via unsplash.com |
Berpuluh-puluh
jam mengurung diri dalam kamar, tanpa penerangan. Kecuali lewat layar komputer
jinjing.
Begitulah
cara saya menghabiskan waktu kali ini, karena sebuah jadwal yang ditunda berhari-hari. Diam,
kemudian sesekali mencomot oat yang
lembek karena gula. Biasanya, saya kerap ngobrol di depan akuarium yang
penghuninya kehilangan tenaga dari hari ke hari. Sekarang akuarium itu
teronggok di sudut bufet, berkawan dengan buku-buku baru yang belum terjamah
dengan karbon pensil. Tidak banyak yang saya lakukan untuk mengisi keseloan tingkat
27. Tiga hari yang lalu, saya merampok koleksi film seorang teman. Beragam
jenisnya, namun mayoritas adalah jenis sains-fiksi, film keluarga, juga laga
semacam Sicario, Transcendence, Allegiant,
Zootopia, dan Room. Sebenarnya saya
merampok lebih banyak dari judul yang saya sebutkan, namun yang paling berkesan
adalah film dengan judul Room
(kamar).
Berdasarkan
percakapan dalam film, usia tokoh utama baru
menginjak angka lima tahun. Mempertanyakan mengapa warna daun yang gugur di
atas atap kaca tidak berwarna hijau? Menanyakan mengapa hingga usianya lima
tahun belum bisa bertemu dengan anjing yang sering didengung-dengungkan dalam
cerita ibunya yang hampir ia hapal di memori otaknya. Namanya Jack, bocah
laki-laki yang hidup dalam imajinasi ibunya di sebuah kamar (lebih baik untuk disebut sebagai sebuah gudang) yang
dipaksakan menjadi sebuah rumah. Tempat tidur, makan, dapur, nonton televisi
dibagi berdasarkan bayangan imajiner, tanpa sekat.
Ia
terkungkung dalam sebuah ruang, tak dapat menikmati pergantian udara tanpa tarif
tiap pagi, maupun celoteh teman-teman yang seusia dengannya. Kalau saya boleh
lancang mengatakan, itu dikarenakan ia benar-benar terasing dari interaksi
dengan manusia selain ibunya, juga sebuah kotak ajaib bernama televisi selama 5
tahun.
Singkat
cerita, Jack dan ibunya berhasil
melarikan diri dari kubikel mininya. Tubuhnya berontak untuk menyesuaikan
dengan lingkungan barunya. Sistem pernapasannya harus menyesuaikan diri dengan
udara yang dihirup, butuh kacamata berlensa hitam yang digunakan sebagai
penghalang paparan sinar matahari menuju rentina. Tak hanya fisiknya saja yang
butuh penyesuaian, ia juga butuh penyesuaian untuk hubungan sosialnya. Sebelumnya,
ia berkata lirih dan menghindari tatapan manusia. Bersembunyi dalam zona nyaman
dibalik punggung ibunya. Untungnya ia tidak memiliki claustropobia (ketakutan terhadap ruang sempit).
Ada
semacam pesta perayaan atas penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh tubuh
kecil Jack, yakni kebebasan menikmati keberadaan benda-benda lain secara nyata.
Bukan dari cerita ibunya, maupun rekaan televisi. Namun, dibalik kesempatan
untuk menikmati hal-hal baru, ternyata ia masih terikat kenangan dengan kubikel
lamanya. Pada suatu kesempatan mengunjungi kubikel lama, ia merasa ruangnya
menyusut. Bukan karena barangnya yang telah diamankan, namun karena pintunya
telah terbuka.
“Saat usiaku empat tahun, aku
tak mengerti apa-apa tentang dunia. Namun kini aku belajar untuk memahami
dunia. Banyak hal yang mesti dicoba, meski terkadang terlihat menyeramkan.”-
Jack
Di usia yang telah menginjak angka 20, sudah
sejauh apa kita menjelajah dunia? Namun, sejauh-jauhnya menjelajah ada kalanya waktu untuk pulang ke rumah. Kita semua membantu untuk saling kuat. Tidak ada
yang kuat sendirian di tengah energi yang sedemikian besarnya.