Kamis, 11 Agustus 2016

Gadis Kecil dan Le Petit Prince



via europeonscreen


Hallo, apakabar? Semoga senantiasa sehat. Adakah komentar untuk beberapa postingan cerita akhir-akhir ini? Kalau tidak, saya ingin minta maaf saja. Beberapa tulisan agak aneh karena sedang dalam misi perenungan (>0<). Hari ini saya ingin bercerita lagi tentang sebuah film anak-anak.
Finally, belum banyak yang saya lakukan setelah kembali ke Yogyakarta. Sudah hampir sebulan di sini. Dan ketika teman-teman bertanya mengapa balik cepat, atau sudah kemana saja, saya kelimpungan untuk menjawabnya.

Rabu, 10 Agustus 2016

Imam Sepanjang Jalan

Siluet tubuhmu berlatar senja, agar tak dapat kulihat genangan air di sudut mata.

Pagi ini, udara kamar harus berganti, sekaligus iseng  melongokkan kepala dari balik pagar setinggi 2,5 meter. Bendera umbul-umbul telah terpasang sepanjang jalan depan kost. Ya, hari ini memasuki hari ke 10 di bulan Agustus, seminggu yang akan datang akan ada upacara bendera rutin untuk memperingati hari kemerdekaan, meskipun saya lebih suka memakai  istilah peringatan hari proklamasi.  
Sekilas, tidak ada yang spesial hingga siang yang terik ini. Hingga berkali-kali saya harus memastikan benar-benar tak ada yang spesial sambil mematung di depan kalender yang tergantung di tembok kamar. Lama. Namun dalam otak saya terus bergaung percakapan saya dengan seseorang, delapan tahun silam.    
“Ra, wanita harus mengenyam pendidikan yang layak. Harus punya keterampilan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, punya pekerjaan sendiri. Kalau sudah begitu, perihal rezeki dan jodoh tinggal tunjuk saja. namun jangan lupa, usahamu mendekat pada yang punya kehidupan harus kau upayakan sendiri, dan lalalala...” Begitulah kata-kata yang sempat masuk dalam otak dan diingat hingga saat ini, jauh sebelum saya belajar biologi dan gen manusia, serta tahu nama Dian Sastro dan quotenya “ ... Seorang wanita wajib berpendidikan tinggi, karena mereka akan menjadi ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas.”
Dan seketika berkelebat ingatan bukankah orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajadnya oleh Tuhan?
Saya melihat kalender lagi, hingga teman kost jengah melihat saya mematung di hadapan kalender. Ah, tanggal sepuluh, akhirnya ketemu mengapa tanggal ini terasa istimewa. Ya, hari ini hari istimewa. karena lelaki, imam sepanjang jalan saya pernah lahir ke dunia. Selama 2 tahun di tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini, saya meninggalkan rumah. Berniat  untuk melarikan diri dari kungkungan sang imam sepanjang jalan. Hari ini rasanya amat berbeda. Ingin pulang, sambil memeluk dan berbicara panjang lebar dalam pelukannya yang sebenarnya tidak terlampau hangat itu. Tidak ada kue ulang tahun, lilin angka petunjuk usia yang menyala. Apalagi tangisan sedu sedan. Sebab, rasa-rasanya kelopak mata saya kering karena kemarin sudah menangis pada waktu yang tidak tepat. Sialan!
Tapi, karena hari ini merupakan hari istimewa untuk imam sepanjang jalan, saya ingin berbahagia saja hari ini. Sambil merenungi himpunan kata-katanya yang tertinggal di otak sekaligus memanggil kembali ingatan yang telah melanglang buana. Saya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa selama ini usaha saya masih terlalu santai. Masih terlampau terbuai dengan permainan.
Untuk imam sepanjang jalan, ingatannya sudah tidak tajam lagi. Katanya, nikmat pendengarannya dikurangi oleh Tuhan. Maaf, karena perdebatan kita selama ini tak pernah menghasilkan sebuah perenungan panjang yang mengubah arah komunikasi. Alias sia-sia. Sebab, kita terlalu egois untuk mengakui rindu, termasuk mengakui salah. Kalau saya boleh bilang, otak kita terlalu bebal. Entahlah, tapi saya ingin mengamini himpunan kata-katanya yang dulu pernah berlalu.
Terimakasih, imam sepanjang jalan yang menghadiahkan ribuan chip memori dalam otak saya. Termasuk malam ini dengan warna langit yang semakin menua, saya menghaturkan rapalan doa-doa. Dan rapalan semoga dapat segera membumbung ke angkasa. 
 Terimakasih, saya menikmati hari ini.


Sabtu, 06 Agustus 2016

Berawal dari Titik Sederhana

Konsep pameran lingkaran polos oleh Laksmayshita K.L.C
Masih di awal bulan Agustus ini, saya belum dapat buku saku agenda pameran BBY (Bentara Budaya Yogyakarta). Biasanya untuk mengadakan pameran di sana, penyelenggara harus memasukkan proposal sejak satu tahun sebelum hari H. Lumayan lama. Menurut pegawai yang mengurusi BBY, hal tersebut untuk mempermudah menentukan timeline kegiatan satu tahun yang akan datang. Biar tidak bertubrukan. Sudah dua tahun saya menetap di Yogyakarta, sesekali pulang ke Mojokerto ketika liburan semester dan jika ada beberapa hal mendesak yang harus segera diurus. Paling tidak, saya datang barang sekali dua kali dalam satu bulan ke BBY.
Dengan keberadaan BBY, saya merasa diuntungkan dengan ketemu orang-orang baru. Melegakan pikiran yang sedang jenuh. Saya paling suka dengan pameran lukisan. Meskipun tidak terlalu paham dengan jenis cat ataupun aliran lukisan, namun ada sesuatu yang membuat saya terpaku di hadapan lukisan. Membiarkan pikiran yang menebak- nebak secara serampangan makna cat yang digoreskan di media lukis. Kemudian tebakan yang serampangan itu dibuntuti obrolan singkat dengan para perupa atau pemilik komunitas yang mengadakan pameran disana.
Pada (3/8), saya iseng mengunjungi BBY lagi. Hanya menebak saja bakalan ada pameran di sana. Setelah mematikan mesin kendaraan, saya sempat mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk gedung BBY. Banyak orang, saya kira usianya tak jauh beda dengan usia saya bergerombol disana. Tidak lama, saya masuk ke dalam ruangan. Masih tersisa LCD, proyektor dan sekitar 50 kursi lipat memenuhi ruangan. Rupanya, sekaligus diadakan workshop. Ternyata ada dua kegiatan berbeda. Orang-orang yang bergerombol tadi mengikuti semacam acara paduan suara. Entah untuk apa, saya tak begitu memperhatikan keterangan yang terdapat dalam lembar presensi. Disela pegawai BBY yang sedang mengemasi barang-barang tadi, saya mulai mengitari tiap sisi tembok yang penuh dengan karya. Ada sekitar 60 karya, kalau saya tidak salah hitung dari 16 seniman kolaborasi komunitas “Perspektif” Yogyakarta- “Tutti” Australia.  
Dinding yang pertama saya tatap tertempel 16 wajah senimannya. Beberapa diantaranya bisa diidentifikasi sebagai anak-anak berkebutuhan khusus (difabel).
Tidak ada yang mewah untuk media lukisan kali ini. Bermodal karton, kertas kalender, tutup botol, biji buah saga, kancing baju, bawang herbarium, perca, dan barang bekas diolah menjadi seni berbasis titik. Pola yang dibuat amat sederhana. Berawal dari titik menjadi sebidang lingkaran beragam warna. Ada satu sisi dinding ruang pameran yang 2/5 bagiannya dipenuhi lingkaran berdiameter 15 cm berwarna putih agak kebiruan. Polos. Awalnya saya pikir adalah gambaran gelembung air, hingga saya mendapat kejelasan maknanya setelah berbincang dengan ibu Nining, ketua komunitas “perspektif” yang selama dua tahun telah menampung 7 anak difabel untuk mengembangkan seni. Ternyata lingkaran-lingkaran yang saya anggap gambaran gelembung air adalah  gambaran dunia yang sepi oleh salah satu seniman yang yang mengalami difabel tuli (deaf ).
“ Mama, bisa mendengar? Adik bisa mendengar, mengapa hanya kakak yang tidak bisa mendengar?” kira-kira begitu kalimat yang terlontar dari salah satu seniman di komunitas ibu Nining ketika akan membangun kepercayaan dirinya untuk berkembang dan terus berkarya.
“ Karena kami sayang kakak,” jawab bu Nining. Kemudian semuanya hening. Tak ada pertanyaan yang terlontar lagi.
Namun, saya masih menangkap getaran suara dan lelehan air di sudut mata  ketika bu Nining menuturkan kembali percakapan tersebut ke saya.
Lukisan sederhana, pola sederhana, percakapan sederhana seolah menggedor jiwa. Mengapa berpikir terlalu rumit namun tak dapat dijangkau, sedangkan yang sederhana saja dapat menghanyutkan perasaan? Dibalik apresiasi karya seni mereka, ada proses panjang yang mereka titi hingga detik ini. Tentang paradigma masyarakat yang keliru melihat difabel, membuat mereka terasing dari lingkungannya. Padahal, kita sama-sama manusia punya kesempatan yang sama untuk mengekspresikan rasa. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk membangun kepercayaan diri. Rasa-rasanya, semua manusia butuh pengakuan, menunjukkan bahwa keberadaannya nyata di dunia. Maka itulah manusia perlu punya karya. Perwujudan hasil pemikiran seperti yang digaungkan Rene Descartes “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Bahkan tokoh se-imajiner dan hawa keberadaan yang se-tipis Kuroko Tetsuya dalam anime Kurobas (Kuroko no Basuke) pun masih bisa dikenali. Masih bisa diapresiasi lewat permainan basketnya.

Begitulah cerita saya bertemu dengan orang baru, ada percakapan sore hari yang cukup berkesan hari itu. Yang sempat saya tangkap di akhir perbincangan adalah, kadang perlu menanggalkan “ke-Aku-an” agar dapat berbaur dengan siapa saja dan bisa lebih dekat dengan mereka. 
Begitulah. Selamat sore, selamat menikmati akhir pekan.

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...