Jumat, 06 Mei 2016

Masih dari Murakami, Aku Belajar Merancang Masa Depan



Perihal merancang masa depan, aku selalu mengiyakan. Namun selalu saja tertunda untuk membuatnya. Setelah hari ini tuntas membaca Norwegian Wood-nya Murakami, aku sedikit terilhami.
Ada untungnya menghentikan bacaan sebelum bab 5, karena ada pertemuan yang tidak seberapa mendesak harus kuhadiri. Lagi-lagi tawaran kerjasama, kali ini bukan penelitian tapi lebih mengarah kepada pengabdian jangka panjang. Aku tidak harus menanggalkan kesibukan yang lain, kok! Justru sebaliknya aku ingin mencoba berbagi berbagai hal dengan anak-anak yang akan kami kunjungi. Semacam sekolah alam, begitulah. Atau justru mereka yang akan mengajariku berbahai hal. Akibat tawaran tersebut aku harus membaca lagi novel ‘Perahu Kertas’ nya Dee, juga ‘Indonesia Bagian dari Desaku’ nya Cak Nun. Jujur saja ketika membaca pengalaman Kugy dalam Perahu Kertas ketika mengajar di sakola alit membuat 5 jam kedua mata ini tak berhenti mengalirkan air mata. Kala itu aku masih duduk di bangku kelas IX. Kau bilang cengeng, silakan. Aku takkan mengingkari.
Novel itu ku baca setelah dikasih pinjam oleh seorang adik kelas. Awalnya kupikir semacam dongeng anak, ternyata aku salah menilai dan mulai mengamini pepatah don’t judge a book by the cover . Hingga saat ini aku bersyukur karena novel tersebut masuk dalam rak dimanapun aku berada.
Lalu, apa hubungannya rancangan masa depan dengan ketiga buku tersebut? Pertama, karena Norwegian Wood menurutku mengkisahkan manusia-manusia yang rasa sukanya tidak berakhir dengan selamat. Namun sebenarnya banyak yang dapat dicermati dari novel tersebut. Bacalah hingga tuntas! Nah, berawal dari situ dan timing penawaran kerjasama yang pas banget dengan diriku yang sedang membaca novel itu, secara iseng aku mengkaitkan dengan novel Perahu Kertas. Sepemahamanku, si pemeran utama yang bernama Kugy itu menyibukkan diri dengan menjadi relawan di sakola alit, karena alasan lelaki yang dikode tidak segera tanggap. Itu latar waktu 2000-an di Bandung. Baru-baru ini aku juga tak sengaja membaca blog tentang pengalaman seseorang di sekolah alam untuk melegakan hati. Mungkin lebih tepatnya, mengobati luka.
Kali ini aku menerima tawaran bukan karena menyibukkan diri untuk melupakan sesuatu. Meskipun di awal ingin sekali mengiyakan, namun Gie bilang “... Seorang manusia sulit sekali lepas dari masa lampaunya. Apa yang dialaminya, yang dilihatnya, dan yang dihayatinya akan selalu berbekas pada dirinya...,”. Aku tak mau terjebak pada niat yang bengkok lagi. Dalam rancangan rencana yang amat kasar, aku sedikit mencungkil ide mbak Dee perihal metode Kugy di sakola alit itu. Kemudian mulai mencoba menggabungkan dengan memahami desa dan modernitas yang masuk, lewat karya Cak Nun.

Bagaimana menurutmu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...