Sabtu, 04 Juni 2016

Tentang Potongan-potongan Senja


Saya cuma mau sekadar cerita tentang senja, untuk mengurangi sakit kepala yang tak jelas mulanya. Saya tidak bisa saban hari ketemu langit sore. Bisa karena terkungkung dalam ruangan, bisa juga karena mendung ataupun hujan. Syukur, hampir seminggu terakhir sering berada di luar ruangan dan langit bisa berkompromi dengan bumi. Jadi saya bisa menikmati senja dengan cuma-cuma.
Ada beberapa alasan yang membuat saya menyukai senja. Saya akan coba menguraikannya. Senja itu penanda dari alam kalau sudah waktunya pulang, tak jarang kita menjumpai hewan-hewan unggas, serangga yang pulang ke peraduannya ketika senja datang. Begitu pula dengan manusia bukan?  Bagiku juga, senja adalah pulang. Penanda alami sejak kecil ketika main dengan teman-teman di lapangan, untuk segera pulang ke rumah sebelum sendal melayang ke belakang betis kaki.
 Semakin bertambah usia, saya tidak bisa diam-diam mengagumi senja. Alasannya baru saya temukan beberapa menit yang lalu. Gradasi warna lazuardi yang dibatasi sebagian awan berwarna lembayung  itu sendu menghangatkan. Tidak menyilaukan seperti matahari yang lagi ramah ketika langit cerah. Entah ada relasi apa antara melihat langit sore dengan perubahan emosi. Tapi saya rasa itu dopamin secara tidak langsung untuk menetralkan perasaan suka yang meluap-luap, maupun sedih campur jengkel. Seperti perasaan saya hari ini yang kejebak macet karena salah milih jam pulang yang bebarengan jam pulang kantor.
Ah, tentang gradasi saya baru dapat info bagaimana hal itu bisa terjadi. Jadi gini, spektrum warna pembentuknya berbeda level. Ketika siang hari pancaran spektrum warna di atmosfer akan didominasi oleh warna-warna yang kuat, misalnya biru dan sedikit ungu. Sedangkan warna senja didominasi oleh warna yang spektrum pancarannya lemah, seperti merah jambu, kuning, ataupun merah. Meskipun demikian, kondisinya sering dijumpai warna biru masih bertengger nyaman di singgasana senja. Kemudian perlahan menghitam karena rotasi bumi mengharuskan matahari berbagi sinar ke belahan bumi yang lain.
Saya juga suka kepada senja, karena mereka menyajikan kemolekan dengan cara yang tidak membeda-bedakan warna semula. Semuanya terkena sinar keemasan, kemudian dengan anggunnya mereka menyajikan siluet. Hitam, bersanding dengan spektrum warna yang lemah. Tidak ada yang dominan, keduanya indah. Siluet apa saja yang ada di atas bumi. Inilah salah satu alasan saya bisa menyukai secara diam-diam.

Kadang rasa bahagia saya meluap ketika menemui senja, karena kekhawatiran tidak bisa menikamtinya dengan mata normal. Agak sedikit kesusahan ketika harus  menikmati malam karena banyaknya kelebatan lampu kendaraan. Itu saja ceritak saya tentang potongan senja kali ini. Mungkin kamu punya cerita yang lebih menarik ataupun menambahi alasan-alasan yang sudah saya ketik sedemikian panjang. Karena indah tidak harus dinikmati sendirian bukan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...