Kamis, 09 Juni 2016

Pertemuan dengan Orang-orang Baru

Tempatnya terlalu menggoda untuk tidak disinggahi.


Semester ini tak banyak bertemu orang-orang baru. Hanya bisa dihitung dengan jari, karena ruang gerak amat terbatas. Saya harap hanya berlaku disemester ini saja.
Berbeda dengan semester ganjil lalu, yang secara tak sengaja bertemu dengan orang-orang baru dari berbagai latar belakang budaya, berbagai negara, berbagai pengalaman yang datang bertubi-tubi. Yang paling berkesan adalah pertemuan dengan seorang pelukis muda asli Bali, yang mengenyam pendidikan dan memperdala ilmunya di ISI Yogyakarta. Pertemuan yang tak direncanakan itu bermula ketika penyakit iseng berkunjung ke tempat pameran sedang kambuh. Sebut saja lokasinya di Bentara Budaya Yogyakarta, salah satu cabang humas Kompas Gramedia yang berada di jalan Suroto, Kotabaru, Yogyakarta. Tak jauh jaraknya dari kampus. Waktu itu sekitar akhir bulan Agustus, saya pergi. Sendirian. Karena kalo rame-rame pasti ribet. Dan kala itu saya masih polos, selalu tidak kebagian booklet agenda tiap sebulan sekali tentang acara pameran yang bakal diadakan di sana. Kebetulan lagi, baner yang segede gaban itu memampang tulisan “Anggap Saja Rumah Sendiri”. Penasaran bakalan sepengen pulang yang kayak gimana, maka masuklah saya kedalam ruang pameran itu.
Saya melongo, kesan pertama pamerannya asik. Karena merupakan pameran campuran, ada instalasi, lukis, dan ukiran. Kalau tidak salah, saya lupa. Saya selalu mengitari ruangan segi empat tersebut searah dengan jarum jam. Dari kiri ke kanan. Di jajaran separoh tembok bagian kiri, terdapat lukisan dengan warna-warna cerah. Komposisi kuning, merah, hijau, coklat, dan warna alam lainnya pas. Yang menarik adalah terdapat lukisan wajah Monroe, Kartini, dan Bunda Theresa dalam satu bingkai dikelilingi oleh manusia-manusia kecil berkaki dan berlengan panjang. Lukisan kedua yang bersanding dengan lukisan ketiga wanita itu juga menampilkan sosok wanita yang meletakkan sajen diatas kepalanya, sambil menyanyikan lagu Naff, Mengapa begini... lagi-lagi dikelilingi oleh manusia-manusia kecil itu. Dan lukisan ketiga yang sedang digarap, masih berupa sket di kanvas. Karena waktu itu suasana ruang pameran tak terlampau banyak pengunjung, saya dengan muka tebal ngajak kenalan pelukisnya, ngobrol. Saya lupa mengapa objek lukisannya adalah wanita yang dikelilingi oleh manusia-manusia kecil itu. Tak terlalu memperhatikan. Yang sempat saya tangkap adalah, bahwa hidup di perantauan itu harus menyesuaikan diri tanpa mencerabut akar-akar budaya yang melekat dalam diri kita. Bahasa ringkasnya adalah, jangan sampai kehilangan jati diri.
Beralih kami ke bagian tembok tengah pameran. Disana terdapat instalasi balok-balok transparan berisi foto rontgen tulang yang patah atau bergeser dari sendinya. Mengelilingi sebuah motor yang beberapa bagiannya ringsek. Sebuah narasi kejadian kecelakaan dan penanganan di rumah sakit disajikan. Tak lupa lengkap dengan pakaian yang dikenakan korban waktu kejadian. Saya sedikit ngilu dan sempat kehabisan napas kala itu. Saya sempat mikir kenapa harus ada hal semacam itu di pemeran seni? Ternyata itu pengalaman pribadinya salah satu pelukisnya. Dan sisi tembok sebelah kanan terpasang relief timbul, rumah, pohon, dari kayu. Lengkap dengan tulisan Sejauh Mata Memandang. Sesaat saya kangen rumah yang dekat dengan hutan. Sama seperti saat ini, saya rindu rumah.
Setelah itu percakapan kami ngalor-ngidul, gak jelas juntrungnya, sempat bahas babad Bali. Kebetulan saat itu saya lagi belajar tentang babad dan sejarah Indonesia sampai abad-16. Beberapa hal tentang Bali kami perbincangkan. Pertemuan kali itu bermuara pada undangan untuk menghadiri pameran keduanya di Jogja Galery, beberapa bulan kedepan setelah pameran ini usai. Berkat undangannya kali itu, saya diperkenalkan kepada orang Belanda bernama Erick Kampherbeek yang lagi ada proyek re-inventarisasi bangunan kolonial sepanjang The Groote Postweg (jalan Anyer-Panarukan). Menyusuri jalan 2500 km pulang-pergi menggunakan sepeda angin. Entah waktu itu ada peristiwa apa sehingga beberapa noni dan sinyo datang menelusuri bekas perjuangan kakeknya di Hindia-Belanda. Ada 3 orang yang saya ketahui kala itu.
Dan pengalaman bertemu orang baru adalah agenda Pasar Kangen Yogyakarta. Rame-rame, bersama beberapa teman kelas. Mata saya langsung jelalatan cari benda unyu-unyu. Akhirnya saya menemukan tumpukan postcard yang harganya tidak terlalu murah sebenarnya, dan sebuah majalah tentang negeri kincir angin, yang ingin banget saya kunjungi. Entah kapan. Ternyata, sebelah saya ada seorang bapak yang sama-sama asyik cari postcard. Saya gak berani sok asik nanya-nanya. Tiba-tiba bapaknya nyeletuk, “mbak suka koleksi postcard lama?”. Saya sempat bengong sejenak dari aktivitas seleksi tumpukan kertas itu. “enggak pak, saya cuma tertarik dengan bangunannya dan beberapa pemandangan alamnya dari berbagai negara. Kali aja saya bisa kesana suatu saat nanti,” saya menjawab dengan mata tertuju pada postcard dengan khusyuk. Ia mengaku mengenal seseorang yang dulunya gemar mengkoleksi postcard dan akirnya berhasil mendatangi tempat-tempat dan membandingkan dengan foto yang ada di postcard. Bapaknya sempat menyebutkan nama, sayangnya ingatan saya buruk.

Saya selalu terkagum-kagum dengan Bali. Baik dari topografinya, panoramanya, kebudayaannya, maupun perempuannya yang berparas ayu. Semuanya, mereka teramat anggun. Juga berserak postcard Gereja Basilica di Roma, Town Hall di Copenhagen, dan sepotong senja di Tanah Lot.

Itu sekilas pertemuan dengan orang-orang baru, semester lalu. Sudah bilang sebelumnya kan, kalau perjumpaan dengan orang-orang baru semester ini berkurang amat banyak. Akibatnya, saya seolah ingin lari sana-sini mencari hal baru. Tapi, rasa- rasanya masih terkungkung. Meskipun kejutan selalu ada hampir setiap hari, semenjak saya rutin menulis di blog. Seperti hari ini. Seperti saat ini!
Pertemuan dengan orang baru kali ini serasa lebih menyesakkan. Sepanjang hari jantung saya berdebam—debam gak keruan, lebih dari rasanya ketemu gebetan. Pertemuan dengannya melalui pesan linimasa membuat saya ingin kembali menikmati sastra klasik Indonesia, yang sezaman dengan Ahmad Tohari, Umar Kayam, Y.B. Mangun Wijaya, Nh. Dini (lagi). Memahami lebih dalam setiap larik kata-katanya dan mengaitkan dengan ilmu sejarah. Karena bahagia saya sudah terlalu banyak meluap ketika bertemu dengan naskah terjemahan. Ini semacam pengingat agar saya mulai rajin baca tulisan tentang Indonesia.

Oh iya, karena jantung saya perlu ditertibkan agar tak mengganggu kinerja yang lain, saya ingin menghilang sejenak. Tugas-tugas akan segera didistribusikan, dan dirampungkan. Biar saya nanti bisa menekuri tiap baris kata yang ada dalam novel bertema putih semester ini, yang mulai berjejal di rak saya. Secepatnya. Melahap setiap buku, dan mengejar keterlambatan yang telah berjarak menganga. Dengan tenang, harusnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...