Akhir-akhir ini musim
tak menentu. Kadang cerah sepanjang hari, tak jarang pula rintik hujan yang
rapat mengguyur bumi pada sore hari. Seperti lagu dari Maluku “Waktu Hujan Sore-sore”. Masih ingat
liriknya?
“Waktu hujan sore-sore
Kilat sambar pohon kanari
E jujaro deng mongare
Mari dansa dan manari...”
Bikin saya pengen hujan-hujan, sambil main ikutan nari. Mungkin. Bukan sambil berkendara yang kerap bikin masuk angin.
Sementara aksi mogok, saya tangguhkan dulu. Kali ini saya bakalan cerita,
tentang karya Murakami (lagi). Tentang pararelisme, alur cerita, dan narasi
panjang yag tak harus disimpulkan.
Jadi, niatnya adalah memikirkan rumusan masalah
untuk tugas-tugas akhir semester yang disambi dengan baca novel. Kenyataannya
niat terbalik, 1Q84 habis selama tiga
hari. Sedangkan buku referensi dari M.C
Ricklefs masih anteng di rak buku selama 2 minggu. Jilid pertama 1Q84 dengan bayangan angka 9 dibalik hurf Q, ia menulis dengan
sudut pandang dua tokoh. Aomame (wanita) dan Tengo (laki-laki), dengan karakter
yang menurut saya amat bertolak belakang. Aomame yang berdarah dingin, karena
berkaitan dengan profesinya. Tengo yang lemah lembut (mungkin), dan punya
kemampuan komunikasi yang baik. Yang asik adalah keduanya pandai memainkan logika.
Apalagi Tengo bisa memahami bahasa matematika, jadi guru matematika. Pikirannya
logis dan terarah. Kemampuan matematikanya membawa berkah dengan kemampuannya
mengolah kata-kata menjadi sebuah cerita maupun novel. Kalo saya hidup di zaman
yang sama, rupanya saya mau jadi muridnya. Dari alur ceritanya, Murakami selalu
bisa membuat kejutan pada setiap lembarnya. Namun beberapa alur masih bisa
ditebak.
Tentang paralelisme, ini istilah yang baru saya
ketahui dari sebuah film Taiwan, berjudul You Are
the Apple of My Eye. Bahwa peristiwa di atas bumi ini berjalan sejajar, ada
hukum sebab akibat dari belahan wilayah lain yang mempengaruhi kegiatan di
belahan wilayah lainnya. Di kuliah sejarah, ternyata ada kajian tentang
paralelisme peristiwa. Salah satunya adalah J.C. Van Leur yang menuliskannya dalam buku yang berjudul Indonesian Trade and Society: Essays in Asian
and Economic History. Ia mengusung konsep global history yang
mengedepankan peran dan pengaruh suatu wilayah terhadap wilayah lain. Ia
menggunakan gambaran perdagangan di Nusantara pada abad 18. Sayangnya saya
belum khatam baca buku itu. Peristiwa paralel yang sering didengungkan untuk
sebuah contoh adalah meletusnya Tambora (1815) yang berdampak pada kekalahan
pasukan Napoleon dalam perang terakhirnya.
Untuk saat ini, saya masih percaya
kalau peristiwa yang terjadi bukan karena kebetulan. Sekalipun dalam kehidupan
sehari-hari. Begitu pula dengan kehidupan antara Tengo dan Aomame dalam novel
Murakami ini. Murakami dengan amat pandai menggiring pembaca dalam sebuah
peristiwa besar dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh sebuah sekte di
Jepang. (hubungan penjelasan dan contohnya membingungkan yak?). Intinya memang
ada narasi besar yang ingin diungkap.
Perihal isi cerita 1Q84, saya seperti baca novel fiktif petualangan, mungkin bisa
dibayangkan novel teenlit Luna Torashingu dengan (kalau tidak
salah) trilogi Mawar Merah- nya. Semacam
permainan detektif dan penemuan harta
karun dengan tempo cerita yang cepat, gitu. Sialnya, saya malah merasa tidak
diburu waktu ketika membaca dan bisa tuntas dalam tiga hari. Saya seolah ikut
dalam setiap penyelidikan yang dilakukan Aomame. Kadang juga merasa seolah ikut
duduk dan mendengarkan percakapan antara Tengo dengan seorang gadis penutur
cerita. Jika dibandingkan dengan novel yang baca sebelumnya Norwegian Wood, jujur saja bingung harus
cerita gimana. Yang menarik di 1Q84 ini adalah runtutan peristiwa sejarahnya. Banyak
informasi yang didapatkan pasca kekalahan Jepang dalam PD II, perihal
kebangkitan ekonominya, seragam, senjata
yang digunakan oleh polisinya dan hal lain. Meskipun karya fiksi, saya pengen
kroscek kebenaran peristiwanya. Oh iya, dosen saya sempat nyeletuk pada
pertemuan terakhir kuliah semester ini. “mayoritas yang dikaji dari suatu
peristiwa pembunuhan adalah motif dan hubungan antara pelaku dan korban. Jarang
sekali yang membahas perihal senjata yang diproduksi massal untuk pembunuhan,”
(dalam gambaran kasus pembunuhan ini yang digunakan adalah pistol).