Beberapa bengong, beberapa nglamun, beberapa turun ke jalan, dan beberapa pasang status aneh di medsos, dan beberapa mikir bikin essay. Saya termasuk yang bengong. Oke, baiklah, kemarin 28/10/15 merupakan peringatan hari sumpah pemuda yang ke- 87, sudah tua ya? Jika pemuda dikategorikan berdasarkan umur 16-30 tahun, maka sudah ada sekitar 3 keturunan. Ya, dan kemudian dibagi-bagi menurut zamannya.
Menurut ku pribadi,
pertama ada pemuda pada zaman pergerakan nasional, yang mikir banget gimana
caranya menyatukan sifat kedaerahan menjadi sifat memiliki yang satu, mungk in
belajar dari Eropa yang peradabannya
melesat jauh dibandingkan kita yang baru 6 abad kemudian baru memasuki jaman modern,
bersatunya daerah-daerah memang sudah ada di Jerman, tahunnya lupa. Tapi
intinya adalah bersatunya rasa saling memiiki pada setiap tanah air di Eropa
yang kemudian menjadi cikal-bakal nation-state
dan citizenship. Kemudian pemuda
zaman ini menghasilkan kongres pemuda yang mampu menyatukan Indonesia, tentunya
dengan proses yang lebih panjang. Yang menggodok pola pikir yang kelak menjadi
bapak-bapak bangsa.
Golongan pemuda kedua,
merupakan pemikir gimana caranya biar ibu pertiwi ini bisa bernapas lega dari
dekapan pemerintah colonial hingga pecahnya perang Asia Timur Raya a.k.a Perang
Dunia ke-2. Seperti yang diketahui bersama perihal peran pemuda yang mendesak
agar segera melakukan proklamasi, biar Ibu pertiwi berada di tangan Indonesia
sendiri. Akibat dari desakan tersebut, lahirlah kemerdekaan 17/08/1945, tapi
rupanya tangan pemilik kuasa atas Hindia-Belanda, tidak merestui. Mereka
akhirnya hanya sepakat dengan setengah hati pengakuan kedaulatan ini, empat
tahun setelahnya. Setalah pasca 1945
sampai 1965 bau pemuda pudar dan hampir jarang terdengar kecuali lewat pekikan
karya sastra yang tertulis dan tetap didengarkan hingga saat ini melalui karya
Chairil Anwar, yang mati muda, karena Tuhan mungkin masih sayang padanya. Periode
65 teror dan perselisihan dalam politik menyebabkan pergantian penguasa. Tahta
selama 32 tahun tidak tergoyahkan, banyak media yang menjadi kontrol
pemerintahan dibredel karena tulisannya terlalu pedas, pemuda malah tak disorot
dan tidak terlalu dikoar-koarkan, kecuali mungkin bersinarnya pemuda di bidang
olahraga.
Golongan pemuda ketiga ini yang memiliki sifat
pemberontak paling besar (memang pemuda bahagia sekali melakukan pemberontakan
kepada yang lebih tua, ini kodrat :D), enggak deng, ini memberontak untuk
menciptakan (harapannya) pemerintahan yang lebih baik, ini tahun 1998. Saya
masih ingusan dan unyu pastinya, belum bisa mikir apa-apa. Sedangkan pemudanya yang mungkin lahir pada
tahun 1976-an udah turun ke jalan, menjadi buronan selama berbulan-bulan, untuk
memperjuangkan “Ibu Muda” kita. Keadaan memanas, penjarahan terhadap toko-toko
tionghoa merambah dimana-mana, erutama di daerah Jabodetabek, aku kurang tahu
bagaimana respon pemuda di daerah lain. Pemerintah digulingka, penguasa turun
tahta pada Mei 1998, dan Indonesia mulai dengan pola pemerintahan yang
warna-warni hingga pergantian ke 5 kali sampai saat ini.
Golongan keempat ini yang semakin frontal, ini
golongan pemuda yang tumbuh setelah tahun 2000an, millenium baru. Arus
globalisasi mulai merajalela, kebebasan dibuka lebar-lebar. Setiap tidak sesuai
dengan kehendak hati rakyat kecil, turun ke jalan, protes, kadang malah
mengkritik pedas pemimpin yang dielu-elukan pada saat pemilu. Oke, bagi ku periode terakhir 1998 merupakan
sejarah besar yang terukir bagi pemuda, dan slogan pemuda meneruskan perjuangan
lewat belajar dan memerangi kebodohan. Good, memerangi kebodohan. Muncul
pertanyaan baru, hal seperti apa yang harus kita pelajari? Mempelajari pola
pikir pemuda tahun 1908 an? Atau mengadopsi keberanian pemuda tahun 1998. Oh
iya aku baru ingat, masa reformasi sudah berusia 17 tahun, masa-masa labil bagi
manusia yang berusia segitu. Semoga reformasi tidak labil seperti kami.
Tujuan tulisan ini tidak bermaksud untuk menyangsikan
apa yang dilakukan pemuda pada masa “Indonesia yang kegelontor modernisasi”,
juga bukan pula mengajak berpikir ala konservatif untuk kembali ke masa
tradisional, sungguh tidak ada maksud seperti itu.
Bagiku tidak ada hal besar yang diukir pemuda pada
masa ini. Peringatan sumpah pemuda yang berkata bertumpah darah satu, bertanah
air satu, dan berbahasa satu hanya menjadi celetukan “oh, hari sumpah pemuda
ya? Hemmm”. Untungnya beberapa masih
menghormatinya walau sekadar upacara ceremony,
untung masih ada yang turun ke jalan, masih untung ada yang hapal
kata-katanya, dan semoga untung masih ada yang memaknainya betapa besarnya
kekuatan 3 poin tersebut untuk mengokohkan persatuan agar tidak diitervensi
oleh orang-orang lain.[1]
-K-28102015
-K-28102015
[1]
Ini hanya sekadar uneg-uneg yang ada di otak saya perihal peringatan yang hanya
sekadar peringatan tanpa makna. Saya masih menjadi mahasiswa yang biasa-biasa
pun tidak karena kontribusi pada pendidikan yang amat sangat minim bagi orang
tua dan bangsa. Baca buku tergantung mood, nulis makalah buat tugas aja masih
nol putul, dan malah tidak mengerti secara pasti tentang masa glorius past apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar