Senin, 18 Juli 2016

"Pulang" dan Seiris Memori Kolektif



Derit roda kereta api yang bergesekan dengan rel menggedor gendang telinga saya yang sedang berada di ruang tunggu stasiun Mojokerto. Saya sampai di stasiun setengah jam lebih awal dari jadwal keberangkatan yang telah tertera dalam tiket, pukul 09.32 WIB. Maka, seperempat jam pertama saya mengaduk kantong tas untuk memastikan kunci kamar kost dan motor tidak tertinggal di rumah. Ya, hari itu tepatnya 15 Juli saya kembali ke Yogyakarta. Saya harus mengecek barang bawaan saya sekali lagi. Aman. Baru saya bisa bernapas lega. Sebuah buku saya keluaran untuk menemani perjalanan selama 4,5 jam kemudian. Novel Ahmad Tohari, berjudul Orang-orang Proyek yang tidak terlampau tebal sudah berada di genggaman saya.
Kereta api Sancaka datang 3 menit dari jadwal yang telah ditetapkan. Saya masuk di gerbong keempat, dekat dengan gerbong restoran. Aroma acar dan ayam goreng menguar ketika saya mulai mencari deretan tempat duduk. 6D, begitu yang tertera dalam tiket saya, harusnya saya duduk di dekat jendela. Namun, yang saya dapati ada mbak yang duduk di tempat yang seharusnya saya tempati. Tidak menjadi masalah memang, namun agak mengganjal. Saya ingin duduk di dekat jendela, dan kebetulan tiket saya mendukung hal tersebut. Tapi, kenyataannya tidak berjalan dengan baik. Tak apalah. Saya mulai sibuk menekuri kalimat dalam novel, setelah sebelumnya melempar senyum pada ‘teman seperjalanan’ saya itu. Di sela baca, saya sempat melirik tempat duduk sebelah kanan, mbaknya masih sibuk dengan gawainya. Saya berusaha membuka percakapan dengannya dengan menanyakan tujuan pemberhentiannya. Dia hanya menjawab sampai Madiun. Untung tidak terlampau jauh, saya membatin. Kalau sampai Yogyakarta, bisa menggeliat bosan saya. Atau sibuk menulikan telinga dengan  menyumpal mereka menggunakan earphone. Tapi itu tak saya lakukan. Menyiksa diri sendiri. Tidak baik. Akhirnya, tidur adalah pilihan alternatif yang saya pilih. Cuap orang-orang, gema anak-anak yang berlarian di lorong kereta mengantar saya memasuki alam bawah sadar dengan masih mendekap novel Orang-orang Proyek.
Mendekati stasiun Nganjuk, saya geragapan terbangun karena pemberitahuan dari pengeras suara. Tak banyak yang saya lakukan di kereta api kecuali mulai membaca novel kembali. Pada 78 halaman awal novel tersebut, saya diajak nostalgia dengan suasana desa yang rupanya sudah dekat dengan wilayah administrasi kota. Pesona sebuah desa yang dialiri oleh sungai Cibawor (saya gak tahu persis letak sungai Cibawor itu) dideskripsikan cukup jelas. Sungai yang mengalir jernih, berbagai jenis ikan yang ikut berenang dalam aliran sungai tersebut, serta sebuah proyek maha penting: pembangunan jembatan. Saya jadi teringat dengan matakuliah Historiografi Umum yang telah usai semester lalu. Lain waktu, saya bakalan cerita tentang hubungan jembatan dan Historiografi itu.
Baik, kembali ke proyek yang diceritakan oleh Tohari. Ia menceritakan kecurangan-kecurangan beserta polemik lain yang melingkupi orang-orang yang terlibat dalam proyek pembangunan sebuah jembatan di atas sungai Cibawor. Persis dengan cerita bapak, ketika saya mulai memasuki SD pada 2002. Usia bapak tak beda jauh dengan Ahmad Tohari, hanya terpaut beberapa bulan saja, dan masa awal masuk SD bertepatan dengan terbitnya novel Orang-orang Proyek. Saya sempat berandai-andai, bapak menuliskan pengalamannya menjadi sebuah novel dan bersaing dengan karya Ahmad Tohari. Haha. Sewaktu kelas dua SD, sempat saya melontarkan pertanyaan mengapa bapak tidak menjadi PNS saja? Polisi atau profesi lainnya yang memilki penghasilan tetap? Bapak menjawab dengan wegah, menurutnya orang-orang yang memiliki akses terhadap uang rakyat akan berpotensi lebih untuk menggunakan uang titipan tersebut. Bukan digunakan untuk hal yang seharusnya, melainkan memakmurkan kepentingan salah satu pihak saja. Kemudian cara-cara curang dengan mengurangi kualitas barang, melambungkan anggaran, dan mengurangi hal-hal lain menjadi hal yang wajar dilakukan.
Sempat saya ingat, bapak selalu menggerutu panjang pendek ketika kami melewati jalan desa yang rusak parah, bertambal sulam, bahkan tak jarang dibiarkan menganga. Kami sering menjumpai kondisi jalan seperti itu di Kalicangkring, ketika berburu burung perkutut pada seorang peternak. Dusun Kalicangkring berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kecamatan Bangsal. Saya tak paham dan tidak mengerti mengapa bapak menggerutu sepanjang jalan. Karena saya lebih memilh tolah-toleh  melihat tanaman yang mirip pandan, berjajar sepanjang sungai yang dibentengi oleh rumpun bambu Jawa. Atau ketika mulai memasuki perkampungan, saya akan sibuk mengagumi tumpukan batu-bata atau genteng yang sedang mengalami proses pembakaran. Tak lupa membaui aroma kayu petai, randu, campur sekam yang mulai mengikis kadar air tanah liat. Juga sibuk dengan mulut yang penuh dengan berbagai gorengan. Aroma pembakaran tanah liat yang berbaur dengan aroma gorengan, embun, dan kopi yang dipesan bapak di warung dekat sawah merupakan kombinasi aroma yang dahsyat dalam ingatan saya, empat belas tahun silam. Biasanya bapak akan berhenti menggerutu ketika mulai menyuap gorengan ke mulutnya.
Setelah perut kenyang, sembari menunggu bapak yang menghabiskan seduhan kopinya, saya menghitung truk colt diesel  yang lalu-lalang di jalan depan warung. Tak jauh dari lokasi warung, terdapat portal yang terbuat dari bambu dengan pemberat di salah satu sisinya. Umumnya colt  yang lewat bukan jenis baru, cat yang terdapat pada kayu penghalang tiap sisinya mengelupas dan deru mesinnya terdengar seperti erangan tertahan. Sambil terus memperhatikan jalan yang selebar 2 meter yang penuh lubang dan undakan, tak sengaja saya ikut memperhatikan debu yang berhamburan membuntuti ekor colt  itu. Warnanya sedikit merah, bukan hitam, maupun abu-abu halus. Saya baru menyadari sumber deru mesin yang tertahan itu berasal dari colt yang mengangkut batu-bata ataupun genteng ke toko bahan bangunan yang lokasinya dekat dengan jalan protokol.
Mungkin saat itu saya tidak mengerti apa itu tekanan permukaan jalan, beban maksimum kendaraan, atau kapasitas jalan. Namun sederhana saja, aspal di jalan selebar 2 meter dan sepanjang 3 kilometer itu khatam ditempa tubuh truk yang membawa muatan batu-bata. Setiap hari pula, dan tidak hanya satu atau dua truk yang melintas. Ada hampir sepuluh truk dengan beban muatan yang sama. Barangkali itulah yang membuat bapak menggerutu tentang jalan yang berlubang, kualitas aspal, dan debu-debu yang membuntuti ekor kendaraan kami.
Kegiatan baca saya terhenti di stasiun Madiun. Saya beringsut menuju kursi di dekat jendela yang harusnya menjadi jatah saya sejak dua jam sebelumnya. Seorang ibu yang usianya sekitar 50 tahun menempati kursi yang saya tinggalkan barusan. Saya ingin mengatupkan mata, mengistirahatkannya dari paparan warna kertas putih kecoklatan dengan melihat bentang sawah yang hijau. Namun rupanya niatan saya batal, karena mulut saya lancang mengeluarkan suara,         “Ibu akan turun di mana?” pada penumpang baru itu.

Jadi, dua jam selanjutnya saya pasang telinga untuk menjadi pendengar yang baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...