Budaya atau culture, sebenarnya apa hakikatnya? Kalau yang aku dapatkan dari bangku kuliah lebih mengarah kepada suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi atau Andreas Eppink mengatakan bahwa kebudayaan adalah kesulurah unsur, keseluruhan stuktur social yang menjadi suatu ciri khas dalam masyarakat. Baiklah sekarang adalah pernahkah kita membayangkan nasib tarian daerah, mainan tradisional anak-anak kecil, upacara keagamaan atau upacara adat, atau apapun budaya yang berbentuk ritual setahun kedepan ketika Asean Economic Asean sudah menebar bak virus yang segala macam kegiatannya serba bebas? Atau beberapa tahun kedepan ? aku tahu, pasti ada yang berpikiran bahwa kebudayan itu berkembang mengalami pemekaran yang lebih dinamis, dapat berubah sesuai kebutuhan masyarakat bisa ditambah maupun dikurangi, tapi masalahnay adalah ketika suatuu nilai kebudayaan itu dikurangi atau ditambah dengan kebutuhan masyarakat maka apakah hal tersebut tidak mengurangi nilai inti dari sebuah ritual tersebut? Atau bahkan akan benar-benar terkikis lalu hilang sama sekali dan hanya meninggalkan cerita lama pada generasi mendatang serta kehilangan ke- khas- annya.
Misalkan saja adanya Sekaten di Solo dan Yogyakarta,
tentunya jika kita mengamati sejarahnya maka bias saja acara tersebut pada 20
tahun yang lalu penuh dengan kesakralan, khas, khusus, dan benar-benar mengacu
pada arti kata sekaten tersebut, waktu yang dipakai juga tidak terlalu lama, 1
hari lalu dengan adanya keinginan masyarakat maka waktunya ditambah menjadi 6
hari lalu menjadi satu bulan, kalau diperhatikan lagi sekarang dalam naungan
acara sekaten semakin banyak acara hiburan bagi masyarakat, yang paling melekat
adalah dangdutan pada masa 15 tahun silam, sekarang pada tahun 2014 mungkin
sekaten akan identik dengan pasar malamnya. Memang kalau dilihat sebagai
pegerakan ekonomi masyarakat, dengan adanya perayaan ini maka dampak pada
perekonomian masyarakatnya juga baik karena mereka akan mendapat penghasilan
dari sana, itu kalau acaranya ditambah, lalu bagaimana jika dikurangi, apakah
mereka, para turis yang ingin menyaksikan tidak akan lari karena durasi yang
diperpendek. Lalu bagaimanakah dengan tarian, aku yakin di setiap daerah di
Indonesia tentunya memiliki tarian derah masing-masing, kalau seumpama ada yang
berkilah tentang dinamis, maka siapa lagi yang akan mengajarkan kesenian itu
lalu mengembangkannya, mengenalkan, menghadirkan Indonesia dari sisi kesenian
dan kebudayaan dalam kancah dunia. Para penari masa kini mayoritas sudah
berumur, kalau mereka sudah tak kuat lagi menjadi guru, lantas siapakah yang
akan meneruskannya, yang akan mengenalkan pada dunia 5-atau bakan sekian tahun
yang akan datang?
Yang menghawatirkan adalah dengan adanya pengurangan atau
penambahan karena keinginan masyarakat yang didalamnya misalkan saja ajaran
sekaten sudah tidak relevan dengan salah satu agama di Indonesia, maka apakah
akan secara perlahan rusak? Lalu memudar, dan kita sebagai penikmat tidak bisa
menularkan atau mengajarkan pada anak-anak masa mendatang tentang kebudayaan
yang pernah ada karena telah terlalu cepat hilangnya dan digantikan dengan
budaya-budaya luar, lalu bagaimana dengan gembar-gembor generasi muda harus
melestarikan kebudayaan?, apalagi kaum sekarang lebih cenderung terhadap budaya
latah yang inginnya ikut-ikutan melulu terhadap apapun yang baru berkembang di
dunia untuk menutupi rasa gengsi. Aku bukannya berpikir konservatif, dan
mengembalikan pikiarn kita terlalu jauh. Namun inilah yang aku takutkan, ketika
semuanya dinamis, lalu dimana letak ke-khas-an kita yang menjai daya tarik dan ceminan
bangsa kita?