Kamis, 20 April 2017

Belajar Menjadi Vegetarian



James Sutton/Unsplash




Saatnya Bercerita yang Bukan Tentang Saya

Sudah lama absen menulis yang sedikit bermutu selain berisi ragam gerutuan, kali ini saya mau bercerita tentang seorang teman saya yang mulai belajar menjadi seorang vegetarian.

Siang kemarin hujan rubah, salah seorang teman menyebutnya begitu. Mendefinisikan gerimis berpadu dengan hangatnya cahaya matahari yang bersumber dari mitos. Saya bertemu dengannya lagi di tengah percakapan yang sunyi.

Di antara rinai hujan, saya merobek sampul plastik  buku dan mulai membaca isinya. Sebuah kumpulan esai kebudayaan dari Myra Sidharta, seorang Cina peranakan dengan latar belakang pendidikan psikologi. Bagian pengantarnya sukses membuat jatuh hati dengan gaya kepenulisan dan pemilihan diksinya. Seorang teman, sebut saja Neon, yang kenyang dengan gerutuan saya selama satu semester minta ditemani ke pameran buku di Bentara Budaya. Entah telah menghirup udara dari mana, sehingga ia rela mengalokasikan dana makan menjadi dana untuk berbelanja buku kali ini.
      Ciri utama orang akan kalap membeli buku adalah membawa hampir semua buku bagus yang pertama mereka jumpai. Bagus dalam artian desain sampul atau judul yang sesuai dengan selera masing-masing. Kemudian sebelum sampai di kasir, mereka akan menimbang-nimbang kembali mana buku yang akan dikantongi dan mana buku yang akan dikembalikan dalam tatanan. Momen ini juga digunakan untuk melongok anggaran yang tersimpan dalam dompet. Itu yang kami lakukan sebelum menghampiri kasir. Beberapa buku berjudul sama dengan yang saya ambil, terpaksa ia kembalikan ke tempat semula. Kapan-kapan bisa pinjam, katanya.

Kami berjengit, terlebih melihat nominal yang harus dibayar oleh Neon. Kemudian bingung, besok bayar makan pakai apa. Memang, mahasiswa yang jauh dari rumah harus pandai memutar otak untuk bertahan agar tidak kebanyakan makan angin saat memasuki tanggal tua. Tapi, seorang penulis pernah bercerita melalui sebuah tulisannya, "lebih baik punya buku meskipun belum diperlukan, daripada perlu namun tidak memilikinya." Maka kami sedikit mengikhlaskan. Setelahnya, kami pergi makan di kedai yang menjual dua jenis makanan bercita rasa Aceh, nasi dan mie goreng. Saya gunakan sebagai obat pelepas rindu akibat belum mencicip kuliner Aceh seluruhnya.

Setibanya di sekre, Hamzah, teman saya yang lain, mengajak kembali ke Bentara Budaya  untuk mengikuti diskusi buku Budi Darma yang berjudul Hotel Tua. Alhasil, dalam satu hari saya mengunjungi tempat yang sama sebanyak 3 kali dengan orang yang berbeda.

Akhirnya Bertemu dengan Alasan Lain

Beberapa hari yang lalu, Neon juga meminta ditemani makan, kemudian ikut acara screening film di Fakultas Hukum, dan diskusi di sekre salah satu kegiatan ekstra kampus. Acara terakhir tidak saya ikuti karena ada janji dengan orang lain. Kami berhenti di kedai makan dekat kampus Sanata Darma. Saya tak menyadari jenis makanan apa yang akan dimakan hingga melihat buku menu untuk mencari harga yang cocok. Tidak ada yang cocok, karena semua menu terdapat nasi yang menjadikan harganya lebih mahal. Bukannya sedang tidak doyang dengan nasi, namun saya sudah mengkonsumsi lebih awal.

“Lagi belajar jadi vegan,” kata Neon. Ia duduk sambil meletakkan sepiring nasi merah lengkap dengan lauk dengan komposisi protein nabati dan sayuran. Saya nyengir, di hadapan saya ada sate soya dan kembang tahu yang diolah menyerupai telur dadar. Sebenarnya ada keheranan, mengingat satu bulan lalu ia masih doyan dan rutin makan dengan ayam dan olahan daging.

Kemudian percakapan makan siang mengalir, setelah saya melayangkan sebuah pertanyaan tentang motifnya menjadi vegan. Percakapan-percakapan memang lebih mengalir di luar sekre yang lumayan ndakik dan tensi kerjanya agak spaneng. Alasannya hanya satu, ia sedang tertarik dengan isu deforestasi yang terjadi di beberapa wilayah karena dijadikan lahan peternakan secara besar-besaran. Bukan menggunakan alasan yang sering saya dengar ketika bertanya pada orang yang mengkonsumsi sayur maupun infused water dengan alasan kesehatan. Berapa diantaranya meyakini bahwa sayur dan buah-buahan baik untuk mengeluarkan racun dalam tubuh dan menjaga berat badan ideal, atau hanya ikut-ikutan iseng mencoba jenis makanan tersebut dengan dalih gaya hidup.

Namun, mau tak mau makan vegetarian yang sedang ia jalankan mempengaruhi metabolisme tubuhnya. Ia mengaku lebih segar dan tidak gampang mengantuk, serta siklus alami tubuh untuk beristirahat lebih teratur. Ia pun mengaku bahwa pola makan tersebut perlu menyesuaikan dengan konteks. Kalau deforestasi dan peternakan sudah berkurang, maka ia akan kembali makan protein hewan. Selain itu, Neon masih mengkonsumsi telur, susu dan produk turunannya untuk membantu merawat tulang. Sebab, kendala utama para vegan adalah osteoporosis pada usia senja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...