Sabtu, 29 Oktober 2016

Elegi

Memasuki Oktober, ada semacam kayu penyangga yang mulai lapuk. Keropos dimakan kutu kayu. Kalau sudah begitu pilihannya hanya ada dua, tega memotong beberapa jengkal atau menghitung detik jam menunggu ambruk.

Pada bulan ini segalanya serba kacau. Setandan pisang, sekotak umpatan dan sumpah serapah berhamburan, dan puluhan judul pelarian masih membelenggu kaki. Belum dapat beranjak, terperangkap dalam hening dan putaran kebingungan.

Jenuh. Mencermati diri bahwa hanya melompat-lompat dari kewajiban satu ke kewajiban lain yang tercacah dan tak lekas tuntas. Terjebak rutinitas, meskipun sesekali keluar malam untuk menikmati makan malam dan pertunjukan seni. Saya belum bisa melarikan diri.


Lagu Sementara nya Float melantun sedari pagi, membungkam tumpukan kertas yang kian bisu.

Rabu, 05 Oktober 2016

Mata



unsplash.com [Cristian Newman]


Musim kemarau terlampau cepat pergi pada tahun ini. Setelah September berakhir, rintik hujan kerap datang dan dingin perlahan menyergap lewat tengah malam. Tibalah saya di tengah lorong gelap, penuh karat pada awal Oktober. Kecipak tanah becek akibat kadal yang berkejaran, atau sambungan pipa air yang patah menggema di seluruh ruang. Tak ada siapa-siapa, tak ada seberkas sinar, cahaya lilin atau apapun yang dapat menerangi lorong ini. Kecuali sorot matamu, yang baru saya sadari belakangan ini.

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...