Sabtu, 30 April 2016

Penutup April



Kesababan hal baru, entah karena nonton drama dengan judul yang mana lagi? Kali ini sedang menggandrungi terarium, apakah kamu tahu apa itu? Semacam kaktus dan sejenisnya yang berukuran mini, diletakkan di pot-pot mini. Lucu banget..., tumbuhan ini semacam bonsai pada tanaman yang berkayu. Jika, harga bonsai cenderung mahal karena perawatannya yang tidak mudah dan memakan waktu lama, terarium ini murah meriah kok. Perawatannya pun mengandalkan intensitas sinar, kecukupan air, dan yang paling penting gak pake lilitan kawat. Selain keinginan untuk membeli tanaman, keinginan tersebut merembet pada keinginan pelihara ikan.
Suara air dalam akuarium yang dipompa dengan bantuan listrik kali ini tidak membantu memanjakan telinga. Kaktus mini jenis Elongata crested,  pun tak cukup menyuplai oksigen dalam otak. Saya butuh 3 nama lagi untuk menamai teman baru saya yang sekarang harus berkenalan dalam akuarium. Penutup April yang meletihkan.  Timeline dari media daring, teman yang tiba-tiba nongol via lini masa, dan perihal kamu yang baru saja bertambah umur. Tak lupa tugas kuliah yang nampak seperti Dementor, sang penghisap kebahagian di serial Harry Potter. Timeline tak henti-hentinya mengabarkan tentang kontrol sosial yang dilakukan mahasiswa terhadap kampus. Kabar kampus yang sedang tidak baik-baik saja. Ketransparansian kampus sedang dipertanyakan. Padahal pernah ada berita baik tentang masalah ketransparanan di kampus. Ambivalen!
Saya selalu gamang ketika ada gelombang informasi yang datang. Bingung menyatakan sikap akan ikut yang mana, karena tidak bisa memilah dan tidak mau dianggap sebagai orang yang apatis. Mungkin lebih baik saya baca dahulu buku tentang relasi kuasa, kalau tidak salah  itu karya Bourdieau (saya gak yakin, karena selalu nihil ketika mencoba membaca teori-teori sosial).
Perihal teman, saya tak akan membahasnya. Terlalu rumit, saya tak bisa membahasakannya. Sedangkan kamu yang baru bertambah umur, saya baru keinget ketika ada yang menyentil rongga dada. Namamu disebut secara tidak sengaja.
Beberapa menit lagi panah detik, menit, dan jam berkumpul di poros yang sama.  Kali ini saya harus mengakui, ikut tren bikin pengharapan di bulan baru. Padahal, pengharapan bisa dibuat setiap hari. Menyusun prioritas, menyelesaikan beberapa tugas, merampungkan apa yang telah dimulai dan memang harus beres pada akhir bulan depan.
Saya, dan mungkin kamu masih berada di belakang bayangan. Semoga kali ini bisa berdamai dengan Mei yang akan datang.

Sabtu, 16 April 2016

Jurusan, Buku Monyet, dan Selusin Lagu



Sepanjang pagi hari tadi kuhabiskan dengan glundang-glundung di kasur. Bergelung dengan sisa parfum di selimut yang disemprotkan oleh mbak-mbak binatu sebelah kost. Sambil mengikuti berita lewat media daring tentang gempa susulan  beberapa kota di Jepang. Baru benar-benar beranjak dari kasur setelah kebutuhan biologis (makan) semakin mendesak. Sarapan yang dirapel dengan makan siang ini berupa mie instant hangat dengan irisan bayam dan wortel dari polybag yang dirawat sejak 1,5 bulan yang lalu. Tak lupa secangkir teh pekat baru diseduh yang turun drastis angka konsumsinya (pribadi) sejak semester lalu. Berbicara perihal teh dan mie instant, kuanggap ini sebebagai liburan lokal pengganti kebiasaan minum ocha, dan makan ramen di Jepang yang masih diuusahakan. Ini bagian dari intermezo saja, karena sedang lapar.

Sesorean kemarin banyak kujumpai kejutan. Dari berkenalan dengan orang yang pertama kali berjumpa, tawaran untuk menambah ilmu, dan juga celetukan yang menyentil kuping. “Kamu kuliah di jurusan apa?”, itu ucapan setelah ia melihat sebuah buku catatan mini ku keluarkan dari tas. Tak hanya itu, si penanya juga mengaitkan dengan selera musik yang kudengar lewat Youtube. Tentang buku mini yang kujuluki buku monyet, (ku adopsi dari sebutan yang diberikan dosenku ketika awal pertemuan semester 1) memliki sampul depan dengan tulisan typografi berbagai kata yang berhubungan dengan multimedia. Pernah juga disangka sebagai mahasiswa design gara-gara dinding kamar kost berubah menjadi mading pribadi.

Buku mini ini berisi beragam coretan tinta, mulai dari agenda kegiatan harian, quotes, ide serampangan yang tiba-tiba muncul, sampai uneg-uneg harian. Isinya beragam lah. Aku sudah menulis di buku mini yang akhirnya kujuluki buku monyet ini semenjak bangku akhir SD. Dari mulai menulis dengan saya di orji (binder mini beragam warna) hingga jilidan kertas sisa fotocopy-an. Kumpulan buku monyet itu berasal dari pemberian iseng, atau sekadar  nabung untuk memuaskan keinginan. Tentang bentuk, aku tak pernah mempermasalahkan karena tidak terlalu mengikuti mode. Aku paling suka dengan buku monyet bersampul wajah Conan (tokoh serial anime detektif) yang diberikan secara cuma-cuma oleh seorang teman. Karena diberi oleh teman, maka buku monyet tersebut pun ‘dicoret’ oleh teman yang lain. Membawa buku monyet merupakan sebuah keharusan, menulis dengan tiba-tiba ketika berjalan santai itu amat mengasyikkan. Atau sobekaan kertas berisi sajak bisa dilarung kepada Neptunus.  

Selain buku monyet dengan sampul typografi, orang menebak aku berada di major dengan lagu yang ku nikmati. Akhir-akhir ini aku menggandrungi musik instrumen atas saran salah seorang teman untuk menemani belajar, atau sekadar memanjakan gendang telinga. Sesekali mendengarkan lagu lawas grup vokal ABBA, Westlife, permainan piano Geschwin, Bethoven dengan ‘Fur Elise’ nya, atau gesekan biola dari David Garrett. Saya mahasiswa sejarah yang mulai belajar mencintai mata kuliah (lagi), dan berusaha menyerap berbagai informasi. Ada senyum simpul yang kerap mengembang ketika orang-orang menebak dengan kurang tepat perihal jurusan di bangku kuliah.

Kalu perihal selera musik atau seni, aku tak berani menyimpulkan ikut dalam aliran apa. Pasalnya, berbagai seni mudah membuatku jatuh hati. Sayangnya, tak pernah menekuni dari usia belia. Aku suka melihat lukisan pointilsm Afremov yang rupanya mengikuti aliran Impresionisme Paul Cezanne yang hidup sezaman dengan George Seurat. Lukisan surealisme ala Salvador Dali pun aku menyukainya, lepas dari komposisi warna dan tata letak objek. Sayang, aku tak mau belajar sedari dulu. Aku juga suka dengan instrumen piano Mozart, Chopin, Bach, ataupun Bethoven. Tapi tak pernah mengerti nomor instrumennya. Akhir-akhir ini aku sedang keranjingan dengan musik cover dari alat musik biola, beatbox, juga acapella. Lagi-lagi, aku tidak mau belajar sekalipun dengan cara otodidak. Terlalu malu.

Tentang musik dan nada, jadi teringat cuplikan penjabaran relasi antara nada dan bahasa matematika dari mbah Sujiwo Tejo. Budayawan, sekaligus orang yang paham bahasa matematika. Dalam salah satu talk shownya (coba cari dengan keyword Sujiwo Tejo di Youtube), ia mengatakan bahwa bahasa matematika adalah bahasa keindahan. Nada yang dihasilkan alat musik adalah anak turunnya. Seharusnya yang menyukai seni dan sastra juga pandai di bidang matematika.


Lah, jane sih begitu mbah. Apa daya saya yang sudah terlanjur melarung buku matematika ke sungai Brantas, dua tahun silam. Perihal lagu dan seni, itu hanyalah masalah selera pribadi. Asal melodi enak didengar di telinga, aku tak perlu membuktikan kedua kali untuk memutuskan bahwa aku jatuh hati.


Jumat, 15 April 2016

Suratmu Telah Sampai Ditanganku


@beautynesia





Aku mengabarkan surat keduamu sampai dengan selamat di tanganku
Selepas tengah hari
Setelah mengantarkan kepergian kembali ke tanah leluhurmu
Bersamaan dengan sebuah kotak pandora dengan instrumen Bethoven yang berjudul “Fur Elise”

Sekembalinya dari stasiun
Sepasang mata menekuri larik-larik kalimat
Yang telah kau tulis rapi di selembar kertas daur ulang yang manis
Berdiksi Melayu, karena kau sedang menggandrungi novel klasik
Surat keduamu sampai di tanganku
Kau bilang semoga kita tetap berteman
Ya, semoga kita tetap berteman diatas ego dan empati masing-masing
Karena percakapan kita tak terbatas pada goresan pena diatas se-rim kertas daur ulang yang manis


Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...