Rabu, 31 Desember 2014

Perihal Review 6 Bulan




Satu semester di jurusan sejarah tentunya membuka lembaran baru dan menoreh tinta yang bermacam-macam warnanya, walaupun sejarah dipelajari sejak bangku kelas 3 SD tetapi pemahaman baru di bangku kuliah telah merombaknya, setelah kupikir lagi ternyata sejarah membuat hidup kita lebih bijak memang sangatlah cocok, namun kami pasti dituntut untuk berpikir sehat serta kritis terhadap sejarah, karena belum tentu kita yang terlibat, dan kadang pula sejarah yang telah dikisahkan pastinya telah bercampur dan di mix dengan berbagai rasa. Abaikan hal itu, karena kami diajarkan untuk menyampaikan kebenaran yang lebih cenderung objektif. Pengetahuan kami yang telah diperoleh tersebut dirombak sedemikian rupa, dan sempat membuat kami ternganga, “kalau kau tidak rajin membaca, maka seleksi alam akan ganas kepadamu”. Begitu kecil dan sempitnya pengetahuan kami tentang sejarah itu sendiri, berhubung Negara yang kami pijak adalah Negara Indonesia, dan bangsa Indonesia maka sejarah pertamakali yang kami pelajari adalah sejarah Indonesia, bukan hanya melulu mengungkapkan tentang kemelut politik selaras dengan apa yang kita pelajari pada zaman SMP maupun SMA, atapun sejarah zaman kerajaan Hindhu-Budha yang besar, maupun sejarah kerajaan Islam di Nusantara aku yakin bukan seperti itu, ternyata, sejarah Indonesia itu cukup luas dan banyak warnanya, banyak bagiannya, bukan hanya peristiwa besar saja yang dapat ditulis sebagai sejarah, tetapi pergerakan pada masyarakat kecil, kehidupan di desa, aliran dan jalur maritim, lalu lalang di kota, perindustrian, lingkungan hidup, ekonomi, makanan, wanita, olah raga, hingga sejarah peiklanan pun dapat ditulis sedemikian rupa.
Hanya ada beberapa syarat agar lancar memahaminya dan tidak salah substansi, pertama rajinlah membaca dan kedua berpikirlah yang kritis, jangan asal comot sana-sini tanpa memahaminya. Aku justru tidak paham dan masih menyisakan tanya mengapa di semester satu yang notabenenya mempelajari sejarah Indonesia hanya sedikit saja menyinggung tentang Majapahit? Bukankah mereka telah melakukan sumbangsih terhadap Indonesia yang sekarang ini? Mungkin jika aku membicarakan tentang Majapahit maka aku akan terjebak dalam masa lalu, baiklah suatu saakan menanyakan dan mencari jawaban yang gamblang perihal tersebut.
Selanjutnya apa yang telah aku dapatkan selama disini? Kalau kujawab banyak sekali kalian pastilah tak segan-segan menggamparku. Oke akan ku jawab pertanyaan itu. Pertama tentang pemahaman baru sejarah Indonesia yang kompleks seperti yang telah aku jabarkan di atas. Kedua, adalah pengalaman untuk kembali ke masa lampau sekaligus menemukan jalan pulang ke masa kini, aku percaya itu namun belum bisa mewujudkan secara riil. Ketiga, analisa dan ketajaman pemikiran diasah disini, kalau tak ingin salah substansi maka berpikirlah. Keempat, kesempatan membaca buku yang luar biasa banyaknya, aku sampai bengong haruskah bahagia luar biasa atau merasa biasa-biasa saja, aku sarankan memilih yang pertama saja, dari kategori novel roman hingga bacaan “berat” dan arsip sangat direkomendasikan disini. Kelima, belajar bahasa asing, bahasa bangsa yang pernah menjajah bangsa ini selama berpuluh-puluh tahun atau yang seumuran jagung, yak bahasa Belanda dan Jepang untuk dukungan membaca arsip. Keenam quality time diskusi, mulai dari masalah kost, film documenter, film fiksi ilmiah, hingga diskusi buku, itu sangat membantu menguak pemikiran kita.
Lalu mengapa banyak orang yang nyinyir seolah jurusan sejarah adalah orang-orang yang susah move on? Sejarah itu kurang diminati! Prospek kerjanya apa? Kamu yakin cuma ingin jadi sejarawan? Gajinya kecil loh!. Ah sebodo amat dengan pertanyaan dan pernyataan tersebut, atpi bukan berarti benar-benar tidak memikirkannya. Hahaha, orang akan nyinyir seperti itu karena mungkin tidak belajar tentang nasionalisme yang wajar terhadap bangsa ini, belum pernah merasakan duduk di bangku sejarah, yang mengajarkan banyak hal, justru sejarahlah yang menuntun kita untuk melaju di kekinian dan membuat gagasan-gagasan besar karena telah kenyang menganalisa masa lampau, dan tak mau terjerembab di tempat yang sama, kalau kalian bertanya tentang prospek kerja, banyak sekali yang dapat dikerjakan sejarawan, dari pegawai museum, pegawai arsip daerah, arsip Nasional, penerjemah, sejarawan, dosen, guru, travel guide, penulis novel, buku, biografi, travel note, atau apapun itu sangat memungkinkan untuk dikerjakan dan dicapai.  Yang terpenting berusahalah!!!

Yogyakarta, didalam dekapan hujan dan petir 19 Desember 2014
Selamat mengabdi Universitas Gadjah Mada

Rabu, 26 November 2014

Budayaku: Semakin Berkibar dalam Peleburan Ataukah Semakin Terkikis dengan Pengaruh Global?





Budaya atau culture, sebenarnya apa hakikatnya? Kalau yang aku dapatkan dari bangku kuliah  lebih mengarah kepada suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi atau Andreas Eppink mengatakan bahwa kebudayaan adalah kesulurah unsur, keseluruhan stuktur social yang menjadi suatu ciri khas dalam masyarakat. Baiklah sekarang adalah pernahkah kita membayangkan nasib tarian daerah, mainan tradisional anak-anak kecil, upacara keagamaan atau upacara adat, atau apapun budaya yang berbentuk ritual setahun kedepan ketika Asean Economic Asean sudah menebar bak virus yang segala macam kegiatannya serba bebas? Atau beberapa tahun kedepan ? aku tahu, pasti ada yang berpikiran bahwa kebudayan itu berkembang mengalami pemekaran yang lebih dinamis, dapat berubah sesuai kebutuhan masyarakat bisa ditambah maupun dikurangi, tapi masalahnay adalah ketika suatuu nilai kebudayaan itu dikurangi atau ditambah dengan kebutuhan masyarakat maka apakah hal tersebut tidak mengurangi nilai inti dari sebuah ritual tersebut? Atau bahkan akan benar-benar terkikis lalu hilang sama sekali dan hanya meninggalkan cerita lama pada generasi mendatang serta kehilangan ke- khas- annya.
Misalkan saja adanya Sekaten di Solo dan Yogyakarta, tentunya jika kita mengamati sejarahnya maka bias saja acara tersebut pada 20 tahun yang lalu penuh dengan kesakralan, khas, khusus, dan benar-benar mengacu pada arti kata sekaten tersebut, waktu yang dipakai juga tidak terlalu lama, 1 hari lalu dengan adanya keinginan masyarakat maka waktunya ditambah menjadi 6 hari lalu menjadi satu bulan, kalau diperhatikan lagi sekarang dalam naungan acara sekaten semakin banyak acara hiburan bagi masyarakat, yang paling melekat adalah dangdutan pada masa 15 tahun silam, sekarang pada tahun 2014 mungkin sekaten akan identik dengan pasar malamnya. Memang kalau dilihat sebagai pegerakan ekonomi masyarakat, dengan adanya perayaan ini maka dampak pada perekonomian masyarakatnya juga baik karena mereka akan mendapat penghasilan dari sana, itu kalau acaranya ditambah, lalu bagaimana jika dikurangi, apakah mereka, para turis yang ingin menyaksikan tidak akan lari karena durasi yang diperpendek. Lalu bagaimanakah dengan tarian, aku yakin di setiap daerah di Indonesia tentunya memiliki tarian derah masing-masing, kalau seumpama ada yang berkilah tentang dinamis, maka siapa lagi yang akan mengajarkan kesenian itu lalu mengembangkannya, mengenalkan, menghadirkan Indonesia dari sisi kesenian dan kebudayaan dalam kancah dunia. Para penari masa kini mayoritas sudah berumur, kalau mereka sudah tak kuat lagi menjadi guru, lantas siapakah yang akan meneruskannya, yang akan mengenalkan pada dunia 5-atau bakan sekian tahun yang akan datang?

Yang menghawatirkan adalah dengan adanya pengurangan atau penambahan karena keinginan masyarakat yang didalamnya misalkan saja ajaran sekaten sudah tidak relevan dengan salah satu agama di Indonesia, maka apakah akan secara perlahan rusak? Lalu memudar, dan kita sebagai penikmat tidak bisa menularkan atau mengajarkan pada anak-anak masa mendatang tentang kebudayaan yang pernah ada karena telah terlalu cepat hilangnya dan digantikan dengan budaya-budaya luar, lalu bagaimana dengan gembar-gembor generasi muda harus melestarikan kebudayaan?, apalagi kaum sekarang lebih cenderung terhadap budaya latah yang inginnya ikut-ikutan melulu terhadap apapun yang baru berkembang di dunia untuk menutupi rasa gengsi. Aku bukannya berpikir konservatif, dan mengembalikan pikiarn kita terlalu jauh. Namun inilah yang aku takutkan, ketika semuanya dinamis, lalu dimana letak ke-khas-an kita yang menjai daya tarik dan ceminan bangsa kita?

Selasa, 21 Oktober 2014

Noda Aspirasi Pilpres di Indonesia




Telah tertulis dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 28 bahwa: kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang- undang. Serta tercantum pula pada Undang- undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 1998 pasal 1 ayat (1): kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Black campaign atau yang sering disebut sebagai kampanye hitam menjadi marak pada pemilu akhir- akhir ini, hal itu tentu didukung dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang media,  internet yang mudah dijumpai dan kecepatan akses data dan banyaknya link website membuat kita bebas memilih untuk mendapatkan berita pemilu di tahun politik 2014. Kampanye hakikatnya adalah upaya politik yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih yang merujuk pada pemilu. Nah mengapa harus ada istilah black campaign? hal ini karena adanya kekeliruan dalam metode kampanye, kampanye yang harusnya menyampaikan pesan positif kepada masyarakat khususnya pemilih haruslah positif tersebut, berubah menjadi berisi sindiran, isu, rumor politik yang mengarahkan persepsi pemilih menjadi negatif terhadap salah satu calon dan meningkatkan eksistensi calon yang diusung dengan berbagai macam cara guna mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan.
            Pada dasarnya ketika berpendapat, maka kita dalam mengungkapkannya haruslah memegang prinsip bebas dan bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi ketertiban sosial, bebas ketika mengungkapkan ide, pemikiran kita tanpa ada halangan dan tekanan dari pihak lain sekaligus tidak melupakan tanggung jawab terhadap apa yang telah diungkapkan berdasar norma yang berlaku dalam masyarakat. Bukan malah menjadi bebas sebebas bebasnya tanpa batas dengan beredarnya berita yang berhembus dari kedua pihak yang semakin kencang, yang memiliki tujuan mengunggulkan calon yang diusung dengan banyaknya berita simpang siur yang mewakili masing-masing kelompok dengan memberi manfaat politik sepihak saja untuk menarik minat para pemilih.
            Maraknya black campaign di media sosial, blog, bahkan situs berita, jujur saja membuat pemilih pemula yang awam tentang politik menjadi bingung. Bahkan menyerap informasi tanpa adanya saringan bisa membuat kesalahan dalam menentukan pilihan karena bisa saja mereka terpaku pada salah satu sumber berita, menjadi fanatik atau bahkan merasa masa bodoh terhadap masa depan bangsa.
            Kita tentunya tidak lupa dengan asas pemilu LUBeR JurDil (Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil), adanya kaitan dengan fanatisme hasil dari black campaign terhadap pemilih pemula rata- rata berumur 17-20 tahun yang notabene masih dalam krisis jati diri mengungkapkan secara terang-terangan siapa yang akan dipilih pada hari H pemilu. Hal tersebut semakin membuat hawa di jejaring media sosial semakin panas dengan bertambahnya berita simpang siur  yang justru dapat menyebabkan keretakan hubungan antar pemuda dalam bangsa ini.
           















Daftar pustaka
http://www.deteksinusantara.com tanggal akses 5 September 2015, 22.13 WIB
Law9.1998Freedom of Opinion in Public ID
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia
Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum


Senin, 13 Oktober 2014

Desiran Angin dibalik Sebuah Dialog


Cek...cek...cek
Bukan, yang ku  maksud bukan cek giral untuk mencairkan uang
Tapi, suara dari corong-corong tua para masjid dan surau
Yang menggema dari seluruh penjuru mata angin kampung
Sajadah, bedug, tikar digelar beramai-ramai dipelataran, disucikan
Aroma kue apem, nasi kuning, buah-buahan menguar di udara
Ah, kau mungkin sudah mulai tahu maksudku
 Angin mengintip dari ujung jendela
 “ Wahai angin, bahagiakah engkau?”
“ Tentu saja, aku terlampau bahagia untuk menghadap Tuhanku lagi
Dalam bulan penuh berkah” kata angin yang menelisik diantara helaian rambut
Aku tak percaya, kau mulai membohongiku angin!
Ada pertentangan nyata dalam kalimatmu
Suaramu boleh saja ceria, tapi hembusanmu
Menyatakanbahwa kau sedang dipeluk keresahan
Lihat  dan perhatikan saja jika gelap berani merangkak naik
Suara mercon, petasan, dan jeritan kegembiran anak  kecil
Beradu, bergumul, bersaing diantara lantunan ayat suci
Tak terkecuali persaingan lampu masjid dan percikan cahaya yang merayu langit malam
Jalan-jalan ikut menggerutu
Bukankan kita akan menghadap bulan penuh keistimewaan?
Tapi mengapa mereka besuka cita dengan menghamburkan uangnya?
Suara mercon berhenti, digantikan dengan kumandang adzan Isya’
Sekarang lihat, adzan Isya’ punya kekuatan magis untuk menghentikan dentuman memekakkan gendang telinga, sekejap saja
Menyerap muslim siapa saja untuk kembali menjejak kaki suci di masjid dan surau
Masjid penuh, surau penuh dengan orang-orang yang menjalankan tarawih
Kuharap kau masih mengingat
Isya’ tempo hari dengan masjid dan surau yang hampir melompong
Ah, kurasa ini mulai memasuki jaman krisis iman
Tapi, aku tidak ingin mendikte mereka  Ya... Allah
Aku tak ingin berprasangka buruk pada mereka Ya... Allah
Aku hanya ingin mencari keberkahan bersama orang-orang
Yang telah Engkau bukakan pintu hatinya
Belajar istiqomah menapak di jalanMu
Angin mendengar dialog kita... Allah
Dan aku pun tahu Engkau adalah maha dari segala maha
Maka, sisakanlah ramadhan yang indah bagiku...Allah.


sebuah catatan akhir ramadhan 1435 H

Rabu, 24 September 2014

Menyentuh Kelopak Sakura



via kojikisan


Kau hanya tahu tongkang-tongkang kecil ini akan berlayar
Namun kau tak pernah tahu kemana mereka berlabuh di muara yang tepat


Tanggal 27 Mei di media sosial sudah ramai dengan harapan teman sebaya juga, ingat hari ini merupakan pengumuman hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri alias SNMPTN yang baru bisa diakses pukul 12, agak gugup lagi sebenarnya, bekeringaat dingin dan gemetaran, tapi tak apalah aku mencoba berpikir positif, menguatkan diri dan berdoa. Itu sekarang yang aku lakukan.
“ Diterima dimana?” kata itulah yang kerap dilontarkan ibu rumah tangga yang rumpi di bakul sayur dekat rumah kepadaku ataupun di akun-akun media sosial, hingga jengah rasanya telinga ini mendengar dan mulut menjawab. Demi menjaga kesopanan akhirnya kuucap  kata Yogya dengan lirih.
 Semenjak pengumuman, hari liburku serasa hitam putih tanpa warna, dan polos. Ah  mungkin kalau masih ukuran anak SD musim liburan akan pergi keluar kota, bermain masak-masakan sambil membangun tenda di halaman rumah atau bersepedah ramai-ramai dengan teman sebaya keliling kampung. Keadaan berbanding terbalik, kalau toh aku ikut dalam acara anak SD pasti orang akan menganggap masa kecilku kurang bahagia, maka aku hanya diam menghabiskan waktu untuk menonton TV yang penuh berita politik, makan, tidur, cek notification media sosial dan nge-game hampir sehari penuh hingga tiba SMS tawaran untuk rujakan bareng bersama teman masa SMP, secara otomatis aku mengiyakan tawaran itu. Yang penting  kumpul sebelum merantau lagi.
Baru beberapa anak yang datang ke rumah Ninik, kali ini dia menjadi tuan rumah. Aku, Ais, dan Ninik pergi ke dapur untuk menyiapkan bumbu, teman yang lain kebagian mengupas dan memotong buah.
“ Cieee, sudah ada yang mau merantau di bumi keraton nih, keterima di jurusan sejarah murni ya?” celetuk Ais di sela gemringsing gorengan kacang tanah.
“  Honto ni?[1] Wah selamat-selamat, dengar-dengar si Rendra mau merantau lagi ya? Tapi di Jember, kenapa nggak di Jawa timur aja Dis kan enak tuh masih bisa ketemu Rendra kapan aja”. Ninik ikut bicara, melontarkan pertanyaan beruntun. Nama itu disebut lagi, sudah hampir 3 tahun aku tak pernah ada orang yang membicarakannya, apalagi mendengar kabarnya. Rendra, ya nama itu kembali dalam ingatanku lagi.
Apa-apaan ini mayoritas mereka akan berasumsi orang sejarah itu golongan orang-orang yang susah move on terhadap mantan baik itu mantan pacar, mantan calon pacar atau mantan-mantan yang lain, identik dengan insomnia sepanjang malam dan galau berkepanjangan
“ Hehehehe... iya, benarkah? Beruntung sekali dia bisa merantau dari usia belia”. Aku terkejut, sekaligus bengong.
“ Iya, di grup lini masa sudah banyak kabar tuh, ada niat balikan lagi sama si Rend?”sebuah pertanyaan tanpa basa-basi yang cukup menohok dari Ais.
“ Hah? Balikan? Balikan apa? Siang malam aja mau gantian, musim juga ikutan ganti, masak aku harus stuck terhadap seorang anak yang bernama Rendra?” suaraku mencuat tak keruan, salting lebih tepatnya.
“ Wuah, sudah berhasil move on dong, cowok baru dari mana?” Ais dan Ninik menjadi antusias, aku malah wegah menanggapi omongan kalau pembicaraan ini mengarah pada rumpi.
“ Mendapat cowok baru? Jelas, memangnya kamu tidak? See cowok baru dari mulai kakak kelas, teman seangkatan yang kece, dan adik kelas yang unyu-unyu. Mereka semua jadi cowok baruku dengan status teman yang sah.” Jawab ku langsung.
“ Wah, jadi udah taken nih? Sudah gak jomblo lagi.” Suara berisik melatar belakangi omongan barusan
“ Walaupun gak taken, tapi bukan jomblo juga, jangan pernah menyamakan antara jomblo dengan single loh. Kalau single bisa jadi pilihan kalau jomblo jelas nasib, kalau aku sih gak mau dianggap jomblo.” Jawabku sekenanya.
Bumbu rujak sudah siap, mataku beradu sebentar hanya beberapa detik saja ketika mengantarkan bumbu di ruang tamu dengan  sosok 4 tahun lalu. Mata itu tetap saja sendu, tiba-tiba saja aku ingin marah, marah pada waktu yang melemparkan aku kembali pada kenangan lama itu.
ӁӁӁ
            “ Rend, waktu istirahat pertama nanti ikut aku ke perpus, sendiri saja”. Kurasa kalimatku sedikit  apatis, aku tak tahu bagaimana lagi cara menyusun kalimat yang baik karena pikiranku sudah kalut sejak semalam.
            Tanpa menunggu jawaban, aku langsung pergi ke tempat duduk yang jauh dari bangku Rendra, dia bingung dengan maksudku. Iya ini terdengar egois, terkesan mau menang sendiri.
            Bel istirahat sudah lewat dari 5 menit yang lalu, perpustakaan sudah mulai ramai dengan anak-anak yang meminjam novel,diantara puluhan anak yang berjubel itu aku melihat Rendra berusaha menuju kearahku
            “ Kamu ada apa sih?”       
        “ Bukan aku yang ada apa,  tapi kamu yang ada apa dengan... ah, lupakan!” telingaku menangkap getaran aneh dari suaraku. Aku tak sempat menyelesaikan kalimat yang kuucapkan.
            “ Disti, lihat ke arahku, apa yang salah denganku, apa yang salah denganmu, apa yang salah dengan hubungan kita?” Rendra belum paham rupanya.
            “ Tidak, tidak ada yang salah denganmu, mungkin aku yang salah mengartikan. Aku... Aku rasa kita lebih nyaman berada dalam batas pertemanan saja, lebih leluasa untukmu juga untukku.” Mataku penuh, sudah jelas apa yang kukatakan.
            “ Aku balik ke kelas, kau ikut juga atau memilih mematung disana atau bahkan ingin tenggelam bersama buku-buku.” Kataku tanpa  menoleh lagi, dan ku rasa dia memilih untuk mematung sejenak disana.
            Andai, andai saja aku berani mengungkapkannya Rend, mungkin aku tak menumpuk perasaan seperti ini, aku tak membatasi kepada siapapun kamu berteman. Benar, aku tak berhak atas apapun dalam hidupmu, tapi setidaknya kau menjaga perasaan wanita yang menyukaimu, aku memang berharap seperti itu. Sulit rasanya, bahkan menghela napas untuk menahan air mata.
ӁӁӁ
            Tumpukan berkas beasiswa, bersading dengan printer, papercraft anime yang lucu, laptop, dan gelas kopi, HP hampir memenuhi meja yang tak begitu besar.
            “ Disti, tolong kecilkan suara sound mu itu, ibu lagi telpon ke pak de ini.” Ibu mengencangkan suaranya dari ruang tengah.
            “ Inggih bu.” Cepat ku sahut panel pengecil suara. Tak lama kemudian HP ku berjerit nyaring, dari Ais. Ada untungnya juga aku mengecilkan suara sound.
            “ Halo Ais, assalamualaikum, apa kabar?” aku tak sabar menunggu jawaban dari seberang telepon
            “ Waalaikumsalam, hehehehe... baik Dis, kamu tetap sama ya, selalu reaktif kalau di telpon. Eh, jadi berangkat kapan?” Tawa Ais terdengar renyah di telinga
            “ Berangkat besok Ais, bantuin aku gih ngepack barang, nginep sekalian disini kek, atau menemani belanja peralatan untuk besok.”
            “ Bandung-Mojokerto Disti, aku gak sanggup pulang, peluk dari sini saja deh.”
            “ Pakai teleportasi[2] dong, kan cepet.” Aku menyarankannya
            “ Ogah, menyerap banyak energi. Tapi, semoga Allah membarokahi jalanmu Dis.”
            “ Amin, terimakasih doanya Ais,  semoga Allah memberkahi jalanmu juga”
            “ Yah... gak jadi kesini ceritanya?”
            “ Enggak Disti... enggak! See you next time ya, assalamualaikum?”
            “ Waalaikumsalam, thank you atas telpon hari ini. See you next time juga.”
            Pagi buta, adikku yang membawa mobil ini menuju Juanda samar-samar dia menyanyikan lagu Leaving On A Jet Plane sepanjang  jalan. Pukul 5 kami sampai di Juanda kabut dan angin musim kemarau ini memaksaku merapatkan jaket yang ku kenakan.
            Sebelum masuk ke dalam ruang tunggu ku sempatkan untuk memeluk hangat adikku sekali lagi.
            “ Kamu hati-hati ya, jagain bapak ibu, sekolah yang bener, gausah pacaran dulu, gak usah neko-neko, kalo sudah berhasil insyaallah semua gampang.”
            “ Iya mbak, kamu juga hati-hati, jangan kecantol dengan pria sana.” Kuamati sekali lagi dia, tak jauh dibelakang adikku dua orang yang ku kenal berdiri santai.
            “ Ais, katanya gak pulang, katanya lagi di Bandung.” Aku juga membagi pelukan hangat untuknya.
            “ Hehehehe... aku sudah di rumah dari seminggu yang lalu kok, maaf ya?” dia nyengir lebar.
            Satu orang lagi yang berdiri tak jauh dari kami. Rendra. Kuhampiri dia sekedar untuk bersalaman dan pamit.
            “ Mengapa harus pergi lagi?” tanyanya lirih.
            “ Kamu...? nanti biar derik detik jam yang mendidikmu mengerti mengapa kita harus saling pergi."
ӁӁӁ


Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...