinya selesai. Ada banyak potensi yang perlu dicoba dan ditemukan, ada amanah akademik yang harus dirunutkan. Ada kesempatan komunikasi yang perlu diperbaiki lagi. Ada banyak yang segera dituntaskan bagi dirinya di umur yang sudah menginjak kepala dua.
Begitu pula saya, sudah waktunya mengerjakan satu per satu dengan cermat. Melihat kepadatan ibu kota selama 28 jam membuat saya berpikir bahwa Yogyakarta membuat saya terlena selama dua tahun belakangan. Baik dari lalulintasnya, maupun pembagian waktu 24 jam yang saharusnya digunakan seefisien mungkin. Sudah waktunya saya juga menyelesaikan dan ngeloni ibu. Memberinya kesempatan untuk solat tepat waktu, merawat tanaman sayur di halama depan rumah, dan menikmati tahu kecap kesukaannya sejak masa kanak-kanak, serta menyeruput wedhang teh ketika sore. Percakapan mendalam seperti ini menjadikan saya selalu berada di bawah bayang-bayang orang tua. Entah berupa mengaminkan perkataan mereka atau mengenang dan mencocokkan kondisi saat ini dengan yang lalu. Beberapa terlihat relevan, namun beberapa lainnya kami berbeda cara pandang.

Setelah program KKN selesai, saya harus mengambil beberapa mata kuliah yang perlu didalami. Sembari menyusun langkah, perizinan antara Surabaya-Jakarta hingga pertengahan semester delapan untuk menemukan sumber penguat narasi dan hipotesis, serta menyiapkan diri untuk berjumpa dengan pintu-pintu yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...