Perjalanan menuju gedung ANRI |
Dalam rangka kuliah
lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 9-10 Mei. Tentu saja kami
harus menyiapkan segala bahan untuk berburu bahan bakar bagi proposal penelitian
dan calon skripsi kami. Baik pakaian yang akan di bawa, bahan logistik dan
daftar data yang akan dicari. Pada (09-05), kurang lebih menjelang pukul 10.00
kami baru memasuki di wilayah Jakarta Selatan. Gedung tingi menyambut kami yang
berada di dalam bis batman, bukan pemandangan yang asing sebenarnya. Namun, apa
yang saya lihat saat itu adalah pembangunan infrastruktur di berbagai sisi.
Jakarta sudah
menerapkan teknologi hunian dan tata kota vertikal seperti apa yang
diproyeksikan oleh orang-orang yang berkutat dengan statistik. Jalan layang,
hunian, taman sudah mulai ditata sedemikian rupa. Tentunya untuk sedikit
menghambat pembangunan jalan raya, kemudian disediakan transportasi masal
berupa Transjakarta (Tj). Mantan plt gubernur Jakarta yang sekarang terdakwa
kasus penistaan agama, pernah menganggarkan dana untuk pembelian armada Tj
menjadi 3,2 triliun pada 2017 ini. uang sebanyak itu juga akan digunakan untuk
menambah tetek-bengeknya, termasuk
halte dan penambahan rute. Entah, Jakarta akan berhenti sumpek pada tahun
berapa. Kenyataannya, kemarin bus kami terjebak kemacetan yang katanya di luar
jam kerja.
Bicara tentang
kemacetan Jakarta, jalur Transjakarta yang diterabas, tentunya tak akan pernah
habis. Maka, kami amat bersyukur ketika tiba di ANRI dengan selamat pada pukul
11.00. karena sudah teramat siang sampai di tujuan, kami disambut ala kadarnya.
Hal tersebut juga menyesuaikan dengan jam layanan yang berlaku di sana
(08.00-12.00), kemudian dilanjut (13.00-16.00). Ada dua teman kami yang tiba
terlebih dahulu, yaitu Caca dan Inu. Pada mulanya saya tak menyadari kehadiran
Inu, karena dia tidak berkabar sebelumnya.
Ada beberapa jenis
arsip yang tersedia, dari periode VOC hingga republik. Arsip-arsip tersebut
berbentu kertas kolonial, kartografi, mikrofilm, juga berbentuk foto. Namun,
sebelum mencari bahan baku tersebut, kami harus mencari jenis arsip yang
diinginkan melalui katalog. Pencariannya memakan waktu yang lumayan banyak.
Berbeda dengan arsip masa republik yang dapat ditelusuri dengan katalog online, masa kolonial harus
dicari secara manual melalui buku inventaris
dan guide berdasarkan kementrian
yang menaungi, maupun berdasarkan wilayah cakupan. Penelitian saya tentang
industri hilir dari pabrik gula yang ada di Jawa Timur, maka saya harus mencari
katalog wilayah Surabaya, algemeene
secretarie, dan beberapa foto. Arsip perihal pembangunan suikerfabriek atau spiritus tidak saya temukan. Mungkin
waktu itu saya yang kurang telaten
untuk mencarinya dengan kosakata lain. Begitu pula dengan asip foto, saya
meminta 5 arsip foto. Satu tentang tumpukan ampas tebu di halama Sf. Gempolkrep, tiga foto udara komplek
industri di Gudo, Pasuruan dan Surabaya. Dan dua foto udara pabrik minuman
keras “Heinekens Nederland Brouwerij”
dan Pabrik Nederland Indische produsen
Bir Jawa di Surabaya. Baru saya ketahui, bahwa Heinekens adalah cikal bakal
dari bir Bintang yang namanya sudah kondang di Jawa, bahkan dekat dengan
kehidupan salah seorang teman saya.
Agak kecewa
sebenarnya, mengingat proposal saya belum memiliki narasi yang baik. Saya
berniat mencetak ulang fotonya, namun membutuhkan waktu selama tiga hari. Saya
batalkan. Mbak Abmi- tutor mata kuliah, menenangkan saya dengan pencarian
sumber di perpusnas keesokan harinya. Semoga mendapatkan petunjuk dalam perjalanan
yang singkat ini. Jam menunjukkan pukul 16.00, kami harus segera berpamitan dan
melanjutkan perjalanan ke penginapan.
Jam
bebas, kami bebas membicarakan berbagai hal
Kami
bebas mencari kawan tidur di penginapan. Asalkan sesama jenis, dan dalam satu
kamar berisi 4 orang. Saya sekamar dengan Retno, sekretaris perjalanan kali
ini. Tak banyak yang dapat kami lakukan. Setelah beberes kamar dan membersihkan
diri, Retno harus mencetak surat tugas dari jurusan untuk diserahkan ke ANRI
dan Perpusnas. Maka berjalanlah kami mencari toko fotokopi ke arah utara dari
penginapan. Rupanya daerah yang kami susuri bukanlah daerah kampus atau sesuatu
yang mengharuskan banyak toko fotokopi. 20 menit kami menyusuri jalan, masuk ke
gang kecil menuju pasar kecamatan di Jakarta Pusat. Belum juga kami temukan,
sehingga terpaksa bertanya pada seseorang.
“Adanya warnet di
sebelah kanan jalan, setelah jembatan di depan mata itu,” katanya sambil
menunju arah yang dimaksud. Kami mengiyakan setelah mengucap terimakasih
terlebi dahulu. Saya pikir warung internet (warnet) yang kami kunjungi ramai
dengan bocah yang bermain game online.
Nyatanya anak-anak tersebut saya jumpai bermain petak umpet di gang-gang yang
lebih kecil setelah kami melewati jembatan. Warnet tersebut bersebelahan dengan
toko kelontong. Dalam ruangan kurang lebih berukuran 2,5m x 3m, terdapat sekat
triplek yang membagi ruangan menjadi sekitar 10 bilik dengan dua kipas angin
yang menyala kencang. Hanya ada tiga pengunjung dalam warnet itu, termasuk
kami. Saya pikir, jaman kejayaan warnet sudah habis di tahun 2010, itu karena
sudah banyak yang menggunakan sambungan wi-fi. Itu juga berdasarkan pengamatan
saya di beberapa warnet dekat rumah liburan semester lalu. Sekarang internet
sudah terletak dalam satu genggaman. Ternyata di ibukota masih ada yang
bertahan dengan usaha warnet.
Suara klakson, sorot
lampu kendaraan, dan catcalling, agaknya
tak terpisah dari malam di Jakarta. Sontak saya teringat dengan percakapan
singkat dengan abang gojek yang mengantar saya dari stasiun Pasar Senen-
Gambir.
“Kak, jangan
keluarkan gawai setelah pukul 20.00 di Jakarta, rawan!” begitu katanya beberapa
bulan silam. Retno merapatkan jaket, dan saya menurunkan ujung kerudung.
Di penginapan kami
hanya bertemu dengan beberapa teman laki-laki, pasti para teman perempuan
sedang jalan-jalan malam. Betul saja, beberapa teman memang sedang berada di
Grand Indonesia, itu saya ketahui dari update instagram story mereka, sedangkan
beberapa teman laki-laki menghabiskan sisa malam dengan berkumpul dan mungkin
bermain kartu di salah satu toko 24 jam dekat penginapan. Saya memilih tidur
setelah mengomentari pilihan baju yang akan dikenakan Retno esok hari, dan
nggerundel karena ternyata saya hanya cukup membawa satu pasang baju ganti dan
bacaan ringan. Tentu saja, lagu pengantar tidur kali itu bukan lagu indie
maupun instrumen bethoven. Tapi sebuah plesetan lagu suporter sepak bola lama
berlirik,
Jeng jing kapal
udara/
numpak sepur mudun
Jakarta/
Jakarta akeh lamuk
e/
Tukang becak akeh
duwik e/
Duwik e satus
selawe ewu/
Ditukokno
onde-onde...//
Sebelum subuh, teman
kami sudah rusuh membangunkan teman yang lainnya, meskipun kemudian tak ada
yang menyahuti. Jakarta pagi itu gerah, tak ada kabut pagi hari, atau semburat
jingga di ufuk timur. Tapi, saya berjumpa dengan venus di antara lampu-lampu
gedung puluhan lantai tersebut ketika jalan-jalan pagi. Beberapa orang tua juga
berolah raga selepas solat subuh di masjid dekat kompleks perumahan mereka.
Apalagi yang diharapkan warga ibukota selain belajar menghargai tubuh dan
waktu, sebelum terjebak macet selepas pukul 6 pagi. Kalau tidak begitu, pasti
muka mereka akan lebih berkerut-kerut dan cepat tua.
Kami duduk di salah
satu bangku puja sera. Niat utamanya adalah mencari serabi, namun tak berhasil
kami jumpai. Saya dan Retno berbincang panjang lebar, mengkonfirmasi kembali
gaya berpakaiannya setelah berusaha menata apa-apa yang pantas dikenakan
tubuhnya, juga bercerita tentang secuil pengalaman hidup. Sebuah kesimpulan
saya ambil secara diam-diam, ada di luar diri kita yang sudah mengatur
semuanya, tentunya ada alasan mengapa kita dilahirkan di dunia. Tugas kita
adalah mencari ilmu-Nya, dalam takaran yang seimbang dengan porsi bersyukur.
Tentunya, juga perlu pegangan, biar tak tersesat di belantara ilmu dan kasih
sayang-Nya.
Menuju
Perpusnas, keanggotaan baru dan akses pengetahuan yang hampir tak terbatas
Saya dan teman-teman banyak bermain-main di sana.
Setelah mendapatkan kartu keanggotaan baru yang tercetak tak kurang dari
limabelas menit, kami sibuk berlalu-lalang di lift. Beberapa menuju lantai 7
yang berisi koleksi majalah lama, beberapa menuju lantai 5 yang berisi
monograf, dan beberapa menuju lantai 3 yang berisi buku rujukan. Saya sendiri
menemukan beberapa sumber di lantai 7 berupa buku laporan tahunan pembangunan
pada tahun 1903-1905 di Jawa Timur. Sayangnya, tidak sempat saya gandakan
dengan cepat. Tetapi untuk melacak keberadaan sumber, kalian bisa mengunjungi pnri dan dapat
mengakses setelah mendaftar keanggotaan pastinya.
Kunjungan
kami di perpusnas tidak lama, karena ada kesepakatan lain untuk mengunjungi
kota lama Jakarta yang berjuluk Batavia. Namun, perjalanan kami tak begitu
mulus. Tak satu orang pun dari kami yang mengetahui lokasi parkirnya, sedangkan
beberapa halaman gedung sedang mengalami perbaikan. Nampaknya memang ada
peraturan baru perihal penataan parkiran pengunjung sejak 2016 lalu. Sekitar
1,3 km dari museum Fatahillah, tetapi kami terlanjur bersepakat untuk pulang ke
Yogyakarta.
Sepanjang
tol Cileunyi
Jujur
saja saya tak mengetahui bagaimana cengkok ketika mengatakan Cileunyi. Apakah
[e] nya dilafalkan seperti mengatakan kata pelepah? Atau [u] nya dihilangkan,
sehingga hanya terdengar Cilenyi saja? entahlah. Sepanjang perjalanan pulang
tersebut, kami kebanyakan bergosip. Sesekali saya bertukar cerita dengan
Irsyad, pemuda asal kaki gunung dataran tinggi Dieng tentang novel Kuntowijoyo
yang dicurinya dari tas Rifqi. Atau sesekali mencuri dengar perbincangan Rowi,
Soso, Lala, Nurul dan Inu tentang perkembangan K-Pop. Juga tawa Caca ketika
menceritakan kejengkelannya saat mematikan alarm bernada marah-marah dari gawai
Khanza. Serta sekali saya pindah duduk di deretan belakang dan mendengarkan
gosipan cowok sekelas yang belum beranjak dari bahasan cewek cantik di
fakultas.
Tiga
puluh menit terakhir di tol Cileunyi, saya meminta Inu untuk duduk di bangku
sebelah. Sebab, kami sudah lama tak bertukar cerita. Teman yang presensinya
satu angka lebih awal dari saya itu kadang membuat malapetaka, tak mengikuti
ujian karena salah melihat nomor bangku, atau terpaksa harus presentasi lebih
awal ketika dia tidak masuk misalnya. Tapi, satu kalimat “apa yang akan kau
lakukan di semester mendatang?”, cukup mampu membuka keran obrolan kami.
“Banyak yang datang
kepada kita penuh dengan cerita, Ra. Sehingga kita harus meladeni dan menutup apa yang sebenarnya ingin kita bagi,” begitu
kalimat pembuka yang terlontar dari mulutnya.
Tak berbeda jauh
dengan pesan Sukab kepada Alina dalam sepotong senja yang diletakkan dalam
amplop oleh Seno Gumira.
“...sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi...”
Mungkin ini adalah
salah satu bahan refleksi untuk menata kembali keinginan dan pekerjaan yang
harus diselesaikan. Inu harus pulang semester ini, ada beberapa urusan yang
harus ia selesaikan di rumah. Keikut sertaannya kali ini untuk menyadarkan
dirinya yang sempat terperangkap dalam zona nyaman. Bahwa kemudian nanti perlu
ada yang diselesaikan di Yogyakarta selepas cutinya selesai. Ada banyak potensi
yang perlu dicoba dan ditemukan, ada amanah akademik yang harus dirunutkan. Ada
kesempatan komunikasi yang perlu diperbaiki lagi. Ada banyak yang segera dituntaskan
bagi dirinya di umur yang sudah menginjak kepala dua.
Begitu pula saya,
sudah waktunya mengerjakan satu per satu dengan cermat. Melihat kepadatan ibu
kota selama 28 jam membuat saya berpikir bahwa Yogyakarta membuat saya terlena
selama dua tahun belakangan. Baik dari lalulintasnya, maupun pembagian waktu 24
jam yang saharusnya digunakan seefisien mungkin. Sudah waktunya saya juga
menyelesaikan dan ngeloni ibu.
Memberinya kesempatan untuk solat tepat waktu, merawat tanaman sayur di halama
depan rumah, dan menikmati tahu kecap kesukaannya sejak masa kanak-kanak, serta
menyeruput wedhang teh ketika sore.
Percakapan mendalam seperti ini menjadikan saya selalu berada di bawah
bayang-bayang orang tua. Entah berupa mengaminkan perkataan mereka atau
mengenang dan mencocokkan kondisi saat ini dengan yang lalu. Beberapa terlihat
relevan, namun beberapa lainnya kami berbeda cara pandang.
Setelah program KKN
selesai, saya harus mengambil beberapa mata kuliah yang perlu didalami. Sembari
menyusun langkah, perizinan antara Surabaya-Jakarta hingga pertengahan semester
delapan untuk menemukan sumber penguat narasi dan hipotesis, serta menyiapkan
diri untuk berjumpa dengan pintu-pintu yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar