bus khusus Begawan Abiyasa |
Setiap
masa, memiliki ciri khas kendaraan yang mengangkut manusia memenuhi jalanan
untuk mencapai tujuan. Bus kota pernah menjadi primadona ibukota, pasca
bergantinya trem sebagai salah satu moda transportasi darat. Kini posisinya pun
terancam digantikan dengan ‘wajah baru’ bus rapid transit. Siapkah
masyarakat pengguna mengalami perubahan?
Seperti
dilansir dari Kompas (22/02) dalam kolom Metropolitan membahas
seluk-beluk bus kota di ibukota. Bus kota memiliki sejarah panjang di jalanan
ibukota. Mulanya perusahaan bus kota merupakan gabungan dari administrasi trem
masa Hindia-belanda, yaitu Bataviasche Verkeers Maatschappij (BVMNV).
BVNMV merupakaan perusahaan pengelola trem di Batavia, kemudian dinasionalisasi
pada 1954 yang menjadikan perusahaan pengelolanya ikut berganti nama menjadi
Perusahaan Pengangkuta Djakarta (PPD).
Awal
pengoperasiannya pada 1956, bus kota mengeluarkan jenis Leyland dengan
rancangan bertingkat. Jenis ini merupakan jenis bus pertama bertingkat yang ada
di Indonesia. Namun pada 1982 bus ini berhenti beroprasi karena tidak sesuai
dengan kondisi jalan raya di Indonesia. Sebagai gantinya, bus dengan rancangan
yang lebih ramping dioperasikan di jalanan yang sering kita kenal dengan
sebutan metromini. Sedangkan bus jenis Leyland
hanya dipergunakan sebagai bus pariwisata semenjak 2014 lalu. Selama 60 tahun
beroperasi dan empat kali peremajaan membuat masyarakat penggunanya khatam
menghafal rute perjalanannya.
Beranjak
ke Yogyakarta. Kota dengan penduduk yang berkisar 3,5 juta (menurut BPS 2014).
Dan rincian penduduk kabupaten Sleman sebanyak 1,114 juta jiwa dan kota
Yogyakarta sebanyak 394 ribu jiwa (BPS 2012). Kota ini tidak terlalu banyak
armada angkutan umum, terutama bus kota. Penataan angkutan pun dibagi per jalur
kabupaten dengan masing-masing terminal. Bantul memiliki bus sendiri, Gunung
Kidul memiliki bus sendiri, Sleman juga memiliki bus sendiri. Ada empat
terminal yang berada di Yogyakarta, yaitu; Giwangan, Prambanan, Jombor, dan
Condongcatur. Hampir tidak ada angkutan kota (angkot) yang berseliweran di
dalam kota Yogyakarta. Angkot didominasi dengan taksi, andong, juga becak di
pusat keramaian kota.
Belum
ada tahun yang pasti tentang awal pengoperasian bus kota di Yogyakarta. Setelah
berjalan sekitar hampir 40 tahun, sejak 80-an dan entah berapa kali mengalami
peremajaan, akhirnya pada 2008 bus kota mengalami regenerasi. Bus rapid
trans diopersikan di Yogyakarta dengan nama transjogja. Adanya
regenarasi tersebut kemungkinan digunakan untuk menertibkan lalulintas dan
kendaraan yang sudah tak layak jalan. Pada nyatanya, bus kota (KOPATA, KOBUTRI,
PUSKOKAR, dan ASPADA) masih beroperasi hingga kini.
Pengenalan
bus baru ini tentunya diiringi dengan penata ulang trayek agar pengangkutan
penumpang tidak overlap, juga pembangunan halte. Pembangunan halte
dilakukan untuk menanggulangi macet yang diakibatkan oleh bus kota yang
biasanya ‘ngetem’ sembarangan di ruas jalan. Ketika diamati pembangunan
halte yang digunakan sebagai ruang tunggu, tidak di rancang agar dapat
digunakan juga bagi kaum difabel.
Bisa
kita lihat, jalan akses untuk mengantri pembelian tiket di halte bus, terhalang
dengan palang pintu berputar, berundak atau dengan landasan licin yang
menanjak. Pun setelah masuk ke dalam halte, ruang tunggu masih sempit bagi
penyandang difabel yang menggunakan kursi roda. Belum lagi masalah jarak antara
mulut halte dan daun pintu trans yang tidak sesuai, kultur masyarakat yang
tergesa-gesa, membuat penyandang difabel semakin kesulitan untuk berpacu dengan
waktu. Padahal mereka diharapkan mandiri ketika berada di tempat publik.
Transportasi
publik, harusnya dapat diakses bagi seluruh kalangan masyarakat. Terdapat 20
juta atau sekitar 11% dari keseluruhan penduduk Indonesia menyandang
cacat (BPS 2014). Yang artinya, amat mendesak untuk memperbaiki fasilitas
umum dan mengoptimalkan penggunaan fasilitasnya agar dapat dinikmati berbagai
kalangan.
Pada
tahun 2014 pula, pemerintah di Solo dan juga Jakarta sudah mulai menambah
armada transportasi bagi kaum difabel. Di wilayah Solo, terdapat dua buah bus
yang dipergunakan bagi kaum difabel, sayangnya bus yang diberi nama
Begawan Abiyasa belum dioptimalkan dan belum merambah di berbagai kota.
Sedangkan di Jakarta, penyediaan angkutan umum bagi difabel dilaksanakan oleh
salah satu PT yang bergerak dibidang pelayanan jasa antar-jemput dengan
menyediakan 5 armada taxi yang dilengkapi dengan landasan hidropolik.
Berkaca
dari berbagai negara maju yang telah mengaplikasikan teknologi landasan
hidropolik pada tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut mampu memfasilitasi
warganya yang menyandang difabel untuk keluar rumah dan berbaur dengan
masyarakat lain. Selain itu teknologi hidropolik juga harus dirawat
dengan benar dengan membekali pengemudi untuk mengoperasikanya agar tidak
terjadi kesulitan. Apabila teknologi hidropolik ramah difabel yang
diinisiasi oleh kota Solo dapat menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, maka
sterotype negatif dan strata sosial bagi kaum difabel dapat perlahan
dihilangkan. Mereka dapat berbaur dengan masyarakat umum, mandiri di ruang
publik dan tidak menciptakan dunia sendiri.