Kamis, 16 Februari 2017

Sembilan Jam Sebelum Pulang



Sebagian potret gunung Penanggungan dan persiapan lahan sawah pasca panen

Saya mau melanjutkan cerita sisa liburan semester ganjil lalu.

Riak-riak air turut membawa beberapa daun bambu yang gugur di atas kali Kromong. Aliran sungai berwarna coklat tua, nampak seperti susu coklat yang siap ditenggak ketika saya mulai memasuki wilayah Padi.  Aroma embun pegunungan, cemara angin, bawang senthir yang dicuci di sungai bercampur jadi satu di udara.  Saya tak tahu di mana sumber mata air utama sungai ini, mungkin ada di sekitar tubuh gunung Penanggungan. Saya menuju Sajen, sebuah desa di kecamatan Pacet, hanya 30 menit perjalanan menggunakan motor dari kediaman saya. Amat berbeda ketika saya diajak “naik” belasan tahun yang lalu. Jalanan yang sempit dan terjal mugkin menjadi salah satu mengapa perjalanan saya bersama bapak kala itu cukup lama. Sekarang jalan akses ke Pacet dan wisata yang ada “di atas” telah diperlebar.
Pada (9/01), saya menggunakan kesempatan hari terakhir saya di kampung halaman dengan main ke Pacet. Sendirian, dengan membawa ransel berisi barang dan buku, pasokan liburan di rumah selama 2 minggu. Padahal sudah pamit kembali ke Yogyakarta pada pagi itu. *Tolong jangan ditiru*. Saya sempat mampir ke rumah saudara. dulunya kami *saya dan saudara sepupu sering berkumpul di sana, hanya sekadar main. Tempat pertama kalinya saya merasa punya teman sepermainan yang bisa dirindukan, sebab jaraknya 30 KM dari rumah. Tempat pertama kali saya naik sepeda kemudian nyusruk di halaman masjid dan diobati dengan tumbukan daun pete, sampai rumah saya dimarah-marahi karena dikira nyusruk di jalan raya. Juga tempat saya kejedot batu, ketika balapan renang di kali Kromong. Namun kali itu saya tidak akan mengulangi keseruan pengalaman masa kecil. Saya hanya duduk manis, sambil mengobrol menanyakan kabar keluarga, sedikir bercerita tentang perkembangan belajar di Yogyakarta, dan seperti masa-masa sebelumnya, saya pamit untuk bermain dengan air sungai yang bening.
Ada yang mengganjal dalam benak saya ketika mencelupkan kaki di air sungai yang dingin. Kompromi dengan diri sendiri masih mendominasi otak, namun ada beberapa hal yang lebih menarik untuk diceritakan di sini. Saya baru ingat bahwa ada bangunan bekas bioskop di balik tanjakan, tak jauh dari tempat saya duduk kala itu. Ada banyak desas-desus yang muncul tentang bangunan yang sudah tak beroperasi lagi sejak akhir tahun 90-an itu. Salah satunya alasan ditinggalkan karena banyak lelembut yang ada di dalam bangunan paska kebakaran. Sebenarnya saya masih penasaran, apakah memang karena mitos hantu lantas menjadi sepi peminat. Atau kemungkinan kedua, lokasi gedung pemutaran film tersebut jauh dari pusat kota. Paling tidak Mojokerto pernah ada gedung pertunjukan pada 90-an, meskipun di pucuk gunung. Namun, rasanya jadi aneh ketika ada ruang pemutaran film di salah satu pusat perbelanjaan, dipenuhi oleh anak-anak SMA wira-wiri dan doyan berswafoto. Kemudian saya membayangkan para priyayi berlibur di daerah pegunungan dan menghuni villa mereka barang satu atau dua minggu.
Kemudian saya iseng menghitung banyaknya angkutan umum berwarna hijau, angkutan umum andalan hingga tahun 2000 dengan rute terminal Kertajaya-Pacet PP. Pangkalan utama selain terminal adalah per-tigaan di daerah Pasinan. Sekarang hanya sekali lewat setiap hampir 1 jam, itupun hanya di sekitar Gondang-Pacet. Ketika saya bertanya kepada bulik, mereka hanya menggunakan angkutan tersebut untuk mengangkut barang antara pasar Sajen-Gondang. Itupun ramainya ketika subuh. Mengapa angkutan umum ke daerah wisata tidak berfungsi secara maksimal? Asumsi awal dan yang paling simpel adalah karena sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi dan jalan sudah mudah diakses.
Matahari sudah mulai meninggi, udara yang mulanya dingin menjadi lebih hangat. Saya harus bergegas untuk turun, dan segera meneruskan perjalanan selama tujuh jam untuk tiba kembali di Yogyakarta. Dari spion motor, saya menyempatkan untuk melihat jurang Gongso, jurang menganga dengan kerusakan paling parah ketika banjir bandang 2004 lalu. Sekarang menjadi lahan penambangan batu kali. Hal terakhir yang sempat terbesit di kunjungan singkat tersebut adalah, mengapa kita perlu untuk melarikan diri menuju gunung untuk menemukan secuil kedamaian? Bukan sekadar penjelasan tentang biofilia.
Rupanya, perjalanan ballik saya ke Yogyakarta tidak sepenuhnya diberkahi. Pasalnya, kunci kamar kost ketinggalan di rumah setelah sampai di kabupaten Jombang. Itupun setelah melakukan perjalanan menjengkelkan karena saya nyasar di daerah penambangan pasir batu di sepanjang jalan Gondang-Jatirejo. Jalannya rusak total, rasanya saya ingin mencabut ucapan bahwa pembangunan jalan raya di kabupaten dan kota dioptimalkan. Dan payahnya, saya turut terjebak dengan kepulan debu serta truk beroda delapan lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...