Derit roda kereta api yang bergesekan dengan rel
menggedor gendang telinga saya yang sedang berada di ruang tunggu stasiun
Mojokerto. Saya sampai di stasiun setengah jam lebih awal dari jadwal keberangkatan yang
telah tertera dalam tiket, pukul 09.32 WIB. Maka, seperempat jam pertama saya
mengaduk kantong tas untuk memastikan kunci kamar kost dan motor tidak
tertinggal di rumah. Ya, hari itu tepatnya 15 Juli saya kembali ke Yogyakarta. Saya
harus mengecek barang bawaan saya sekali lagi. Aman. Baru saya bisa bernapas
lega. Sebuah buku saya keluaran untuk menemani perjalanan selama 4,5 jam
kemudian. Novel Ahmad Tohari, berjudul Orang-orang Proyek yang tidak terlampau
tebal sudah berada di genggaman saya.
Kereta api Sancaka datang 3 menit dari jadwal
yang telah ditetapkan. Saya masuk di gerbong keempat, dekat dengan gerbong
restoran. Aroma acar dan ayam goreng menguar ketika saya mulai mencari deretan
tempat duduk. 6D, begitu yang tertera dalam tiket saya, harusnya saya duduk di
dekat jendela. Namun, yang saya dapati ada mbak yang duduk di tempat yang
seharusnya saya tempati. Tidak menjadi masalah memang, namun agak mengganjal.
Saya ingin duduk di dekat jendela, dan kebetulan tiket saya mendukung hal
tersebut. Tapi, kenyataannya tidak berjalan dengan baik. Tak apalah. Saya mulai
sibuk menekuri kalimat dalam novel, setelah sebelumnya melempar senyum pada
‘teman seperjalanan’ saya itu. Di sela baca, saya sempat melirik tempat duduk
sebelah kanan, mbaknya masih sibuk dengan gawainya. Saya berusaha membuka
percakapan dengannya dengan menanyakan tujuan pemberhentiannya. Dia hanya
menjawab sampai Madiun. Untung tidak terlampau jauh, saya membatin. Kalau
sampai Yogyakarta, bisa menggeliat bosan saya. Atau sibuk menulikan telinga
dengan menyumpal mereka menggunakan earphone. Tapi itu tak saya lakukan.
Menyiksa diri sendiri. Tidak baik. Akhirnya, tidur adalah pilihan alternatif
yang saya pilih. Cuap orang-orang, gema anak-anak yang berlarian di lorong kereta
mengantar saya memasuki alam bawah sadar dengan masih mendekap novel
Orang-orang Proyek.
Mendekati stasiun Nganjuk, saya geragapan
terbangun karena pemberitahuan dari pengeras suara. Tak banyak yang saya
lakukan di kereta api kecuali mulai membaca novel kembali. Pada 78 halaman awal
novel tersebut, saya diajak nostalgia dengan suasana desa yang rupanya sudah
dekat dengan wilayah administrasi kota. Pesona sebuah desa yang dialiri oleh
sungai Cibawor (saya gak tahu persis letak sungai Cibawor itu) dideskripsikan
cukup jelas. Sungai yang mengalir jernih, berbagai jenis ikan yang ikut
berenang dalam aliran sungai tersebut, serta sebuah proyek maha penting:
pembangunan jembatan. Saya jadi teringat dengan matakuliah Historiografi Umum
yang telah usai semester lalu. Lain waktu, saya bakalan cerita tentang hubungan
jembatan dan Historiografi itu.
Baik, kembali ke proyek yang diceritakan oleh
Tohari. Ia menceritakan kecurangan-kecurangan beserta polemik lain yang
melingkupi orang-orang yang terlibat dalam proyek pembangunan sebuah jembatan
di atas sungai Cibawor. Persis dengan cerita bapak, ketika saya mulai memasuki
SD pada 2002. Usia bapak tak beda jauh dengan Ahmad Tohari, hanya terpaut
beberapa bulan saja, dan masa awal masuk SD bertepatan dengan terbitnya novel
Orang-orang Proyek. Saya sempat berandai-andai, bapak menuliskan pengalamannya
menjadi sebuah novel dan bersaing dengan karya Ahmad Tohari. Haha. Sewaktu
kelas dua SD, sempat saya melontarkan pertanyaan mengapa bapak tidak menjadi
PNS saja? Polisi atau profesi lainnya yang memilki penghasilan tetap? Bapak
menjawab dengan wegah, menurutnya orang-orang yang memiliki akses terhadap uang
rakyat akan berpotensi lebih untuk menggunakan uang titipan tersebut. Bukan
digunakan untuk hal yang seharusnya, melainkan memakmurkan kepentingan salah
satu pihak saja. Kemudian cara-cara curang dengan mengurangi kualitas barang, melambungkan
anggaran, dan mengurangi hal-hal lain menjadi hal yang wajar dilakukan.
Sempat saya ingat, bapak selalu menggerutu
panjang pendek ketika kami melewati jalan desa yang rusak parah, bertambal
sulam, bahkan tak jarang dibiarkan menganga. Kami sering menjumpai kondisi jalan
seperti itu di Kalicangkring, ketika berburu burung perkutut pada seorang
peternak. Dusun Kalicangkring berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kecamatan
Bangsal. Saya tak paham dan tidak mengerti mengapa bapak menggerutu sepanjang
jalan. Karena saya lebih memilh tolah-toleh melihat tanaman yang mirip pandan, berjajar sepanjang sungai yang dibentengi oleh rumpun
bambu Jawa. Atau ketika mulai memasuki perkampungan, saya akan sibuk mengagumi
tumpukan batu-bata atau genteng yang sedang mengalami proses pembakaran. Tak
lupa membaui aroma kayu petai, randu, campur sekam yang mulai mengikis kadar
air tanah liat. Juga sibuk dengan mulut yang penuh dengan berbagai gorengan.
Aroma pembakaran tanah liat yang berbaur dengan aroma gorengan, embun, dan kopi
yang dipesan bapak di warung dekat sawah merupakan kombinasi aroma yang dahsyat
dalam ingatan saya, empat belas tahun silam. Biasanya bapak akan berhenti
menggerutu ketika mulai menyuap gorengan ke mulutnya.
Setelah perut kenyang, sembari menunggu bapak
yang menghabiskan seduhan kopinya, saya menghitung truk colt diesel yang lalu-lalang
di jalan depan warung. Tak jauh dari lokasi warung, terdapat portal yang
terbuat dari bambu dengan pemberat di salah satu sisinya. Umumnya colt
yang lewat bukan jenis baru, cat yang terdapat pada kayu penghalang tiap
sisinya mengelupas dan deru mesinnya terdengar seperti erangan tertahan. Sambil
terus memperhatikan jalan yang selebar 2 meter yang penuh lubang dan undakan,
tak sengaja saya ikut memperhatikan debu yang berhamburan membuntuti ekor colt
itu. Warnanya sedikit merah, bukan hitam, maupun abu-abu halus. Saya
baru menyadari sumber deru mesin yang tertahan itu berasal dari colt yang mengangkut batu-bata ataupun
genteng ke toko bahan bangunan yang lokasinya dekat dengan jalan protokol.
Mungkin saat itu saya tidak mengerti apa itu
tekanan permukaan jalan, beban maksimum kendaraan, atau kapasitas jalan. Namun
sederhana saja, aspal di jalan selebar 2 meter dan sepanjang 3 kilometer itu khatam
ditempa tubuh truk yang membawa muatan batu-bata. Setiap hari pula, dan tidak
hanya satu atau dua truk yang melintas. Ada hampir sepuluh truk dengan beban
muatan yang sama. Barangkali itulah yang membuat bapak menggerutu tentang jalan
yang berlubang, kualitas aspal, dan debu-debu yang membuntuti ekor kendaraan
kami.
Kegiatan baca saya terhenti di stasiun Madiun.
Saya beringsut menuju kursi di dekat jendela yang harusnya menjadi jatah saya
sejak dua jam sebelumnya. Seorang ibu yang usianya sekitar 50 tahun menempati
kursi yang saya tinggalkan barusan. Saya ingin mengatupkan mata,
mengistirahatkannya dari paparan warna kertas putih kecoklatan dengan melihat
bentang sawah yang hijau. Namun rupanya niatan saya batal, karena mulut saya
lancang mengeluarkan suara, “Ibu
akan turun di mana?” pada penumpang baru itu.
Jadi, dua jam selanjutnya saya pasang telinga
untuk menjadi pendengar yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar