Rabu, 05 Oktober 2016

Mata



unsplash.com [Cristian Newman]


Musim kemarau terlampau cepat pergi pada tahun ini. Setelah September berakhir, rintik hujan kerap datang dan dingin perlahan menyergap lewat tengah malam. Tibalah saya di tengah lorong gelap, penuh karat pada awal Oktober. Kecipak tanah becek akibat kadal yang berkejaran, atau sambungan pipa air yang patah menggema di seluruh ruang. Tak ada siapa-siapa, tak ada seberkas sinar, cahaya lilin atau apapun yang dapat menerangi lorong ini. Kecuali sorot matamu, yang baru saya sadari belakangan ini.
Saya terjebak. Kebingungan. Kehabisan tenaga untuk merangkai kata. Tapi masih ada tenaga untuk meneriakkan namaku, namamu, dan sekeping ingatan tentang rindu yang turut tercacah. Sambil berlari, menabrak apa saja yang menghalangi langkah kaki. Menciptakan ritme gema yang lain. Saya ingin segera sampai di ujung lorong. Sebab udara di sana terlampau  pekat, membuat gelagapan. Yang paling saya takutkan dari fragmen kehidupan; kehabisan udara, tercekat dan dekat dengan ajal.
Lima ratus tujuh puluh satu meter lagi, saya yakin ada jalan keluar. Sudah terlampau jenuh berada di tempat gelap seperti itu. Dan benar, bahkan sebelum lima ratus tujuh puluh satu meter saya sudah menemukan celah seukuran kayu meranti berusia tiga puluh empat tahun. Cukup untuk merangkak mengeluarkan tubuh, tepat di atasnya ada sisa mendung yang menggantung di langit malam yang entah mengapa berwarna merah. Ada seberkas sinar, yang membuat mata saya mengerjap cepat berusaha untuk adaptasi. Berada di atas lorong di bawah langit seperti saat ini membuat saya berputar, mengedarkan pandangan. Banyak yang berubah, banyak yang terlewat. Rasanya plong, ringan tapi masih didera kebingungan. Saya masih kehabisan tenaga untuk merangkai kata, menerjemahkan apa-apa yang sedang berkecamuk dalam kepala.
Lebam di sekujur kaki. Ngilu sampai sumsum. Dan gesekan karet di aspal memenuhi malam yang hening. Kamu datang saat saya kusut, lengkap dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Membuat saya berpaling, tak kuat menyembunyikan rindu juga tangis. Lihat! di tengah kebingungan pun, kantung mata mengalami kekeringan. Sekalipun palu godam berdentam-dentam dalam dada. Sesak. Mata saya masih kering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...