Jumat, 29 Juli 2016

Pesta Perayaan Atas Kebebasan Diri



via unsplash.com


Berpuluh-puluh jam mengurung diri dalam kamar, tanpa penerangan. Kecuali lewat layar komputer jinjing.
Begitulah cara saya menghabiskan waktu kali ini, karena sebuah jadwal yang ditunda berhari-hari. Diam, kemudian sesekali mencomot  oat yang lembek karena gula. Biasanya, saya kerap ngobrol di depan akuarium yang penghuninya kehilangan tenaga dari hari ke hari. Sekarang akuarium itu teronggok di sudut bufet, berkawan dengan buku-buku baru yang belum terjamah dengan karbon pensil. Tidak banyak yang saya lakukan untuk mengisi keseloan tingkat 27. Tiga hari yang lalu, saya merampok koleksi film seorang teman. Beragam jenisnya, namun mayoritas adalah jenis sains-fiksi, film keluarga, juga laga semacam Sicario, Transcendence, Allegiant, Zootopia, dan Room. Sebenarnya saya merampok lebih banyak dari judul yang saya sebutkan, namun yang paling berkesan adalah film dengan judul Room (kamar).
Berdasarkan percakapan dalam film, usia tokoh utama baru  menginjak angka lima tahun. Mempertanyakan mengapa warna daun yang gugur di atas atap kaca tidak berwarna hijau? Menanyakan mengapa hingga usianya lima tahun belum bisa bertemu dengan anjing yang sering didengung-dengungkan dalam cerita ibunya yang hampir ia hapal di memori otaknya. Namanya Jack, bocah laki-laki yang  hidup dalam imajinasi ibunya di sebuah kamar (lebih baik untuk disebut sebagai sebuah gudang) yang dipaksakan menjadi sebuah rumah. Tempat tidur, makan, dapur, nonton televisi dibagi berdasarkan bayangan imajiner, tanpa sekat.
Ia terkungkung dalam sebuah ruang, tak dapat menikmati pergantian udara tanpa tarif tiap pagi, maupun celoteh teman-teman yang seusia dengannya. Kalau saya boleh lancang mengatakan, itu dikarenakan ia benar-benar terasing dari interaksi dengan manusia selain ibunya, juga sebuah kotak ajaib bernama televisi selama 5 tahun. 
Singkat cerita,  Jack dan ibunya berhasil melarikan diri dari kubikel mininya. Tubuhnya berontak untuk menyesuaikan dengan lingkungan barunya. Sistem pernapasannya harus menyesuaikan diri dengan udara yang dihirup, butuh kacamata berlensa hitam yang digunakan sebagai penghalang paparan sinar matahari menuju rentina. Tak hanya fisiknya saja yang butuh penyesuaian, ia juga butuh penyesuaian untuk hubungan sosialnya. Sebelumnya, ia berkata lirih dan menghindari tatapan manusia. Bersembunyi dalam zona nyaman dibalik punggung ibunya. Untungnya ia tidak memiliki claustropobia (ketakutan terhadap ruang sempit).
Ada semacam pesta perayaan atas penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh tubuh kecil Jack, yakni kebebasan menikmati keberadaan benda-benda lain secara nyata. Bukan dari cerita ibunya, maupun rekaan televisi. Namun, dibalik kesempatan untuk menikmati hal-hal baru, ternyata ia masih terikat kenangan dengan kubikel lamanya. Pada suatu kesempatan mengunjungi kubikel lama, ia merasa ruangnya menyusut. Bukan karena barangnya yang telah diamankan, namun karena pintunya telah terbuka.
“Saat usiaku empat tahun, aku tak mengerti apa-apa tentang dunia. Namun kini aku belajar untuk memahami dunia. Banyak hal yang mesti dicoba, meski terkadang terlihat menyeramkan.”- Jack
 Di usia yang telah menginjak angka 20, sudah sejauh apa kita menjelajah dunia? Namun, sejauh-jauhnya menjelajah ada kalanya waktu untuk pulang ke rumah. Kita semua membantu untuk saling kuat. Tidak ada yang kuat sendirian di tengah energi yang sedemikian besarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...