https://unsplash.com/collections/188185/paper |
...here comes the rain again
falling from the stars
drenched in my pain again...
falling from the stars
drenched in my pain again...
Judul unggahan yang paling gak masuk akal. Namun
saya rasa itu menjadi gambaran apa yang sedang saya rasakan sebulan belakangan.
Menjelang akhir September, rupa-rupanya saya menerima banyak kejutan. Baik dari
hal yang menyenangkan hingga hal yang bikin geregetan. Sudah hampir tujuh hari
berturut-turut hujan datang selepas tengah hari. Hawa dingin kembali menelisip
di celah jendela, ventilasi kamar, hingga berani menghampiri serat selimut.
Sedangkan di jalan, dekat jembatan, air hujan menggenang laiknya kubangan itik.
Hujan tak pernah salah, berkah dari Tuhan di tengah krisis air yang melanda
kota Yogyakarta. Masalah kekeringan yang sama mungkin dialami oleh wilayah lain
di Indonesia. Namun, sayangnya beberapa kecamatan di kota ini penuh dengan
lahan yang telah ditutupi semen, sebagian lagi tanahnya berupa hamparan sawah.
Tak ada tanah resapan, sampah yang terbawa arus air hujan tak segan menyumpal
aliran air di pinggir jalan. Persis seperti otak saya yang sedang tersumpal
sesuatu yang entah apa namanya. Air, elemen yang dekat dan penting bagi
kelangsungan hidup manusia. Sampai saat ini saya masih memilih air untuk
dijadikan tema tugas akademik, juga sebagai alasan saya ketemu dengan orang
baru. Ternyata konsekuensi dari pilihan saya terhadap air membuat kepala saya
pening.
Pertemuan saya dengan rang-orang yang memiliki
fokus terhadap isu air membuat saya melek terhadap seiris realita. Biota laut,
ikan pelus misalnya bisa menjad indikator masalah tersedianya air tawar di
daratan. Ketika kecil, ikan dengan bentuk tubuh campuran antara belut, ular dan
ikan tersebut memilih hidup di muara sungai. Setelah dewasa, pelus akan
menyelami samudera dan bertelur di kedalaman 2100 meter. Kabar dari salah
seorang pengajar sekolah maritim, jumlah ikan pelus atau sidat yang hidup di
sungai dekat muara laut di wilayah Bantul dan Sleman tak sebanyak beberapa
puluh tahun lalu. Kembali lagi ke masalah lahan yang penuh dengan semen dan
kekeringan yang melanda kota tercinta ini. Eko Teguh Paripurno, ahli geologi
UPN Veteran Yogyakarta mengatakan bahwa pasokan air tanah di dataran rendah
sebenarnya dapat dipasok dari lahan konservasi Kaliurang. Katanya, sudah
dirancang sejak zaman kolonial. Mungkin masyarakat pendahulunya yang hidup di
daerah pegunungan justru lebih paham perihal konservasi air. Begitu saja kepala
saya sudah pening. Belum lagi tentang air limbah pabrik gula, lanjutan tugas
saya dari semester tiga. Pertanyaan semacam “sudah dapat pemecahan masalah?”
yang bergaung selalu sukses membuat kepala pening seketika.
...as my memory rests
but never forgets what I lost
wake me up when September ends...
but never forgets what I lost
wake me up when September ends...
Jadi, ada mata kuliah yang bernama Bibliografi,
semacam mata kuliah untuk mengumpulkan referensi. Tugas yang diberikan dosen
adalah mencari 20 judul yang berkaitan dengan apa yang akan ditulis. Bukan hanya
sekadar mencari, tetapi juga harus merangkum bacaannya. Semester ini penuh
dengan kegiatan merangkum. Namun nyatanya, sampai saat ini masih terkumpul 5
judul baik buku maupun artikel. Belum ada apa-apanya dengan yang lainnya, Ra! Oke,
saya kurang bekerja keras. Ada juga mata kuliah sejarah sosial, tentang
perubahan sosial. Lagi-lagi saya milih air. Cakupan temporalnya, buku yang akan
digunakan juga tentang pendekatan ilmu yang akan digunakan belum saya pikirkan.
Juga tentang satu tulisan yang mangkrak hampir sebulan. Pengen gulung-gulung,
tidur, terus tahu-tahu besok sudah selesai. Mustahil, Ra! Nyatanya saraf saya
masih mengkoordinasi rutinitas bangun tidur tiap pagi, pergi ke kampus dan hal-hal
lainnya.
Mas
Billie Joe
Armstrong, saya ingin duet dengan mu! Bahkan saya jadi cengok ketika ada yang
bertanya model pelarian seperti apa yang sedang saya rancang. Sebab, dengan
menghabiskan beberapa novel yang selama ini saya yakini bisa membawa saya lari pun
belum bisa mencairkan logika dalam otak saya. Entahlah, semoga esok mood saya
dalam kondisi yang baik untuk mengusahan mereka rampung dengan selamat. Toh, tidak ada yang menyelamatkan saya, kecuali usaha sendiri dan jalinan komunikasi dengan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar