Jumat, 27 Mei 2016

Narasi Pembangun Paralelisme Cerita dalam “1Q84”





Akhir-akhir ini musim tak menentu. Kadang cerah sepanjang hari, tak jarang pula rintik hujan yang rapat mengguyur bumi pada sore hari. Seperti lagu dari Maluku “Waktu Hujan Sore-sore”. Masih ingat liriknya?
“Waktu hujan sore-sore
Kilat sambar pohon kanari
E jujaro deng mongare
Mari dansa dan manari...”
Bikin saya pengen hujan-hujan, sambil main ikutan nari. Mungkin. Bukan sambil berkendara yang kerap bikin masuk angin. Sementara aksi mogok, saya tangguhkan dulu. Kali ini saya bakalan cerita, tentang karya Murakami (lagi). Tentang pararelisme, alur cerita, dan narasi panjang yag tak harus disimpulkan.
Jadi, niatnya adalah memikirkan rumusan masalah untuk tugas-tugas akhir semester yang disambi dengan baca novel. Kenyataannya niat terbalik, 1Q84 habis selama tiga hari. Sedangkan buku referensi dari M.C Ricklefs masih anteng di rak buku selama 2 minggu.  Jilid pertama 1Q84 dengan bayangan angka 9 dibalik hurf Q, ia menulis dengan sudut pandang dua tokoh. Aomame (wanita) dan Tengo (laki-laki), dengan karakter yang menurut saya amat bertolak belakang. Aomame yang berdarah dingin, karena berkaitan dengan profesinya. Tengo yang lemah lembut (mungkin), dan punya kemampuan komunikasi yang baik. Yang asik adalah keduanya pandai memainkan logika. Apalagi Tengo bisa memahami bahasa matematika, jadi guru matematika. Pikirannya logis dan terarah. Kemampuan matematikanya membawa berkah dengan kemampuannya mengolah kata-kata menjadi sebuah cerita maupun novel. Kalo saya hidup di zaman yang sama, rupanya saya mau jadi muridnya. Dari alur ceritanya, Murakami selalu bisa membuat kejutan pada setiap lembarnya. Namun beberapa alur masih bisa ditebak.
Tentang paralelisme, ini istilah yang baru saya ketahui dari sebuah film Taiwan, berjudul  You Are the Apple of My Eye. Bahwa peristiwa di atas bumi ini berjalan sejajar, ada hukum sebab akibat dari belahan wilayah lain yang mempengaruhi kegiatan di belahan wilayah lainnya. Di kuliah sejarah, ternyata ada kajian tentang paralelisme peristiwa. Salah satunya adalah J.C. Van Leur yang menuliskannya dalam buku yang berjudul Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History. Ia mengusung konsep global history yang mengedepankan peran dan pengaruh suatu wilayah terhadap wilayah lain. Ia menggunakan gambaran perdagangan di Nusantara pada abad 18. Sayangnya saya belum khatam baca buku itu. Peristiwa paralel yang sering didengungkan untuk sebuah contoh adalah meletusnya Tambora (1815) yang berdampak pada kekalahan pasukan Napoleon dalam perang terakhirnya. 
Untuk saat ini, saya masih percaya kalau peristiwa yang terjadi bukan karena kebetulan. Sekalipun dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan kehidupan antara Tengo dan Aomame dalam novel Murakami ini. Murakami dengan amat pandai menggiring pembaca dalam sebuah peristiwa besar dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh sebuah sekte di Jepang. (hubungan penjelasan dan contohnya membingungkan yak?). Intinya memang ada narasi besar yang ingin diungkap.
Perihal isi cerita 1Q84, saya seperti baca novel fiktif petualangan, mungkin bisa dibayangkan novel teenlit Luna Torashingu dengan (kalau tidak salah) trilogi Mawar Merah- nya. Semacam permainan detektif  dan penemuan harta karun dengan tempo cerita yang cepat, gitu. Sialnya, saya malah merasa tidak diburu waktu ketika membaca dan bisa tuntas dalam tiga hari. Saya seolah ikut dalam setiap penyelidikan yang dilakukan Aomame. Kadang juga merasa seolah ikut duduk dan mendengarkan percakapan antara Tengo dengan seorang gadis penutur cerita. Jika dibandingkan dengan novel yang baca sebelumnya Norwegian Wood, jujur saja bingung harus cerita gimana. Yang menarik di 1Q84 ini adalah runtutan peristiwa sejarahnya. Banyak informasi yang didapatkan pasca kekalahan Jepang dalam PD II, perihal kebangkitan ekonominya, seragam,  senjata yang digunakan oleh polisinya dan hal lain. Meskipun karya fiksi, saya pengen kroscek kebenaran peristiwanya. Oh iya, dosen saya sempat nyeletuk pada pertemuan terakhir kuliah semester ini. “mayoritas yang dikaji dari suatu peristiwa pembunuhan adalah motif dan hubungan antara pelaku dan korban. Jarang sekali yang membahas perihal senjata yang diproduksi massal untuk pembunuhan,” (dalam gambaran kasus pembunuhan ini yang digunakan adalah pistol).




Kamis, 19 Mei 2016

Sedang Mencari Tempat Nyaman


langit sedang cerah, di salah satu sudut perpustakaan.


Sebulan terakhir saya bolak-balik kampus-perpus berbagai fakultas. Selama 2 tahun belajar disini saya baru main ke perpustakaan FIB, Fisipol, Filsafat, Pertanian, perpus Pusat, beberapa perpustakaan di Pusat Studi. Baru kali ini main ke perpus kluster saintek di seberang jalan Persatuan. Beberapa yang sempat saya kunjungi adalah perpustakaan Geografi, perpustakaan Biologi, Perpustakaan Kedokteran Umum, dan Perpustakaan Kedokteran Gigi. Sekarang saya sedang mengunjungi perpustakaan Fakultas Hukum. Dari beberapa perpustakaan yang telah saya kunjungi, sebenarnya ada beberapa masalah.
Bangunan fisik perpustakaan sekarang relatif modern dan nyaman untuk duduk berlama-lama. Namun, beberapa masalah masih menjadi lubang kecil yang secara tidak langsung mengganggu kenyamanan pengunjung perpus. Misalnya saja buku-buku yang hilang, tercecer, bahkan tingkat keamanan di perpustakaan. Meskipun sudah ada alat pendeteksi keberadaan buku, ketika didatangi untuk mengambil buku tak jarang sulit untuk menemukan. Bahkan tidak ada. Sedangkan keamanan di perpustakaan kadang membuat hati ketar-ketir untuk meninggalkan barang bawaan. Di beberapa perpustakaan, sebut saja perpus Fakultas Hukum dan Biologi. Loker tempat penitipan barang telah tersedia, sayangnya tidak tersedia gembok ataupun kunci. Sebagai antisipasinya pengunjung harus membawa kunci sendiri. Itu yang dilakukan oleh pengelola perpustakaan FH. Sedangkan di perpustakaan Biologi, tas ataupun barang bawaan lainnya ditumpuk begitu saja di meja resepsionis. Rupanya penjaga perpus sudah kewalahan untuk mengawasi peminjaman kunci loker.
Di beberapa perpustakaan fakultas lain, sering dikabarkan kehilangan barang, meskipun loker dalam keadaan terkunci. Pelakunya dengan santai mengambil barang kemudian meninggalkan lokasi. Padahal ada kamera CCTV yang mengintai.
Secara subjektif, saya menyukai perpustakaan FIB. Karena 2 tahun sering berkutat dengan buku-buku disana. Tatanan rak bukunya pun mempermudah pengunjungnya untuk segera menemukan buku yang dicari. Kecuali kalau diambil oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab. Selain itu, sofanya pun layak untuk digunakan tidur. Sayangnya, tempat duduk masih kurang. Kalau ingin konsentrasi mengerjakan tugas, sangat direkomendasikan untuk naik ke ruang referensi yang berada di lantai dua. Di sana banyak bacaan hasil skripsi dari berbagai jurusan di FIB.
Untuk kenyamanan membaca dan kebersihan, saya lebih menyukai perpustakaan Fakultas Kedokteran Umum dan Fakultas Hukum. Karena permainan warna dinding dan lantai yang simpel, membuat ruangan lebih lapang. Di Fakultas Kedokteran, bisa sekalian cuci mata dengan mbak-mbak ayu nan rajin membaca. Sedangkan perpustakaan Fakultas Hukum harumnya gak ketulungan, dekorasinya seperti dalam rumah, dengan plafon ber aksen kayu. Apalagi dengan jendela kaca yang besar dan dekat dengan pepohonan. Akses sinar matahari bisa bebas. Kali ini cuci mata beneran. Sayangnya, urutan penomoran buku masih acak, sehingga pengunjung yang jarang ke perpus tersebut mengalami sedikit kesulitan untuk menemukan buku.
Sedangkan untuk koleksi buku, saya bener-bener ingin bisa melahap mayoritas buku di rak perpustakaan Filsafat. Nama penulis bukunya bikin saya terbengong-bengong. Di sana berjubel karya pemikir Eropa yang mempengaruhi kajian keilmuan di Indonesia. Sayangnya, lagi-lagi masalah tempat yang kurang luas. Jarak antar rak buku amat sempit. Kondisi ini hampir sama dengan perpustakaan Biologi dan Pertanian. Saya belum naik ke lantai dua nya, biasanya buku-buku bagus terletak di lantai dua. Mungkin juga kondisi dan suasananya jauh lebih baik dibandingkan dengan lantai satu.
Kalau mau mencari tempat yang lebih tenang, bisa dilakukan di perpustakaan pusat studi. Asalkan tahan dengan debu. Selain karena jarang pengunjung, koleksi bukunya lumayan spesifik. Beberapa tempatnya juga cukup luas, bisa buat baca sambil gulung-gulung atau menghabiskan menja 1.5m x 2m sendirian.
Terlepas dari bentuk fisik dan koleksi bacaan yang dimiliki perpustakaan, semoga perpustakaan masih jadi tempat yang nyaman untuk belajar.


Senin, 16 Mei 2016

Seharusnya Ia tak Datang Tadi Malam




Pagi selalu menawarkan hal baru, tidak dapat dipastikan namun dapat diprediksi
Seorang gadis duduk termangu
Memenuhi rutinitas berjumpa pagi, mungkin sembari  mendengar cuitan burung yang riuh rendah dari pucuk beringin
Sepanjang siang hidupnya cair, mengikuti arus
Tadi malam, ia tak harus datang menjumpai bayangan di stasiun
Ia bingung, berputar -putar dalam malam pekat
Harusnya ia memang tak perlu datang
Malam dengan hembusan angin yang dingin itu menyayat kupingnya
Dengan sepatah-tiga patah kata yang merusak gendang telinga
Berdenging perih
Kemudian tuli
Harusnya ia tidak datang tadi malam
Sebab pagi ini, ia menari-nari pilu
Seperti terkena kutuk sihir
di bawah pohon beringin

Kamis, 12 Mei 2016

Akhirnya "Mati"

‘Akhirnya mati’
Satu kalimat, kutemui di pojok halaman depan sebuah surat kabar nasional
Tentang seekor gajah yang terkapar sakit
Disisi lain seorang anak tenggelam separuh badan
Kakinya berpijak pada lumpur pekat

Bernama kenangan 
yang tak kunjung tuntas

Jumat, 06 Mei 2016

Masih dari Murakami, Aku Belajar Merancang Masa Depan



Perihal merancang masa depan, aku selalu mengiyakan. Namun selalu saja tertunda untuk membuatnya. Setelah hari ini tuntas membaca Norwegian Wood-nya Murakami, aku sedikit terilhami.
Ada untungnya menghentikan bacaan sebelum bab 5, karena ada pertemuan yang tidak seberapa mendesak harus kuhadiri. Lagi-lagi tawaran kerjasama, kali ini bukan penelitian tapi lebih mengarah kepada pengabdian jangka panjang. Aku tidak harus menanggalkan kesibukan yang lain, kok! Justru sebaliknya aku ingin mencoba berbagi berbagai hal dengan anak-anak yang akan kami kunjungi. Semacam sekolah alam, begitulah. Atau justru mereka yang akan mengajariku berbahai hal. Akibat tawaran tersebut aku harus membaca lagi novel ‘Perahu Kertas’ nya Dee, juga ‘Indonesia Bagian dari Desaku’ nya Cak Nun. Jujur saja ketika membaca pengalaman Kugy dalam Perahu Kertas ketika mengajar di sakola alit membuat 5 jam kedua mata ini tak berhenti mengalirkan air mata. Kala itu aku masih duduk di bangku kelas IX. Kau bilang cengeng, silakan. Aku takkan mengingkari.
Novel itu ku baca setelah dikasih pinjam oleh seorang adik kelas. Awalnya kupikir semacam dongeng anak, ternyata aku salah menilai dan mulai mengamini pepatah don’t judge a book by the cover . Hingga saat ini aku bersyukur karena novel tersebut masuk dalam rak dimanapun aku berada.
Lalu, apa hubungannya rancangan masa depan dengan ketiga buku tersebut? Pertama, karena Norwegian Wood menurutku mengkisahkan manusia-manusia yang rasa sukanya tidak berakhir dengan selamat. Namun sebenarnya banyak yang dapat dicermati dari novel tersebut. Bacalah hingga tuntas! Nah, berawal dari situ dan timing penawaran kerjasama yang pas banget dengan diriku yang sedang membaca novel itu, secara iseng aku mengkaitkan dengan novel Perahu Kertas. Sepemahamanku, si pemeran utama yang bernama Kugy itu menyibukkan diri dengan menjadi relawan di sakola alit, karena alasan lelaki yang dikode tidak segera tanggap. Itu latar waktu 2000-an di Bandung. Baru-baru ini aku juga tak sengaja membaca blog tentang pengalaman seseorang di sekolah alam untuk melegakan hati. Mungkin lebih tepatnya, mengobati luka.
Kali ini aku menerima tawaran bukan karena menyibukkan diri untuk melupakan sesuatu. Meskipun di awal ingin sekali mengiyakan, namun Gie bilang “... Seorang manusia sulit sekali lepas dari masa lampaunya. Apa yang dialaminya, yang dilihatnya, dan yang dihayatinya akan selalu berbekas pada dirinya...,”. Aku tak mau terjebak pada niat yang bengkok lagi. Dalam rancangan rencana yang amat kasar, aku sedikit mencungkil ide mbak Dee perihal metode Kugy di sakola alit itu. Kemudian mulai mencoba menggabungkan dengan memahami desa dan modernitas yang masuk, lewat karya Cak Nun.

Bagaimana menurutmu?

Seperti Candu



Halo, apa kabar? Di sini gerimis baru saja reda, menyisakan sedikit aroma tanah berbaur dengan kopi hitam yang baru diseduh. Kali ini aku akan bercerita banyak kepadamu. Sekenanya, karena aku belum mahir merangkai kata. Terlepas dari koridor ruang pribadi ataupun ruang bersama untuk dibaca, aku ingin berbagi tentang apa yang ku dapatkan.

Tepat seminggu, gelisahku terhadap kenangan masalalu membuncah. Hari itu bertepatan dengan bertambahnya usia salah satu rekan. Kemudian kegelisahan genap di penutup April tahun ini. Ada enam ekor ikan baru di kamar, salah satunya kunamai Stanger King*. Malam harinya, menonton bersama seorang teman untuk kedua kalinya. Sepulangnya, ada seiris bahagia dan segumpal penat di kepala. Bukan karena kepalaku kekurangan oksigen, namun akumulasi rindu dan kenangan masalalu yang tak rasional. Aku tak ingin membahas lebih panjang hari itu.
Kali ini silakan menebak aku bercerita tentang apa, kuharap kamu sedang dalam keadaan yang tenang.
Aku tak tahan dengan salah satu linimasa yang penuh dengan postingan pantai. Karena pekan ini, jatah libur lebih banyak. Maka, membaca novel sambil bergelung dibalik selimut sepertinya lebih asyik. Nama Haruki Murakami baru masuk list bacaan seminggu terakhir ini, karena salah satu karyanya tersorot jelas ditayangan film pada layar segede gaban.  Sepertinya ia seorang sastrawan besar Jepang di era 80-an. Baru tiga hari yang lalu seorang teman membawa salah satu karya Murakami berjudul Norwegian Wood untuk dibaca terlebih dahulu. Kuucapkan terimakasih. Ia menyita malam-malamku, dan kerap membangunkanku menjelang pagi untuk sekadar membaca satu-dua halaman atau melongok ikan.
Sebagai pembaca awal karya Murakami aku akan sedikit berbicara tentang karyanya. Baru kali ini membaca novel tanpa resah, tidak diburu waktu. Meskipun harus mengembalikan pada esok Minggu. Barangkali akan menjadi memori kolektif ketika membaca karya ini. Pernah ada karya sastra yang populer di masa ini, tentu dengan analisa jiwa zaman (zeit geist). 20 tahun lagi, bisa dijadikan kajian historiografi*. Separuh bagian awal kubaca dengan mengalir, seperti kelopak sakura yang hanyut oleh arus sungai Meguro. Tenang, seperti  terpengaruh obat bius. 
Bagian awal menyoroti tentang kehidupan kampus di Tokyo dengan sentuhan demo pada 1968. Hampir terpaut 48 hingga 49 tahun antara cerita tersebut dengan tahun ini. Yang membuat sedikit kaget, dan menimbulkan senyum nanar (sedikit sarkas juga) perihal gaya hidup mahasiswa. Lelaki dengan umur akhir belasan menjelang awal 20-an sudah dekat dengan sake, menyundut rokok, pandai memikat perempuan, dan kasus bunuh diri. lebih ke tengah buku, ada penjelasan rinci tentang meditasi. Walaupun begitu, lembar demi lembar masih kubaca dengan telaten. Lembaran-lembaran berikutnya menanti, menggiurkan perlahan tapi pasti aku membacanya.  Ke-aku-an dalam karyanya amat rendah, meskipun ditulis dengan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama. Seperti candu memang. Namun tak sekalipun pernah mencicip candu.
 Sebelumnya tak pernah di semester ini membaca novel hingga tuntas se-khusyuk ini, tanpa baper. Sebelumnya, ‘Jentera Lepas’ karya Ashadi Siregar kutinggalkan begitu saja setelah separuh bagian pertama novelnya. Karena menurutku, bahasa yang digunakan terlalu ribet. Sebelumnya lagi, novel travel ‘Garis Batas’  karya Agustinus Wibowo menguras emosi. Ia menuliskan pengalammannya dengan pendekatan antropologi di perbatasan negeri Stan, Asia Tengah itu. Kalau kau belum membaca, suatu saat kau harus membacanya. Aku menikmati novel Murakami di setiap lembarnya karena bukan untuk tugas review atau resensi. Sudah lama aku tak merasakan hal seperti ini. Membaca tanpa tuntutan.
Di seratus halaman pertama, tokoh utama bernama Watanabe yang memiliki teman berbagi ruang pada awal masa kuliahnya, Kopasgat ia menyebutnya begitu. Otomatis aku menarik garis dengan pengalamanku berbagi ruang kamar di tahun pertama kuliah.  Teman semeriah itu baru kutemukan di bangku kuliah. Berbagai hal kami ceritakan sepulang kelas. Kebetulan ia berbeda jurusan denganku. Dan merasa kehilangan ketika kami memutuskan berpisah pada tahun kedua ini. Aku suka ketika emosiku tidak diaduk ketika perpisahan Watanabe dengan teman jurusan Geografinya itu. Ditandai dengan pemberian kunang-kunang, aku lupa cerita itu dibagian mana.
Murakami menyelesaikan setiap segmen ceritanya dengan bahasa yang tenang dan anggun. Begitu pula dengan bahasa di bagian cerita antara Watanabe dengan Naoko, Midori yang menjadi temannya di kelas Sejarah Drama II, dengan Reiko. Ataupun dengan tokoh-tokoh lain yang namanya ada dalam novel tersebut. Aku menghentikan bacaanku, tepat sebelum bab 5 ketika Naoko kembali dengan surat yang ditujukan kepada Watanabe. Kemudian meneruskan membaca di hari kedua. Hingga tuntas pada sore ini. 
Ratusan, atau bahkan ribuan hari yang dibingkai dalam 124 halaman. Kamu pergi sebegitu lamanya, dan kemudian suratmu tiba-tiba hadir di kotak suratku.
Aku mulai menerka, cerita dalam novel ini juga menenangkan pikiranku mungkin dikarenakan tokoh yang seumuran, meskipun dengan latar tempat, budaya, dan waktu yang berbeda. Murakami juga membawa pembacanya untuk menyelami karakter individu dalam novelnya, apalagi ia menuliskan dengan sangat rinci pengalaman tetirah Naoko di tempat yang jauh dari keramaian. Aku sangat suka, meskipun aku tak bisa menempatkan diriku di tokoh yang mana. Karena biasanya aku selalu membayangkan dan menempatkan diriku menjadi salah satu tokohnya. Mungkin itu yang membuat kali ini aku tidak baper. Entahlah, aku kurang paham.
Jika kau membaca Norwegian Wood bagian hampir akhir, dan menemukan kalimat dari Ito yang berbunyi, “Perempuan yang memasuki usia 20 atau 21 tahun kehilangan sisi manis yang terlihat sebelumnya dan mulai terlihat biasa-biasa saja atau bahkan menjurus ke menyebalkan...”, jangan percaya! Perempuan akan terlihat lebih menawan, karena ia mulai merancang masa depannya di usia tersebut.
Aku sedang menunggu berpuluh-puluh lembar cerita yang sering tertunda penyampaiannya, namun aku perlu mengkonfirmasi satu hal. Kalimatnya ku ambil dari lembar-lembar terakhir novel itu, bagaimana jika aku sekarang bergerak hanya mengikuti kenangan saja, sedangkan sesuatu dalam diriku yang penting sudah lama mati?
Petualangan imajinasiku di Jepang lewat karya Murakami terpaksa berhenti di Tokyo 1970-an. Selain karena konsentrasiku mulai pecah dengan gambaran tugas akhir yang belum terjamah, dan memang ini sudah halaman terakhir dari novel. Stranger King ikan jenis manfish dalam akuarium yang sedang mabok,  sebelum ia memutuskan untuk bunuh diri  harus segera kuamati.
Semoga kau tidak jemu menekuri tulisan-tulisan ku.


PS: Stranger King, merupakan semacam Raja panggilan dalam konteks Nusantara menjelang masuknya periode kolonial Hindia-Belanda. Sedangkan Historiografi, merupakan rekonstruksi sejarah berdasar karya sejarah pada masa penulisannya.
Jujur saja aku terbengong-bengong dengan hampir sepuluh nama penulis klasik masuk dalam karya ini. Ada  Dante, Dostoyevsky, Shakespeare, Joseph Conrad, Charles Dickens, Trauman Capote, Scott Fitzgerald, John Updike, Raymond Chandler. selain sastrawan ia juga memasukkan unsur musik, puluhan judul lagu (juga) The Beatles dan Rolling Stone ada.




Minggu, 01 Mei 2016

Pasca Ujian Nasional 2016, Inginmu Seperti Apa?

           


           Kamu ingin tinta apalagi untuk mewarnai harimu?
        Ujian Nasional (UNAS), menjadi kalimat yang kerap didengar beberapa bulan terakhir ini. Sama intensnya dengan istilah SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), dan SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) keluar dari mulut pelajar kelas XII. Sebenarnya saya tidak ikut mengamati mereka berproses, hanya mengetahui sedikit dari kronologi kegiatan mereka. Saya sudah ikut prosesnya 2 tahun lampau. Kalau tidak salah, pendaftaran SNMPTN mulai pada Februari ’16, kemudian serangkaian ujian lokal (ujian praktik dan sejenisnya) untuk mengisi jeda jarak antara pendaftaran SNMPTN dengan Ujian Nasional. UNAS sendiri dihelat pada minggu pertama April. Seminggu penuh bagi SMA/MA dan tiga hari bagi SMK.
Hari ini sudah awal Mei, info dari beberapa akun lini masa mengabarkan hasil UNAS SMA/MA/SMK dapat diketahui pada Sabtu, (7/5), beda dua hari dengan awal UNAS di tingkat SMP. Biasanya pengumuman SNMPTN akan ada seminggu setelah pengumuman hasil UNAS. Semoga kalian lulus dan lolos dengan selamat. Yang menarik adalah masa tunggu pengumuman tersebut. Hari-hari siswa yang berstatus quo pun bermacam-macam. Sebagian mungkin datang ke Bimbel, dengan alasan persiapan tes dan lalala lainnya. Sebagian lagi mengisi jeda dengan liburan dan mungkin belajar hal baru. Tapi, liburan yang terjadwal kadang minim potensi digunakan untuk belajar hal baru. Kemarin Rangga berbagi kisah dengan kami. Kembali ke siswa dengan status quo, sebagian lagi mengisi hari-harinya dengan membaca buku di beranda rumah sambil menyesap air es dan berbagai kegiatan lainnya.
Kalau yang saya sebutkan diatas mungkin kurang terekspose oleh media. Media gencar menginformasikan pawai dan aksi coret-coret baju yang dilakukan oleh segelintir siswa beberapa jam setelah UNAS usai. Di akun instagram juga berseliweran foto coret-coret dengan pose bak model tersebut. Pawai sampai ada kasus penilangan yang berujung drama. Si murid menyebutkan nama salah seorang ternama dan berpengaruh di negeri ini. Aku jadi mikir, oh mungkin kayak gini praktik riilnya nepotisme. Mbok ya mulih dek, istirahat. Gak capek po mengeluarkan kembali akumulasi ingatan selama tiga tahun? Sepertinya masih ada asupan oksigen di kepala, karena sepertinya mereka masih sanggup menghirup uap pilox. Duh! Sebenarnya seserius apa mereka mengerjakan soal UNAS hingga perlu perayaan yang *aku wes gak iso mbahasakke. Atau jangan-jangan praktik joki Ujian masih tetap ada? Semoga prasangka saya salah, dan semoga otak kalian cukup pandai dan cerdik untuk menjawab ratusan soal yang telah berlalu itu.
Tentang pawai dan coret-coret seragam, sebenarnya mengandung faedah apa? Aku masih bingung eh. Apakah luapan rasa bahagia karena telah melewati masa kurungan selama tiga tahun? Mbok digunakan makan bersama. Karuan wareg. Sekadar memberi tahu saja dua tahun lalu, aksi coret-coret seragam ini dilakukan setelah pengumuman kelulusan ada. Lah kok sekarang spontan. Seragam saya gak pernah ikut dicoret sih, karena itu bukan media lukis, gambar graffiti dan media lainnya untuk menyalurkan bakat seni. Kesenangan semu, hanya berlaku sehari. Gak bikin nagih, sehari saja tidak memikirkan masa depan.
Padahal dedek unyu dan gemes sekalian, sejumput masa depan perkuliahan (bagi yang terus ingin melanjutkan belajarnya) sedang kabur kayak kacamata lagi ditutupi embun. Besok Senin, (2/5) bebarengan dengan tanggal kelahiran seseorang yang mendapat julukan bapak pendidikan akan ada pesta besar di kampus kami. Kamu mau datang menyaksikan? Sepertinya liburanmu terlalu sayang untuk ditinggalkan. Tapi, semua itu terserah padamu.

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...