Sabtu, 14 November 2015

Aku, Kamu, dan Kita Perlu Menulis

“ Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan pernah padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”.
-Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semuau Bangsa, tetralogi Buru-



Ya, pertanyaan penting mengapa aku, kamu dan kita perlu menulis? Jawabannya sudah tersedia dari para penulis besar yang mencantumkan keharusan menulis di setiap karyanya. Agar manusia tetap eksis dan dunia tahu bahwa ia pernah ada. Penulis seperti Pram walaupun ia telah meninggal beberapa tahun yang lalu, tapi karyanya tetap dibaca hingga saat ini, dan kemungkinan peminatnya akan bertambah setiap tahun.  Quotes tentang menulis telah banyak bertebaran di dalam pikiran manusia saat ini seperti “ menulislah maka kamu ada” yang sialnya saya lupa siapa yang mengucap seperti itu.
Keharusan menulis bagiku tentunya digunakan sebagai penyeimbang dari firman Tuhan untuk membaca. Ingat kan ketika semasa SD atau SMP kita diharuskan untuk hapalan surah Al-Alaq? Penyeimbang dari kegiatan membaca mungkin bisa dianalogikan seperti otak yang terus menerus mendapat asupan oksigen, dan otak memiliki tanggung jawab untu mengedarkan udara melalui peredaran darah dan sistem dalam tubuh lainnya. Lalu kalau otak tidak mampu menunaikan keajiban tersebut apa yang akan terjadi? Mungkin akibatnya otak akan mengalami full capacity tetapi bagian jantung, bagian tubuh lainnya akan perlahan-lahan berhenti berdenyut. Bisa saja tidak berfungsi dengan baik, atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Begitu juga dengan menulis yang merupakan kegiatan untuk mengekstrak ilmu pengetahuan dari apa yang pernah kita baca. Korelasi antara keduanya berjalan beriringan dan saling membutuhkan sampai kapanpun. Supaya bisa menulis, sejarawan harus rajin membaca, begitulah juga kiranya pesan yang disampaikan oleh guru besar sejarah Prof. Sartono Kartodirdjo.
Lalu mengapa aku harus menulis?
Dari sedikit cuplikan quotes diatas, aku harap aku bukan sebagai ahli batin yang baik (pinjam istilah dosen bahasa Indonesia). Semoga kalian paham maksud tulisanku. Hehehe. Oke, jadi begini menulis harus dijadikan kegiatan rutin agar apa yang kubaca tidak menguap begitu saja, harus ada media untuk “mengurungi” ilmu tersebut agar tidak menguap sia-sia.[1] Sejak kecil bapakku selalu bilang  aku harus merangkum bacaan. Rangkum, rangkum dan rangkum terus supaya perlahan menangkap apa yang disampaikan oleh bacaan, tidak berlangsung lama kegiatan merangkumku itu, hanya sekitar sampai akhir masa SMP dan menjadi jarang sekali hingga saat ini. Tapi setelah akhir-akhir ini berkontemplasi (halah) ternyata hal itu sangat berguna jika dilakukan sampai saat ini (maafkan saya bapak, karena tidak menuruti nasihatmu).
Ternyata menulis bukan hanya perihal tuntutan akademik saja. Bagiku yang menyukai  tulisan sastra lebih enak ketika nulis lagi galau. Entah berapa banyak buku monyet yang ku punya untuk menulis setiap tempat baru yang kukunjungi, atau peristiwa yang terjadi pada hari itu.  Setelah ditelaah lagi, ternyata dengan cara nulis di buku monyet tersebut kita dapat mengetahui masalah apa yang terjadi di sekita kita. Sukur-sukur dengan belajar peka realita akan bisa menemukan problem solving.
Lalu kenapa juga kamu harus menulis?
Kamu, iya kamu juga harus nulis supaya kamu juga kuanggap pernah hidup di lingkaran hidupku, setidaknya aku mengenalmu walau melalui tulisan. Pengetahuan yang kau dapatkan dan pengelolaan informasi yang berbeda akan menjadi warna baru di dunia tulis-menulis. Seperti confeito yang berbeda warna tetapi tetap manis ketika dirasa di mulut. apa yang telah kita tulis adalah cerminan bacaan dan pola pikir kita. Harapannya ketika tulisan itu ada sasarannya akan ada perbaikan dari apa yang disebut dengan tanggung jawab sosial (pinjam lagi istilahnya pak GM), apalagi kamu adalah generasi muda, yang masih mudah untuk belajar tentang hal-hal baru.
Nah, kalau aku dan kamu sama-sama menulis maka tidak menutup kemungkinan kita memiliki memori kolektif yang sama. Memori tentang keadaan tahun tahun ini, atau memori kita tentang 10 tahun yang lalu atau yang akan datang dari berbagai aspek. Mengasikkan bukan? Seperti yang disinggung dalam historiografi (pendeknya adalah sejarah penulisan sejarah. Aku harap kalian tidak bingung) tulisan-tulisan kita sekarang akan dikaji anak turun kita. Mereka membaca kembali pola pikir kita, memproyeksikan, dan kemudian merekonstruksi sebab-sebab mengapa kita menulis ini itu pada saat ini. Dan mereka akan mengambil pemahaman yang lebih bijak. Bukankah begitu?
Bagiku menulis adalah perwujudan tanggung jawab sosial, menyebarkan pengetahuan yang kuterima, menjadikan ilmu yang bermanfaat  pada hari ini, besok dan yang akan datang, dan sedikit menitipkan jejak keberadaanku pada masa sekarang.
Yang tertulis akan tetap abadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.[2]

-K-14112015





[1] Menjaga dalam sangkar. Hal tersebut selalu disampaikan bapak dari masaku SD
[2] Salah satu kalimat yang kuingat dari sebuah karya Dewi Lestari. Kalau tidak salah ingat, ini ada dalam novel Perahu Kertas

1 komentar:

  1. Yosh... kweren yamaan... good! Lanjutkan
    (Aku pikir aku juga harus nulis juga, paling ga dibuku monyet lagi) wkwkwk
    Thx!!

    BalasHapus

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...