Pagi ini, udara kamar harus berganti, sekaligus
iseng melongokkan kepala dari balik pagar setinggi 2,5 meter. Bendera
umbul-umbul telah terpasang sepanjang jalan depan kost. Ya, hari ini memasuki
hari ke 10 di bulan Agustus, seminggu yang akan datang akan ada upacara bendera
rutin untuk memperingati hari kemerdekaan, meskipun saya lebih suka
memakai istilah peringatan hari
proklamasi.
Sekilas, tidak ada yang spesial hingga siang
yang terik ini. Hingga berkali-kali saya harus memastikan benar-benar tak ada
yang spesial sambil mematung di depan kalender yang tergantung di tembok
kamar. Lama. Namun dalam otak saya terus bergaung percakapan saya dengan
seseorang, delapan tahun silam.
“Ra, wanita harus mengenyam pendidikan yang
layak. Harus punya keterampilan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, punya
pekerjaan sendiri. Kalau sudah begitu, perihal rezeki dan jodoh tinggal tunjuk
saja. namun jangan lupa, usahamu mendekat pada yang punya kehidupan harus kau
upayakan sendiri, dan lalalala...” Begitulah kata-kata yang sempat masuk dalam
otak dan diingat hingga saat ini, jauh sebelum saya belajar biologi dan gen
manusia, serta tahu nama Dian Sastro dan quotenya “ ... Seorang wanita wajib
berpendidikan tinggi, karena mereka akan menjadi ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan
melahirkan anak-anak yang cerdas.”
Dan seketika berkelebat ingatan bukankah
orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajadnya oleh Tuhan?
Saya melihat kalender lagi, hingga teman kost jengah
melihat saya mematung di hadapan kalender. Ah, tanggal sepuluh, akhirnya ketemu
mengapa tanggal ini terasa istimewa. Ya, hari ini hari istimewa. karena lelaki,
imam sepanjang jalan saya pernah lahir ke dunia. Selama 2 tahun di tanggal dan
bulan yang sama dengan hari ini, saya meninggalkan rumah. Berniat untuk melarikan diri dari kungkungan sang
imam sepanjang jalan. Hari ini rasanya amat berbeda. Ingin pulang, sambil
memeluk dan berbicara panjang lebar dalam pelukannya yang sebenarnya tidak
terlampau hangat itu. Tidak ada kue ulang tahun, lilin angka petunjuk usia yang
menyala. Apalagi tangisan sedu sedan. Sebab, rasa-rasanya kelopak mata saya
kering karena kemarin sudah menangis pada waktu yang tidak tepat. Sialan!
Tapi, karena hari ini merupakan hari istimewa
untuk imam sepanjang jalan, saya ingin berbahagia saja hari ini. Sambil
merenungi himpunan kata-katanya yang tertinggal di otak sekaligus memanggil
kembali ingatan yang telah melanglang buana. Saya sampai pada sebuah
kesimpulan, bahwa selama ini usaha saya masih terlalu santai. Masih terlampau
terbuai dengan permainan.
Untuk imam sepanjang jalan, ingatannya sudah
tidak tajam lagi. Katanya, nikmat pendengarannya dikurangi oleh Tuhan. Maaf,
karena perdebatan kita selama ini tak pernah menghasilkan sebuah perenungan
panjang yang mengubah arah komunikasi. Alias sia-sia. Sebab, kita terlalu egois
untuk mengakui rindu, termasuk mengakui salah. Kalau saya boleh bilang, otak
kita terlalu bebal. Entahlah, tapi saya ingin mengamini himpunan kata-katanya
yang dulu pernah berlalu.
Terimakasih, imam sepanjang jalan yang
menghadiahkan ribuan chip memori dalam otak saya. Termasuk malam ini dengan
warna langit yang semakin menua, saya menghaturkan rapalan doa-doa. Dan rapalan semoga dapat segera membumbung ke angkasa.
Terimakasih, saya
menikmati hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar