Rabu, 26 November 2014

Budayaku: Semakin Berkibar dalam Peleburan Ataukah Semakin Terkikis dengan Pengaruh Global?





Budaya atau culture, sebenarnya apa hakikatnya? Kalau yang aku dapatkan dari bangku kuliah  lebih mengarah kepada suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi atau Andreas Eppink mengatakan bahwa kebudayaan adalah kesulurah unsur, keseluruhan stuktur social yang menjadi suatu ciri khas dalam masyarakat. Baiklah sekarang adalah pernahkah kita membayangkan nasib tarian daerah, mainan tradisional anak-anak kecil, upacara keagamaan atau upacara adat, atau apapun budaya yang berbentuk ritual setahun kedepan ketika Asean Economic Asean sudah menebar bak virus yang segala macam kegiatannya serba bebas? Atau beberapa tahun kedepan ? aku tahu, pasti ada yang berpikiran bahwa kebudayan itu berkembang mengalami pemekaran yang lebih dinamis, dapat berubah sesuai kebutuhan masyarakat bisa ditambah maupun dikurangi, tapi masalahnay adalah ketika suatuu nilai kebudayaan itu dikurangi atau ditambah dengan kebutuhan masyarakat maka apakah hal tersebut tidak mengurangi nilai inti dari sebuah ritual tersebut? Atau bahkan akan benar-benar terkikis lalu hilang sama sekali dan hanya meninggalkan cerita lama pada generasi mendatang serta kehilangan ke- khas- annya.
Misalkan saja adanya Sekaten di Solo dan Yogyakarta, tentunya jika kita mengamati sejarahnya maka bias saja acara tersebut pada 20 tahun yang lalu penuh dengan kesakralan, khas, khusus, dan benar-benar mengacu pada arti kata sekaten tersebut, waktu yang dipakai juga tidak terlalu lama, 1 hari lalu dengan adanya keinginan masyarakat maka waktunya ditambah menjadi 6 hari lalu menjadi satu bulan, kalau diperhatikan lagi sekarang dalam naungan acara sekaten semakin banyak acara hiburan bagi masyarakat, yang paling melekat adalah dangdutan pada masa 15 tahun silam, sekarang pada tahun 2014 mungkin sekaten akan identik dengan pasar malamnya. Memang kalau dilihat sebagai pegerakan ekonomi masyarakat, dengan adanya perayaan ini maka dampak pada perekonomian masyarakatnya juga baik karena mereka akan mendapat penghasilan dari sana, itu kalau acaranya ditambah, lalu bagaimana jika dikurangi, apakah mereka, para turis yang ingin menyaksikan tidak akan lari karena durasi yang diperpendek. Lalu bagaimanakah dengan tarian, aku yakin di setiap daerah di Indonesia tentunya memiliki tarian derah masing-masing, kalau seumpama ada yang berkilah tentang dinamis, maka siapa lagi yang akan mengajarkan kesenian itu lalu mengembangkannya, mengenalkan, menghadirkan Indonesia dari sisi kesenian dan kebudayaan dalam kancah dunia. Para penari masa kini mayoritas sudah berumur, kalau mereka sudah tak kuat lagi menjadi guru, lantas siapakah yang akan meneruskannya, yang akan mengenalkan pada dunia 5-atau bakan sekian tahun yang akan datang?

Yang menghawatirkan adalah dengan adanya pengurangan atau penambahan karena keinginan masyarakat yang didalamnya misalkan saja ajaran sekaten sudah tidak relevan dengan salah satu agama di Indonesia, maka apakah akan secara perlahan rusak? Lalu memudar, dan kita sebagai penikmat tidak bisa menularkan atau mengajarkan pada anak-anak masa mendatang tentang kebudayaan yang pernah ada karena telah terlalu cepat hilangnya dan digantikan dengan budaya-budaya luar, lalu bagaimana dengan gembar-gembor generasi muda harus melestarikan kebudayaan?, apalagi kaum sekarang lebih cenderung terhadap budaya latah yang inginnya ikut-ikutan melulu terhadap apapun yang baru berkembang di dunia untuk menutupi rasa gengsi. Aku bukannya berpikir konservatif, dan mengembalikan pikiarn kita terlalu jauh. Namun inilah yang aku takutkan, ketika semuanya dinamis, lalu dimana letak ke-khas-an kita yang menjai daya tarik dan ceminan bangsa kita?

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...