Sebagian potret gunung Penanggungan dan persiapan lahan sawah pasca panen |
Saya mau melanjutkan cerita sisa liburan semester ganjil lalu.
Riak-riak air turut membawa beberapa daun bambu yang gugur di atas kali Kromong. Aliran sungai berwarna coklat tua, nampak seperti susu coklat yang siap ditenggak ketika saya mulai memasuki wilayah Padi. Aroma embun pegunungan, cemara angin, bawang senthir yang dicuci di sungai bercampur jadi satu di udara. Saya tak tahu di mana sumber mata air utama sungai ini, mungkin ada di sekitar tubuh gunung Penanggungan. Saya menuju Sajen, sebuah desa di kecamatan Pacet, hanya 30 menit perjalanan menggunakan motor dari kediaman saya. Amat berbeda ketika saya diajak “naik” belasan tahun yang lalu. Jalanan yang sempit dan terjal mugkin menjadi salah satu mengapa perjalanan saya bersama bapak kala itu cukup lama. Sekarang jalan akses ke Pacet dan wisata yang ada “di atas” telah diperlebar.
Riak-riak air turut membawa beberapa daun bambu yang gugur di atas kali Kromong. Aliran sungai berwarna coklat tua, nampak seperti susu coklat yang siap ditenggak ketika saya mulai memasuki wilayah Padi. Aroma embun pegunungan, cemara angin, bawang senthir yang dicuci di sungai bercampur jadi satu di udara. Saya tak tahu di mana sumber mata air utama sungai ini, mungkin ada di sekitar tubuh gunung Penanggungan. Saya menuju Sajen, sebuah desa di kecamatan Pacet, hanya 30 menit perjalanan menggunakan motor dari kediaman saya. Amat berbeda ketika saya diajak “naik” belasan tahun yang lalu. Jalanan yang sempit dan terjal mugkin menjadi salah satu mengapa perjalanan saya bersama bapak kala itu cukup lama. Sekarang jalan akses ke Pacet dan wisata yang ada “di atas” telah diperlebar.
Pada (9/01), saya menggunakan kesempatan hari
terakhir saya di kampung halaman dengan main ke Pacet. Sendirian, dengan
membawa ransel berisi barang dan buku, pasokan liburan di rumah selama 2
minggu. Padahal sudah pamit kembali ke Yogyakarta pada pagi itu. *Tolong jangan
ditiru*. Saya sempat mampir ke rumah saudara. dulunya kami *saya dan
saudara sepupu sering berkumpul di sana, hanya sekadar main. Tempat
pertama kalinya saya merasa punya teman sepermainan yang bisa dirindukan, sebab
jaraknya 30 KM dari rumah. Tempat pertama kali saya naik sepeda kemudian nyusruk di halaman masjid dan diobati
dengan tumbukan daun pete, sampai rumah saya dimarah-marahi karena dikira nyusruk di jalan raya. Juga tempat saya kejedot batu, ketika balapan renang
di kali Kromong. Namun kali itu saya tidak akan mengulangi keseruan pengalaman
masa kecil. Saya hanya duduk manis, sambil mengobrol menanyakan kabar keluarga,
sedikir bercerita tentang perkembangan belajar di Yogyakarta, dan seperti
masa-masa sebelumnya, saya pamit untuk bermain dengan air sungai yang bening.
Ada yang mengganjal dalam benak saya ketika
mencelupkan kaki di air sungai yang dingin. Kompromi dengan diri sendiri masih
mendominasi otak, namun ada beberapa hal yang lebih menarik untuk diceritakan
di sini. Saya baru ingat bahwa ada bangunan bekas bioskop di balik tanjakan,
tak jauh dari tempat saya duduk kala itu. Ada banyak desas-desus yang muncul
tentang bangunan yang sudah tak beroperasi lagi sejak akhir tahun 90-an itu.
Salah satunya alasan ditinggalkan karena banyak lelembut yang ada di dalam
bangunan paska kebakaran. Sebenarnya saya masih penasaran, apakah memang karena
mitos hantu lantas menjadi sepi peminat. Atau kemungkinan kedua, lokasi gedung
pemutaran film tersebut jauh dari pusat kota. Paling tidak Mojokerto pernah ada
gedung pertunjukan pada 90-an, meskipun di pucuk gunung. Namun, rasanya jadi
aneh ketika ada ruang pemutaran film di salah satu pusat perbelanjaan, dipenuhi
oleh anak-anak SMA wira-wiri dan doyan berswafoto. Kemudian saya
membayangkan para priyayi berlibur di daerah pegunungan dan menghuni villa
mereka barang satu atau dua minggu.
Kemudian saya iseng menghitung banyaknya
angkutan umum berwarna hijau, angkutan umum andalan hingga tahun 2000 dengan
rute terminal Kertajaya-Pacet PP. Pangkalan utama selain terminal adalah
per-tigaan di daerah Pasinan. Sekarang hanya sekali lewat setiap hampir 1 jam,
itupun hanya di sekitar Gondang-Pacet. Ketika saya bertanya kepada bulik, mereka
hanya menggunakan angkutan tersebut untuk mengangkut barang antara pasar Sajen-Gondang.
Itupun ramainya ketika subuh. Mengapa angkutan umum ke daerah wisata tidak
berfungsi secara maksimal? Asumsi awal dan yang paling simpel adalah karena
sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi dan jalan sudah mudah diakses.
Matahari sudah mulai meninggi, udara yang
mulanya dingin menjadi lebih hangat. Saya harus bergegas untuk turun, dan segera
meneruskan perjalanan selama tujuh jam untuk tiba kembali di Yogyakarta. Dari
spion motor, saya menyempatkan untuk melihat jurang Gongso, jurang menganga
dengan kerusakan paling parah ketika banjir bandang 2004 lalu. Sekarang menjadi
lahan penambangan batu kali. Hal terakhir yang sempat terbesit di kunjungan
singkat tersebut adalah, mengapa kita perlu untuk melarikan diri menuju gunung
untuk menemukan secuil kedamaian? Bukan sekadar penjelasan tentang biofilia.
Rupanya, perjalanan ballik saya ke Yogyakarta
tidak sepenuhnya diberkahi. Pasalnya, kunci kamar kost ketinggalan di rumah
setelah sampai di kabupaten Jombang. Itupun setelah melakukan perjalanan
menjengkelkan karena saya nyasar di daerah penambangan pasir batu di sepanjang
jalan Gondang-Jatirejo. Jalannya rusak total, rasanya saya ingin mencabut
ucapan bahwa pembangunan jalan raya di kabupaten dan kota dioptimalkan. Dan payahnya,
saya turut terjebak dengan kepulan debu serta truk beroda delapan lebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar