Konsep pameran lingkaran polos oleh Laksmayshita K.L.C |
Masih di awal bulan Agustus ini, saya belum
dapat buku saku agenda pameran BBY (Bentara Budaya Yogyakarta). Biasanya untuk
mengadakan pameran di sana, penyelenggara harus memasukkan proposal sejak satu
tahun sebelum hari H. Lumayan lama. Menurut pegawai yang mengurusi BBY, hal
tersebut untuk mempermudah menentukan timeline kegiatan satu tahun yang akan
datang. Biar tidak bertubrukan. Sudah dua tahun saya menetap di Yogyakarta,
sesekali pulang ke Mojokerto ketika liburan semester dan jika ada beberapa hal
mendesak yang harus segera diurus. Paling tidak, saya datang barang sekali dua
kali dalam satu bulan ke BBY.
Dengan keberadaan BBY, saya merasa diuntungkan
dengan ketemu orang-orang baru. Melegakan pikiran yang sedang jenuh. Saya paling
suka dengan pameran lukisan. Meskipun tidak terlalu paham dengan jenis cat
ataupun aliran lukisan, namun ada sesuatu yang membuat saya terpaku di hadapan
lukisan. Membiarkan pikiran yang menebak- nebak secara serampangan makna cat
yang digoreskan di media lukis. Kemudian tebakan yang serampangan itu dibuntuti
obrolan singkat dengan para perupa atau pemilik komunitas yang mengadakan pameran
disana.
Pada (3/8), saya iseng mengunjungi BBY lagi. Hanya
menebak saja bakalan ada pameran di sana. Setelah mematikan mesin kendaraan,
saya sempat mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk gedung BBY. Banyak orang,
saya kira usianya tak jauh beda dengan usia saya bergerombol disana. Tidak lama,
saya masuk ke dalam ruangan. Masih tersisa LCD, proyektor dan sekitar 50 kursi
lipat memenuhi ruangan. Rupanya, sekaligus diadakan workshop. Ternyata ada dua
kegiatan berbeda. Orang-orang yang bergerombol tadi mengikuti semacam acara
paduan suara. Entah untuk apa, saya tak begitu memperhatikan keterangan yang
terdapat dalam lembar presensi. Disela pegawai BBY yang sedang mengemasi barang-barang
tadi, saya mulai mengitari tiap sisi tembok yang penuh dengan karya. Ada sekitar
60 karya, kalau saya tidak salah hitung dari 16 seniman kolaborasi komunitas “Perspektif”
Yogyakarta- “Tutti” Australia.
Dinding yang pertama saya tatap tertempel 16
wajah senimannya. Beberapa diantaranya bisa diidentifikasi sebagai anak-anak berkebutuhan
khusus (difabel).
Tidak ada yang mewah untuk media lukisan kali
ini. Bermodal karton, kertas kalender, tutup botol, biji buah saga, kancing
baju, bawang herbarium, perca, dan barang bekas diolah menjadi seni berbasis
titik. Pola yang dibuat amat sederhana. Berawal dari titik menjadi sebidang
lingkaran beragam warna. Ada satu sisi dinding ruang pameran yang 2/5 bagiannya
dipenuhi lingkaran berdiameter 15 cm berwarna putih agak kebiruan. Polos. Awalnya
saya pikir adalah gambaran gelembung air, hingga saya mendapat kejelasan
maknanya setelah berbincang dengan ibu Nining, ketua komunitas “perspektif”
yang selama dua tahun telah menampung 7 anak difabel untuk mengembangkan seni. Ternyata
lingkaran-lingkaran yang saya anggap gambaran gelembung air adalah gambaran dunia yang sepi oleh salah satu
seniman yang yang mengalami difabel tuli (deaf
).
“ Mama, bisa mendengar? Adik bisa mendengar,
mengapa hanya kakak yang tidak bisa mendengar?” kira-kira begitu kalimat yang
terlontar dari salah satu seniman di komunitas ibu Nining ketika akan membangun
kepercayaan dirinya untuk berkembang dan terus berkarya.
“ Karena kami sayang kakak,” jawab bu Nining. Kemudian
semuanya hening. Tak ada pertanyaan yang terlontar lagi.
Namun, saya masih menangkap getaran suara dan
lelehan air di sudut mata ketika bu
Nining menuturkan kembali percakapan tersebut ke saya.
Lukisan sederhana, pola sederhana, percakapan
sederhana seolah menggedor jiwa. Mengapa berpikir terlalu rumit namun tak dapat
dijangkau, sedangkan yang sederhana saja dapat menghanyutkan perasaan? Dibalik
apresiasi karya seni mereka, ada proses panjang yang mereka titi hingga detik
ini. Tentang paradigma masyarakat yang keliru melihat difabel, membuat mereka
terasing dari lingkungannya. Padahal, kita sama-sama manusia punya kesempatan
yang sama untuk mengekspresikan rasa. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk
membangun kepercayaan diri. Rasa-rasanya, semua manusia butuh pengakuan,
menunjukkan bahwa keberadaannya nyata di dunia. Maka itulah manusia perlu punya
karya. Perwujudan hasil pemikiran seperti yang digaungkan Rene Descartes “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku
ada. Bahkan tokoh se-imajiner dan hawa keberadaan yang se-tipis Kuroko Tetsuya
dalam anime Kurobas (Kuroko no Basuke)
pun masih bisa dikenali. Masih bisa diapresiasi lewat permainan basketnya.
Begitulah cerita saya bertemu dengan orang baru,
ada percakapan sore hari yang cukup berkesan hari itu. Yang sempat saya tangkap
di akhir perbincangan adalah, kadang perlu menanggalkan “ke-Aku-an” agar dapat
berbaur dengan siapa saja dan bisa lebih dekat dengan mereka.
Begitulah. Selamat
sore, selamat menikmati akhir pekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar