Persis seminggu ini luar biasa sensitif dengan
hawa dingin, mendung dan hujan. Mengingkari pernyataan bahwa saya rindu bermain
dengan hujan. Saya bingung harus bercerita kepada manusia yang seperti apa,
karena saya rasa sudah terlalu jauh dari Tuhan.
Saya mulai tidak bisa menikmati cuitan burung, terutama yang berasal
dari pucuk beringin. Membuat kuping saya gerah. Mungkin berkaitan dengan
postingan di blog saya sebelumnya perihal seorang gadis tuli yang menari
seperti orang kesurupan dibawah pohon beringin. Suasana mendung juga rintik
hujan membuat saya tak nyaman. Karena mungkin ini musim pancaroba yang
dinginnya beda nol koma beberapa derajad dari suhu dingin di hari-hari
biasanya. Saya merasa kedinginan. Seperti malam kemarin-kemarin yang telah diguyur butir-butir air sepanjang
sore. Bukan perkara kekurangan gula dalam darah, namun rupanya hati saya yang
mulai dingin mengeras.
Satu minggu pula, saya berkomunikasi secara
intim dengan para perempuan. Percakapan kami selalu menyentil hati. Selalu begitu,
mungkin karena saya cukup lama tidak berkomunikasi secara terbuka dengan
perempuan lain.
Percakapan pertama, dengan wanita yang kerap saya panggil madame. Ibu, peramal sekaligus ahli nujum paling
ulung. Percakapan yang gamblang perihal masa
depan, saya sempat tak percaya membicarakan diluar rutinitas saat ini. Bagaimanapun
saya tak dapat mengelak dari pertanyaannya. Tak akan pernah bisa, sepertinya
ikatan batin kami masih cukup berkait erat.
Sedangkan percakapan kedua hadir setelah
mimpi-mimpi pendek yang kerap datang menjelang dini hari. Kebetulan, beberapa
hari sebelum mimpi itu mampir saya mengunjungi pameran yang ada patung Cut Nyak
Dien yang duduk meringkuk. Seketika itu saya ingin memeluk perempuan. Entah perempuan
yang mana saja. Yang membuat hati saya bahagia, maupun yang sakit hati dengan
kelakuan saya.
Saya cuma kepikiran, perempuan-perempuan yang
berada di lingkaran saya merupakan orang-orang spesial. Yang punya cara-caranya
sendiri untuk mengukuhkan hati. Semoga saya bisa menyerap hal-hal baik dengan
cara yang baik. Pengharapan yang klise, namun perlu diusahakan secara perlahan.
Untuk Ibu, sebentar lagi saya pulang. Tak usah
membuatkan makanan spesial, karena saya akan belajar membuatnya. Untaian kata yang dirapal membumbung melewatti genting tiap malam menjadi selimut paling hangat yang bisa saya nikmati, mungkin hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar