“ Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih
dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan pernah padam ditelan angin,
akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”.
-Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semuau
Bangsa, tetralogi Buru-
Ya, pertanyaan penting mengapa aku, kamu dan kita perlu menulis? Jawabannya sudah tersedia dari para penulis besar yang mencantumkan keharusan menulis di setiap karyanya. Agar manusia tetap eksis dan dunia tahu bahwa ia pernah ada. Penulis seperti Pram walaupun ia telah meninggal beberapa tahun yang lalu, tapi karyanya tetap dibaca hingga saat ini, dan kemungkinan peminatnya akan bertambah setiap tahun. Quotes tentang menulis telah banyak bertebaran di dalam pikiran manusia saat ini seperti “ menulislah maka kamu ada” yang sialnya saya lupa siapa yang mengucap seperti itu.
Keharusan menulis bagiku tentunya digunakan sebagai
penyeimbang dari firman Tuhan untuk membaca. Ingat kan ketika semasa SD atau
SMP kita diharuskan untuk hapalan surah Al-Alaq? Penyeimbang dari kegiatan
membaca mungkin bisa dianalogikan seperti otak yang terus menerus mendapat
asupan oksigen, dan otak memiliki tanggung jawab untu mengedarkan udara melalui
peredaran darah dan sistem dalam tubuh lainnya. Lalu kalau otak tidak mampu
menunaikan keajiban tersebut apa yang akan terjadi? Mungkin akibatnya otak akan
mengalami full capacity tetapi bagian
jantung, bagian tubuh lainnya akan perlahan-lahan berhenti berdenyut. Bisa saja
tidak berfungsi dengan baik, atau bahkan tidak berfungsi sama sekali. Begitu juga
dengan menulis yang merupakan kegiatan untuk mengekstrak ilmu pengetahuan dari
apa yang pernah kita baca. Korelasi antara keduanya berjalan beriringan dan
saling membutuhkan sampai kapanpun. Supaya bisa menulis, sejarawan harus rajin
membaca, begitulah juga kiranya pesan yang disampaikan oleh guru besar sejarah
Prof. Sartono Kartodirdjo.
Lalu mengapa aku harus menulis?
Dari sedikit cuplikan quotes
diatas, aku harap aku bukan sebagai ahli batin yang baik (pinjam istilah dosen
bahasa Indonesia). Semoga kalian paham maksud tulisanku. Hehehe. Oke, jadi
begini menulis harus dijadikan kegiatan rutin agar apa yang kubaca tidak
menguap begitu saja, harus ada media untuk “mengurungi” ilmu tersebut agar
tidak menguap sia-sia.[1] Sejak
kecil bapakku selalu bilang aku harus
merangkum bacaan. Rangkum, rangkum dan rangkum terus supaya perlahan menangkap
apa yang disampaikan oleh bacaan, tidak berlangsung lama kegiatan merangkumku
itu, hanya sekitar sampai akhir masa SMP dan menjadi jarang sekali hingga saat
ini. Tapi setelah akhir-akhir ini berkontemplasi (halah) ternyata hal itu
sangat berguna jika dilakukan sampai saat ini (maafkan saya bapak, karena tidak
menuruti nasihatmu).
Ternyata menulis bukan hanya perihal tuntutan akademik saja.
Bagiku yang menyukai tulisan sastra lebih
enak ketika nulis lagi galau. Entah berapa banyak buku monyet yang ku punya
untuk menulis setiap tempat baru yang kukunjungi, atau peristiwa yang terjadi
pada hari itu. Setelah ditelaah lagi,
ternyata dengan cara nulis di buku monyet tersebut kita dapat mengetahui
masalah apa yang terjadi di sekita kita. Sukur-sukur dengan belajar peka
realita akan bisa menemukan problem
solving.
Lalu kenapa juga kamu harus menulis?
Kamu, iya kamu juga harus nulis supaya kamu juga kuanggap
pernah hidup di lingkaran hidupku, setidaknya aku mengenalmu walau melalui
tulisan. Pengetahuan yang kau dapatkan dan pengelolaan informasi yang berbeda
akan menjadi warna baru di dunia tulis-menulis. Seperti confeito yang berbeda warna tetapi tetap manis ketika dirasa di
mulut. apa yang telah kita tulis adalah cerminan bacaan dan pola pikir kita. Harapannya
ketika tulisan itu ada sasarannya akan ada perbaikan dari apa yang disebut
dengan tanggung jawab sosial (pinjam lagi istilahnya pak GM), apalagi kamu
adalah generasi muda, yang masih mudah untuk belajar tentang hal-hal baru.
Nah, kalau aku dan kamu sama-sama menulis maka tidak menutup
kemungkinan kita memiliki memori kolektif yang sama. Memori tentang keadaan
tahun tahun ini, atau memori kita tentang 10 tahun yang lalu atau yang akan
datang dari berbagai aspek. Mengasikkan bukan? Seperti yang disinggung dalam
historiografi (pendeknya adalah sejarah penulisan sejarah. Aku harap kalian
tidak bingung) tulisan-tulisan kita sekarang akan dikaji anak turun kita. Mereka
membaca kembali pola pikir kita, memproyeksikan, dan kemudian merekonstruksi
sebab-sebab mengapa kita menulis ini itu pada saat ini. Dan mereka akan
mengambil pemahaman yang lebih bijak. Bukankah begitu?
Bagiku menulis adalah perwujudan tanggung jawab sosial, menyebarkan
pengetahuan yang kuterima, menjadikan ilmu yang bermanfaat pada hari ini, besok dan yang akan datang, dan
sedikit menitipkan jejak keberadaanku pada masa sekarang.
Yosh... kweren yamaan... good! Lanjutkan
BalasHapus(Aku pikir aku juga harus nulis juga, paling ga dibuku monyet lagi) wkwkwk
Thx!!