James Sutton/Unsplash |
Saatnya Bercerita yang Bukan Tentang Saya
Sudah lama absen
menulis yang sedikit bermutu selain berisi ragam gerutuan, kali ini saya mau
bercerita tentang seorang teman saya yang mulai belajar menjadi seorang
vegetarian.
Siang kemarin
hujan rubah, salah seorang teman menyebutnya begitu. Mendefinisikan gerimis
berpadu dengan hangatnya cahaya matahari yang bersumber dari mitos. Saya
bertemu dengannya lagi di tengah percakapan yang sunyi.
Di
antara rinai hujan, saya merobek sampul plastik
buku dan mulai membaca isinya. Sebuah kumpulan esai kebudayaan dari Myra
Sidharta, seorang Cina peranakan dengan latar belakang pendidikan psikologi. Bagian pengantarnya sukses
membuat jatuh hati dengan gaya kepenulisan dan pemilihan diksinya. Seorang
teman, sebut saja Neon, yang kenyang dengan gerutuan saya selama satu semester minta ditemani ke pameran buku di Bentara Budaya. Entah telah menghirup
udara dari mana, sehingga ia rela mengalokasikan dana makan menjadi dana untuk
berbelanja buku kali ini.
Ciri
utama orang akan kalap membeli buku adalah membawa hampir semua buku bagus yang
pertama mereka jumpai. Bagus dalam artian desain sampul atau judul yang sesuai
dengan selera masing-masing. Kemudian sebelum sampai di kasir, mereka akan
menimbang-nimbang kembali mana buku yang akan dikantongi dan mana buku yang
akan dikembalikan dalam tatanan. Momen ini juga digunakan untuk melongok
anggaran yang tersimpan dalam dompet. Itu yang kami lakukan sebelum menghampiri
kasir. Beberapa buku berjudul sama dengan yang saya ambil, terpaksa ia
kembalikan ke tempat semula. Kapan-kapan bisa pinjam, katanya.
Kami
berjengit, terlebih melihat nominal yang harus dibayar oleh Neon. Kemudian
bingung, besok bayar makan pakai apa. Memang, mahasiswa yang jauh dari rumah
harus pandai memutar otak untuk bertahan agar tidak kebanyakan makan angin saat
memasuki tanggal tua. Tapi, seorang penulis pernah bercerita melalui sebuah tulisannya,
"lebih baik punya buku meskipun belum diperlukan, daripada perlu namun tidak
memilikinya." Maka kami sedikit mengikhlaskan. Setelahnya, kami pergi makan di
kedai yang menjual dua jenis makanan bercita rasa Aceh, nasi dan mie goreng. Saya gunakan sebagai
obat pelepas rindu akibat belum mencicip kuliner Aceh seluruhnya.
Setibanya
di sekre, Hamzah, teman saya yang lain, mengajak kembali ke Bentara Budaya untuk mengikuti diskusi buku Budi Darma yang berjudul Hotel Tua. Alhasil, dalam satu hari saya
mengunjungi tempat yang sama sebanyak 3 kali dengan orang yang berbeda.
Akhirnya Bertemu dengan Alasan Lain
Beberapa
hari yang lalu, Neon juga meminta ditemani makan, kemudian ikut acara screening film di Fakultas Hukum, dan
diskusi di sekre salah satu kegiatan ekstra kampus. Acara terakhir tidak saya
ikuti karena ada janji dengan orang lain. Kami berhenti di kedai makan dekat
kampus Sanata Darma. Saya tak menyadari jenis makanan apa yang akan dimakan
hingga melihat buku menu untuk mencari harga yang cocok. Tidak ada yang cocok,
karena semua menu terdapat nasi yang menjadikan harganya lebih mahal. Bukannya sedang tidak doyang dengan nasi, namun saya sudah
mengkonsumsi lebih awal.
“Lagi
belajar jadi vegan,” kata Neon. Ia duduk sambil meletakkan sepiring nasi merah
lengkap dengan lauk dengan komposisi protein nabati dan sayuran. Saya nyengir,
di hadapan saya ada sate soya dan kembang tahu yang diolah menyerupai telur
dadar. Sebenarnya ada keheranan, mengingat satu bulan lalu ia masih doyan dan rutin makan
dengan ayam dan olahan daging.
Kemudian
percakapan makan siang mengalir, setelah saya melayangkan sebuah pertanyaan
tentang motifnya menjadi vegan. Percakapan-percakapan memang lebih mengalir di
luar sekre yang lumayan ndakik dan
tensi kerjanya agak spaneng.
Alasannya hanya satu, ia sedang tertarik dengan isu deforestasi yang terjadi di
beberapa wilayah karena dijadikan lahan peternakan secara besar-besaran. Bukan menggunakan alasan
yang sering saya dengar ketika bertanya pada orang yang mengkonsumsi sayur maupun infused
water dengan alasan kesehatan. Berapa diantaranya meyakini bahwa sayur dan
buah-buahan baik untuk mengeluarkan racun dalam tubuh dan menjaga berat badan
ideal, atau hanya ikut-ikutan iseng mencoba jenis makanan tersebut dengan dalih
gaya hidup.
Namun,
mau tak mau makan vegetarian yang sedang ia jalankan mempengaruhi metabolisme
tubuhnya. Ia mengaku lebih segar dan tidak gampang mengantuk, serta siklus alami
tubuh untuk beristirahat lebih teratur. Ia pun mengaku bahwa pola makan tersebut
perlu menyesuaikan dengan konteks. Kalau deforestasi dan peternakan sudah
berkurang, maka ia akan kembali makan protein hewan. Selain itu, Neon masih
mengkonsumsi telur, susu dan produk turunannya untuk membantu merawat tulang.
Sebab, kendala utama para vegan adalah osteoporosis pada usia senja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar