Rabu, 10 Agustus 2016

Imam Sepanjang Jalan

Siluet tubuhmu berlatar senja, agar tak dapat kulihat genangan air di sudut mata.

Pagi ini, udara kamar harus berganti, sekaligus iseng  melongokkan kepala dari balik pagar setinggi 2,5 meter. Bendera umbul-umbul telah terpasang sepanjang jalan depan kost. Ya, hari ini memasuki hari ke 10 di bulan Agustus, seminggu yang akan datang akan ada upacara bendera rutin untuk memperingati hari kemerdekaan, meskipun saya lebih suka memakai  istilah peringatan hari proklamasi.  
Sekilas, tidak ada yang spesial hingga siang yang terik ini. Hingga berkali-kali saya harus memastikan benar-benar tak ada yang spesial sambil mematung di depan kalender yang tergantung di tembok kamar. Lama. Namun dalam otak saya terus bergaung percakapan saya dengan seseorang, delapan tahun silam.    
“Ra, wanita harus mengenyam pendidikan yang layak. Harus punya keterampilan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, punya pekerjaan sendiri. Kalau sudah begitu, perihal rezeki dan jodoh tinggal tunjuk saja. namun jangan lupa, usahamu mendekat pada yang punya kehidupan harus kau upayakan sendiri, dan lalalala...” Begitulah kata-kata yang sempat masuk dalam otak dan diingat hingga saat ini, jauh sebelum saya belajar biologi dan gen manusia, serta tahu nama Dian Sastro dan quotenya “ ... Seorang wanita wajib berpendidikan tinggi, karena mereka akan menjadi ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas.”
Dan seketika berkelebat ingatan bukankah orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajadnya oleh Tuhan?
Saya melihat kalender lagi, hingga teman kost jengah melihat saya mematung di hadapan kalender. Ah, tanggal sepuluh, akhirnya ketemu mengapa tanggal ini terasa istimewa. Ya, hari ini hari istimewa. karena lelaki, imam sepanjang jalan saya pernah lahir ke dunia. Selama 2 tahun di tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini, saya meninggalkan rumah. Berniat  untuk melarikan diri dari kungkungan sang imam sepanjang jalan. Hari ini rasanya amat berbeda. Ingin pulang, sambil memeluk dan berbicara panjang lebar dalam pelukannya yang sebenarnya tidak terlampau hangat itu. Tidak ada kue ulang tahun, lilin angka petunjuk usia yang menyala. Apalagi tangisan sedu sedan. Sebab, rasa-rasanya kelopak mata saya kering karena kemarin sudah menangis pada waktu yang tidak tepat. Sialan!
Tapi, karena hari ini merupakan hari istimewa untuk imam sepanjang jalan, saya ingin berbahagia saja hari ini. Sambil merenungi himpunan kata-katanya yang tertinggal di otak sekaligus memanggil kembali ingatan yang telah melanglang buana. Saya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa selama ini usaha saya masih terlalu santai. Masih terlampau terbuai dengan permainan.
Untuk imam sepanjang jalan, ingatannya sudah tidak tajam lagi. Katanya, nikmat pendengarannya dikurangi oleh Tuhan. Maaf, karena perdebatan kita selama ini tak pernah menghasilkan sebuah perenungan panjang yang mengubah arah komunikasi. Alias sia-sia. Sebab, kita terlalu egois untuk mengakui rindu, termasuk mengakui salah. Kalau saya boleh bilang, otak kita terlalu bebal. Entahlah, tapi saya ingin mengamini himpunan kata-katanya yang dulu pernah berlalu.
Terimakasih, imam sepanjang jalan yang menghadiahkan ribuan chip memori dalam otak saya. Termasuk malam ini dengan warna langit yang semakin menua, saya menghaturkan rapalan doa-doa. Dan rapalan semoga dapat segera membumbung ke angkasa. 
 Terimakasih, saya menikmati hari ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...