Halo, apakabar?
Semoga niat baru yang baik sudah tertata rapi di
dalam rongga hati. Kali ini saya bakalan cerita seputar suasana lebaran. Yang terekam
dalam ingatan jangka pendek saya, merupakan sebuah kumpulan kata warna dinding
baru, kue, petasan, uang saku, keluarga, serta ketupat. Sangat material. Terlihat
oleh mata, mudah dihapal, dan tak perlu menduga-duga. Baik, saya akan
merangkumnya dalam cerita yang tak terlalu panjang.
Perihal warna dinding baru. Saya selalu
mengamati tetangga, atau bahkan perilaku bapak saya ketika seminggu menjelang
lebaran. Berkaleng-kaleng cat, maupun beberapa bungkus gamping dibeli untuk
memperbarui warna dinding yang mulai kusam. Rumah yang berjejer, meski
pekarangan luas masih jadi pemisah deretan warna pastel terlihat semakin
semarak. Tak lupa juga mengecat pagar rumah. Pekerjaan ini kerap dilakukan oleh
kaum laki-laki, dan urusan mengecat akan selesai tepat ketika kumandang takbir
bergema. Keesokan harinya ketika berjalan ke masjid untuk melakukan sholat Id,
taraaaa... rumah seperti warna lollipop. Mungkin pemilik rumah sekalian beberes
isi rumah, lagi demen sama suasana yang bersih. Itu rutinitas beberapa tahun
yang lalu, namun saat ini banyak yan memilih menghemat pundi-pundi uang dengan
memasang poselen di dinding rumahnya. Hanya perlu menyiram atau mengelap
dinding ketika berdebu. Cukup praktis.
Beranjak ke kue khas lebaran, yeaay... oiya,
sebelum membuat kue, saya pengen cerita dikit perihal tumpeng. Sejak saya
kecil, kira-kira ketika usia SD kami (saya dan teman-teman sebaya) membawa
tumpeng ke surau ketika datang waktu magrib. Selain digunakan untuk berbuka di
ramadhan terakhir tahun tersebut, biasanya digunakan sebagai persediaan makanan
untuk sarapan keesokan hari. Kalau saat ini di lingkungan baru, saya menjumpai
tumpeng dibawa ke masjid selepas sholat Id. Belum sempat saya tanyakan mengapa
seperti itu.
Oke, kembali pada perihal kue. Dari beberapa
dapur masih tercium aroma adonan kue yang dipanggang. Sedap... sembari saya
mengaduk ingatan lama pembuatan kue bersama mbah uti (nenek). Baik, menjelang
lebaran kami disibukkan denga adonan kue, aroma vanili, tepung, mentega, telur,
dan berbagai bahan kue lainnya menguar di seluruh penjuru rumah. Biasanya, kami
membuat nastar, lidah kucing, kacang telur, kuping gajah, semprit, dan berbagai
macam kue manis. Kadang membuat jenang, atau madumongso yang rasanya luar biasa
manis, waktu pun tidak sebentar untuk membuat kedua makanan tersebut. Sedangkan
untuk rasa asin dan gurih, kami membuat adonan kerupuk berbagai rasa. Bertahun-tahun
kami melakukan hal tersebut, hingga mbah uti cukup sepuh dan tidak mampu
membuat kue lagi. Kami membeli kue-kue tersebut di toko, dekat dengan pusat
kota. Biasanya bonus jalan-jalan sore antara saya dengan bapak. Jalan raya
belum seberapa ramai seperti saat ini. Jangan tanya apa resep kue yang saya
sebutkan diatas, karena saya gak pernah ikutan untuk membuat adonannya. Saya hanya
mengaduk-aduk tepung seenak jidat, mengusap tangan yang terkena pewarna makanan
campur tepung pada kelambu yang sudah dicuci. Dan mencomot beberapa keping kue
yang baru diangkat dari loyang, lupa kalau kondisi sedang berpuasa. Kalau sekarang,
cukup dengan membeli makanan kemasan. Semua telah tersedia. Hanya butuh
mengeluarkan toples, dan beberapa gelas dari persemayaman mereka, kemudian
dicuci dengan kembang tujuh rupa. Haha.
Setelah urusan kue rampung bebarengan dengan
bapak-bapak yang selesai mengecat dinding, kita bisa beristirahat dengan tenang
untuk sementara. Esok harinya, kami berbondong menuju masjid. Sesekali diantara
gema takbir terdapat bisikan tetangga dan jerit tangisan balita. Entah mengapa
mereka kerap sekali menangis di waktu seperti ini. Mungkin, terlambat minum
susu. Selepas sholat Id, petasan jenis blanggur
(semacam meriam) yang diikuti oleh petasan kecil dikerek pada tiang setinggi 7
meter. Saya buru-buru pulang, karena tak tahan dengan bunyinya yang ribut. Sepanjang
hari, bunyi petasan tak henti-henti.
Lebaran, perut selalu penuh dengan makanan
manis. Sebenarnya kurang baik bagi pencernaan. Tak ada masakan sayur, sebab tak
ada penjual yang buka. Seharusnya belanja pada malam harinya, atau merawat
tanaman hidroponik yang siap panen ketika lebaran. Dan tak ada hidangan ketupat
pada hari pertama lebaran. Orang-orang desa selalu membuat ketupat dan masakan
bersantan lainnya tepat seminggu momen lebaran. Hari raya ketupat namanya. Otak-atik
gatuk orang Jawa, sempat saya tanyakan sebentar kepada bapak, mengapa harus
tujuh/pitu? Katanya, angka pitu berarti pitulungan
(pertolongan) dengan jumlah hari yang cukup, tidak terlalu dekat maupun terlalu
panjang. Yang paling mengesankan adalah proses menganyam janur untuk ketupat. Hanya
sepuluh buah, namun tangan rasanya keriting. Begitulah.
Kali ini saya cerita itu dulu yak? Selamat balik
ke rutinitas sehari-hari. Selamat menikmati liburan yang produktif bagi
siswa-siswa yang akan mengadapi masa
orientasi siswa baru, minggu depan. Semoga hari-hari kalian menyenangkan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar