unsplash.com [Cristian Newman] |
Musim kemarau terlampau cepat pergi pada tahun ini. Setelah
September berakhir, rintik hujan kerap datang dan dingin perlahan menyergap
lewat tengah malam. Tibalah saya di tengah lorong gelap, penuh karat pada awal
Oktober. Kecipak tanah becek akibat kadal yang berkejaran, atau sambungan pipa
air yang patah menggema di seluruh ruang. Tak ada siapa-siapa, tak ada seberkas
sinar, cahaya lilin atau apapun yang dapat menerangi lorong ini. Kecuali sorot
matamu, yang baru saya sadari belakangan ini.
Saya terjebak. Kebingungan. Kehabisan tenaga untuk merangkai kata.
Tapi masih ada tenaga untuk meneriakkan namaku, namamu, dan sekeping ingatan
tentang rindu yang turut tercacah. Sambil berlari, menabrak apa saja yang
menghalangi langkah kaki. Menciptakan ritme gema yang lain. Saya ingin segera
sampai di ujung lorong. Sebab udara di sana terlampau pekat, membuat gelagapan. Yang paling saya
takutkan dari fragmen kehidupan; kehabisan udara, tercekat dan dekat dengan
ajal.
Lima ratus tujuh puluh satu meter lagi, saya yakin ada jalan
keluar. Sudah terlampau jenuh berada di tempat gelap seperti itu. Dan benar,
bahkan sebelum lima ratus tujuh puluh satu meter saya sudah menemukan celah
seukuran kayu meranti berusia tiga puluh empat tahun. Cukup untuk merangkak
mengeluarkan tubuh, tepat di atasnya ada sisa mendung yang menggantung di
langit malam yang entah mengapa berwarna merah. Ada seberkas sinar, yang
membuat mata saya mengerjap cepat berusaha untuk adaptasi. Berada di atas
lorong di bawah langit seperti saat ini membuat saya berputar, mengedarkan
pandangan. Banyak yang berubah, banyak yang terlewat. Rasanya plong, ringan
tapi masih didera kebingungan. Saya masih kehabisan tenaga untuk merangkai
kata, menerjemahkan apa-apa yang sedang berkecamuk dalam kepala.
Lebam di sekujur kaki. Ngilu sampai sumsum. Dan gesekan karet di
aspal memenuhi malam yang hening. Kamu datang saat saya kusut, lengkap dengan
sorot mata yang sulit diterjemahkan. Membuat saya berpaling, tak kuat
menyembunyikan rindu juga tangis. Lihat! di tengah kebingungan pun, kantung mata
mengalami kekeringan. Sekalipun palu godam berdentam-dentam dalam dada. Sesak. Mata
saya masih kering.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar