Kamis, 17 Maret 2016

Senjakala Bus Kota dan Kenyamanan Fasilitas Bagi Penyandang Difabel

bus khusus Begawan Abiyasa


Setiap masa, memiliki ciri khas kendaraan yang mengangkut manusia memenuhi jalanan untuk mencapai tujuan. Bus kota pernah menjadi primadona ibukota, pasca bergantinya trem sebagai salah satu moda transportasi darat. Kini posisinya pun terancam digantikan dengan ‘wajah baru’ bus rapid transit. Siapkah masyarakat pengguna mengalami perubahan?

Seperti dilansir dari Kompas (22/02) dalam kolom Metropolitan membahas seluk-beluk bus kota di ibukota. Bus kota memiliki sejarah panjang di jalanan ibukota. Mulanya perusahaan bus kota merupakan gabungan dari administrasi trem masa Hindia-belanda, yaitu Bataviasche Verkeers Maatschappij (BVMNV). BVNMV merupakaan perusahaan pengelola trem di Batavia, kemudian dinasionalisasi pada 1954 yang menjadikan perusahaan pengelolanya ikut berganti nama menjadi Perusahaan Pengangkuta Djakarta (PPD). 

Awal pengoperasiannya pada 1956, bus kota mengeluarkan jenis Leyland dengan rancangan bertingkat. Jenis ini merupakan jenis bus pertama bertingkat yang ada di Indonesia. Namun pada 1982 bus ini berhenti beroprasi karena tidak sesuai dengan kondisi jalan raya di Indonesia. Sebagai gantinya, bus dengan rancangan yang lebih ramping dioperasikan di jalanan yang sering kita kenal dengan sebutan metromini. Sedangkan bus jenis Leyland hanya dipergunakan sebagai bus pariwisata semenjak 2014 lalu. Selama 60 tahun beroperasi dan empat kali peremajaan membuat masyarakat penggunanya khatam menghafal rute perjalanannya.

Beranjak ke Yogyakarta. Kota dengan penduduk yang berkisar 3,5 juta (menurut BPS 2014). Dan rincian penduduk kabupaten Sleman sebanyak 1,114 juta jiwa dan kota Yogyakarta sebanyak 394 ribu jiwa (BPS 2012). Kota ini tidak terlalu banyak armada angkutan umum, terutama bus kota. Penataan angkutan pun dibagi per jalur kabupaten dengan masing-masing terminal. Bantul memiliki bus sendiri, Gunung Kidul memiliki bus sendiri, Sleman juga memiliki bus sendiri. Ada empat terminal yang berada di Yogyakarta, yaitu; Giwangan, Prambanan, Jombor, dan Condongcatur. Hampir tidak ada angkutan kota (angkot) yang berseliweran di dalam kota Yogyakarta. Angkot didominasi dengan taksi, andong, juga becak di pusat keramaian kota. 

Belum ada tahun yang pasti tentang awal pengoperasian bus kota di Yogyakarta. Setelah berjalan sekitar hampir 40 tahun, sejak 80-an dan entah berapa kali mengalami peremajaan, akhirnya pada 2008 bus kota mengalami regenerasi. Bus rapid trans diopersikan di Yogyakarta dengan nama transjogja.  Adanya regenarasi tersebut kemungkinan digunakan untuk menertibkan lalulintas dan kendaraan yang sudah tak layak jalan. Pada nyatanya, bus kota (KOPATA, KOBUTRI, PUSKOKAR, dan ASPADA) masih beroperasi hingga kini. 

Pengenalan bus baru ini tentunya diiringi dengan penata ulang trayek agar pengangkutan penumpang tidak overlap,  juga pembangunan halte. Pembangunan halte dilakukan untuk menanggulangi macet yang diakibatkan oleh bus kota yang biasanya ‘ngetem’ sembarangan di ruas jalan. Ketika diamati pembangunan halte yang digunakan sebagai ruang tunggu, tidak di rancang agar dapat digunakan juga bagi kaum difabel. 

Bisa kita lihat, jalan akses untuk mengantri pembelian tiket di halte bus, terhalang dengan palang pintu berputar, berundak atau dengan landasan licin yang menanjak. Pun setelah masuk ke dalam halte, ruang tunggu masih sempit bagi penyandang difabel yang menggunakan kursi roda. Belum lagi masalah jarak antara mulut halte dan daun pintu trans yang tidak sesuai, kultur masyarakat yang tergesa-gesa, membuat penyandang difabel semakin kesulitan untuk berpacu dengan waktu. Padahal mereka diharapkan mandiri ketika berada di tempat publik. 

Transportasi publik, harusnya dapat diakses bagi seluruh kalangan masyarakat. Terdapat 20 juta atau sekitar 11% dari keseluruhan penduduk Indonesia menyandang cacat  (BPS 2014). Yang artinya, amat mendesak untuk memperbaiki fasilitas umum dan mengoptimalkan penggunaan fasilitasnya agar dapat dinikmati berbagai kalangan. 

Pada tahun 2014 pula, pemerintah di Solo dan juga Jakarta sudah mulai menambah armada transportasi bagi kaum difabel. Di wilayah Solo, terdapat dua buah bus yang dipergunakan  bagi kaum difabel, sayangnya bus yang diberi nama Begawan Abiyasa belum dioptimalkan dan belum merambah di berbagai kota. Sedangkan di Jakarta, penyediaan angkutan umum bagi difabel dilaksanakan oleh salah satu PT yang bergerak dibidang pelayanan jasa antar-jemput dengan menyediakan 5 armada taxi yang dilengkapi dengan landasan hidropolik.

Berkaca dari berbagai negara maju yang telah mengaplikasikan teknologi landasan hidropolik pada tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut mampu memfasilitasi warganya yang menyandang difabel untuk keluar rumah dan berbaur dengan masyarakat lain. Selain itu teknologi hidropolik juga harus dirawat dengan benar dengan membekali pengemudi untuk mengoperasikanya agar tidak terjadi kesulitan. Apabila teknologi hidropolik ramah difabel yang diinisiasi oleh kota Solo dapat menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, maka sterotype negatif dan strata sosial bagi kaum difabel dapat perlahan dihilangkan. Mereka dapat berbaur dengan masyarakat umum, mandiri di ruang publik dan tidak menciptakan dunia sendiri.

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...