Senin, 11 Juli 2016

Yang Diingat dari Lebaran

           
via wikimedia.org

            Halo, apakabar?

Semoga niat baru yang baik sudah tertata rapi di dalam rongga hati. Kali ini saya bakalan cerita seputar suasana lebaran. Yang terekam dalam ingatan jangka pendek saya, merupakan sebuah kumpulan kata warna dinding baru, kue, petasan, uang saku, keluarga, serta ketupat. Sangat material. Terlihat oleh mata, mudah dihapal, dan tak perlu menduga-duga. Baik, saya akan merangkumnya dalam cerita yang tak terlalu panjang.
Perihal warna dinding baru. Saya selalu mengamati tetangga, atau bahkan perilaku bapak saya ketika seminggu menjelang lebaran. Berkaleng-kaleng cat, maupun beberapa bungkus gamping dibeli untuk memperbarui warna dinding yang mulai kusam. Rumah yang berjejer, meski pekarangan luas masih jadi pemisah deretan warna pastel terlihat semakin semarak. Tak lupa juga mengecat pagar rumah. Pekerjaan ini kerap dilakukan oleh kaum laki-laki, dan urusan mengecat akan selesai tepat ketika kumandang takbir bergema. Keesokan harinya ketika berjalan ke masjid untuk melakukan sholat Id, taraaaa... rumah seperti warna lollipop. Mungkin pemilik rumah sekalian beberes isi rumah, lagi demen sama suasana yang bersih. Itu rutinitas beberapa tahun yang lalu, namun saat ini banyak yan memilih menghemat pundi-pundi uang dengan memasang poselen di dinding rumahnya. Hanya perlu menyiram atau mengelap dinding ketika berdebu. Cukup praktis.
Beranjak ke kue khas lebaran, yeaay... oiya, sebelum membuat kue, saya pengen cerita dikit perihal tumpeng. Sejak saya kecil, kira-kira ketika usia SD kami (saya dan teman-teman sebaya) membawa tumpeng ke surau ketika datang waktu magrib. Selain digunakan untuk berbuka di ramadhan terakhir tahun tersebut, biasanya digunakan sebagai persediaan makanan untuk sarapan keesokan hari. Kalau saat ini di lingkungan baru, saya menjumpai tumpeng dibawa ke masjid selepas sholat Id. Belum sempat saya tanyakan mengapa seperti itu.
Oke, kembali pada perihal kue. Dari beberapa dapur masih tercium aroma adonan kue yang dipanggang. Sedap... sembari saya mengaduk ingatan lama pembuatan kue bersama mbah uti (nenek). Baik, menjelang lebaran kami disibukkan denga adonan kue, aroma vanili, tepung, mentega, telur, dan berbagai bahan kue lainnya menguar di seluruh penjuru rumah. Biasanya, kami membuat nastar, lidah kucing, kacang telur, kuping gajah, semprit, dan berbagai macam kue manis. Kadang membuat jenang, atau madumongso yang rasanya luar biasa manis, waktu pun tidak sebentar untuk membuat kedua makanan tersebut. Sedangkan untuk rasa asin dan gurih, kami membuat adonan kerupuk berbagai rasa. Bertahun-tahun kami melakukan hal tersebut, hingga mbah uti cukup sepuh dan tidak mampu membuat kue lagi. Kami membeli kue-kue tersebut di toko, dekat dengan pusat kota. Biasanya bonus jalan-jalan sore antara saya dengan bapak. Jalan raya belum seberapa ramai seperti saat ini. Jangan tanya apa resep kue yang saya sebutkan diatas, karena saya gak pernah ikutan untuk membuat adonannya. Saya hanya mengaduk-aduk tepung seenak jidat, mengusap tangan yang terkena pewarna makanan campur tepung pada kelambu yang sudah dicuci. Dan mencomot beberapa keping kue yang baru diangkat dari loyang, lupa kalau kondisi sedang berpuasa. Kalau sekarang, cukup dengan membeli makanan kemasan. Semua telah tersedia. Hanya butuh mengeluarkan toples, dan beberapa gelas dari persemayaman mereka, kemudian dicuci dengan kembang tujuh rupa. Haha.
Setelah urusan kue rampung bebarengan dengan bapak-bapak yang selesai mengecat dinding, kita bisa beristirahat dengan tenang untuk sementara. Esok harinya, kami berbondong menuju masjid. Sesekali diantara gema takbir terdapat bisikan tetangga dan jerit tangisan balita. Entah mengapa mereka kerap sekali menangis di waktu seperti ini. Mungkin, terlambat minum susu. Selepas sholat Id, petasan jenis blanggur (semacam meriam) yang diikuti oleh petasan kecil dikerek pada tiang setinggi 7 meter. Saya buru-buru pulang, karena tak tahan dengan bunyinya yang ribut. Sepanjang hari, bunyi petasan tak henti-henti.
Lebaran, perut selalu penuh dengan makanan manis. Sebenarnya kurang baik bagi pencernaan. Tak ada masakan sayur, sebab tak ada penjual yang buka. Seharusnya belanja pada malam harinya, atau merawat tanaman hidroponik yang siap panen ketika lebaran. Dan tak ada hidangan ketupat pada hari pertama lebaran. Orang-orang desa selalu membuat ketupat dan masakan bersantan lainnya tepat seminggu momen lebaran. Hari raya ketupat namanya. Otak-atik gatuk orang Jawa, sempat saya tanyakan sebentar kepada bapak, mengapa harus tujuh/pitu? Katanya, angka pitu berarti pitulungan (pertolongan) dengan jumlah hari yang cukup, tidak terlalu dekat maupun terlalu panjang. Yang paling mengesankan adalah proses menganyam janur untuk ketupat. Hanya sepuluh buah, namun tangan rasanya keriting. Begitulah.

Kali ini saya cerita itu dulu yak? Selamat balik ke rutinitas sehari-hari. Selamat menikmati liburan yang produktif bagi siswa-siswa yang akan mengadapi  masa orientasi siswa baru, minggu depan. Semoga hari-hari kalian menyenangkan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...