Jumat, 06 Mei 2016

Seperti Candu



Halo, apa kabar? Di sini gerimis baru saja reda, menyisakan sedikit aroma tanah berbaur dengan kopi hitam yang baru diseduh. Kali ini aku akan bercerita banyak kepadamu. Sekenanya, karena aku belum mahir merangkai kata. Terlepas dari koridor ruang pribadi ataupun ruang bersama untuk dibaca, aku ingin berbagi tentang apa yang ku dapatkan.

Tepat seminggu, gelisahku terhadap kenangan masalalu membuncah. Hari itu bertepatan dengan bertambahnya usia salah satu rekan. Kemudian kegelisahan genap di penutup April tahun ini. Ada enam ekor ikan baru di kamar, salah satunya kunamai Stanger King*. Malam harinya, menonton bersama seorang teman untuk kedua kalinya. Sepulangnya, ada seiris bahagia dan segumpal penat di kepala. Bukan karena kepalaku kekurangan oksigen, namun akumulasi rindu dan kenangan masalalu yang tak rasional. Aku tak ingin membahas lebih panjang hari itu.
Kali ini silakan menebak aku bercerita tentang apa, kuharap kamu sedang dalam keadaan yang tenang.
Aku tak tahan dengan salah satu linimasa yang penuh dengan postingan pantai. Karena pekan ini, jatah libur lebih banyak. Maka, membaca novel sambil bergelung dibalik selimut sepertinya lebih asyik. Nama Haruki Murakami baru masuk list bacaan seminggu terakhir ini, karena salah satu karyanya tersorot jelas ditayangan film pada layar segede gaban.  Sepertinya ia seorang sastrawan besar Jepang di era 80-an. Baru tiga hari yang lalu seorang teman membawa salah satu karya Murakami berjudul Norwegian Wood untuk dibaca terlebih dahulu. Kuucapkan terimakasih. Ia menyita malam-malamku, dan kerap membangunkanku menjelang pagi untuk sekadar membaca satu-dua halaman atau melongok ikan.
Sebagai pembaca awal karya Murakami aku akan sedikit berbicara tentang karyanya. Baru kali ini membaca novel tanpa resah, tidak diburu waktu. Meskipun harus mengembalikan pada esok Minggu. Barangkali akan menjadi memori kolektif ketika membaca karya ini. Pernah ada karya sastra yang populer di masa ini, tentu dengan analisa jiwa zaman (zeit geist). 20 tahun lagi, bisa dijadikan kajian historiografi*. Separuh bagian awal kubaca dengan mengalir, seperti kelopak sakura yang hanyut oleh arus sungai Meguro. Tenang, seperti  terpengaruh obat bius. 
Bagian awal menyoroti tentang kehidupan kampus di Tokyo dengan sentuhan demo pada 1968. Hampir terpaut 48 hingga 49 tahun antara cerita tersebut dengan tahun ini. Yang membuat sedikit kaget, dan menimbulkan senyum nanar (sedikit sarkas juga) perihal gaya hidup mahasiswa. Lelaki dengan umur akhir belasan menjelang awal 20-an sudah dekat dengan sake, menyundut rokok, pandai memikat perempuan, dan kasus bunuh diri. lebih ke tengah buku, ada penjelasan rinci tentang meditasi. Walaupun begitu, lembar demi lembar masih kubaca dengan telaten. Lembaran-lembaran berikutnya menanti, menggiurkan perlahan tapi pasti aku membacanya.  Ke-aku-an dalam karyanya amat rendah, meskipun ditulis dengan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama. Seperti candu memang. Namun tak sekalipun pernah mencicip candu.
 Sebelumnya tak pernah di semester ini membaca novel hingga tuntas se-khusyuk ini, tanpa baper. Sebelumnya, ‘Jentera Lepas’ karya Ashadi Siregar kutinggalkan begitu saja setelah separuh bagian pertama novelnya. Karena menurutku, bahasa yang digunakan terlalu ribet. Sebelumnya lagi, novel travel ‘Garis Batas’  karya Agustinus Wibowo menguras emosi. Ia menuliskan pengalammannya dengan pendekatan antropologi di perbatasan negeri Stan, Asia Tengah itu. Kalau kau belum membaca, suatu saat kau harus membacanya. Aku menikmati novel Murakami di setiap lembarnya karena bukan untuk tugas review atau resensi. Sudah lama aku tak merasakan hal seperti ini. Membaca tanpa tuntutan.
Di seratus halaman pertama, tokoh utama bernama Watanabe yang memiliki teman berbagi ruang pada awal masa kuliahnya, Kopasgat ia menyebutnya begitu. Otomatis aku menarik garis dengan pengalamanku berbagi ruang kamar di tahun pertama kuliah.  Teman semeriah itu baru kutemukan di bangku kuliah. Berbagai hal kami ceritakan sepulang kelas. Kebetulan ia berbeda jurusan denganku. Dan merasa kehilangan ketika kami memutuskan berpisah pada tahun kedua ini. Aku suka ketika emosiku tidak diaduk ketika perpisahan Watanabe dengan teman jurusan Geografinya itu. Ditandai dengan pemberian kunang-kunang, aku lupa cerita itu dibagian mana.
Murakami menyelesaikan setiap segmen ceritanya dengan bahasa yang tenang dan anggun. Begitu pula dengan bahasa di bagian cerita antara Watanabe dengan Naoko, Midori yang menjadi temannya di kelas Sejarah Drama II, dengan Reiko. Ataupun dengan tokoh-tokoh lain yang namanya ada dalam novel tersebut. Aku menghentikan bacaanku, tepat sebelum bab 5 ketika Naoko kembali dengan surat yang ditujukan kepada Watanabe. Kemudian meneruskan membaca di hari kedua. Hingga tuntas pada sore ini. 
Ratusan, atau bahkan ribuan hari yang dibingkai dalam 124 halaman. Kamu pergi sebegitu lamanya, dan kemudian suratmu tiba-tiba hadir di kotak suratku.
Aku mulai menerka, cerita dalam novel ini juga menenangkan pikiranku mungkin dikarenakan tokoh yang seumuran, meskipun dengan latar tempat, budaya, dan waktu yang berbeda. Murakami juga membawa pembacanya untuk menyelami karakter individu dalam novelnya, apalagi ia menuliskan dengan sangat rinci pengalaman tetirah Naoko di tempat yang jauh dari keramaian. Aku sangat suka, meskipun aku tak bisa menempatkan diriku di tokoh yang mana. Karena biasanya aku selalu membayangkan dan menempatkan diriku menjadi salah satu tokohnya. Mungkin itu yang membuat kali ini aku tidak baper. Entahlah, aku kurang paham.
Jika kau membaca Norwegian Wood bagian hampir akhir, dan menemukan kalimat dari Ito yang berbunyi, “Perempuan yang memasuki usia 20 atau 21 tahun kehilangan sisi manis yang terlihat sebelumnya dan mulai terlihat biasa-biasa saja atau bahkan menjurus ke menyebalkan...”, jangan percaya! Perempuan akan terlihat lebih menawan, karena ia mulai merancang masa depannya di usia tersebut.
Aku sedang menunggu berpuluh-puluh lembar cerita yang sering tertunda penyampaiannya, namun aku perlu mengkonfirmasi satu hal. Kalimatnya ku ambil dari lembar-lembar terakhir novel itu, bagaimana jika aku sekarang bergerak hanya mengikuti kenangan saja, sedangkan sesuatu dalam diriku yang penting sudah lama mati?
Petualangan imajinasiku di Jepang lewat karya Murakami terpaksa berhenti di Tokyo 1970-an. Selain karena konsentrasiku mulai pecah dengan gambaran tugas akhir yang belum terjamah, dan memang ini sudah halaman terakhir dari novel. Stranger King ikan jenis manfish dalam akuarium yang sedang mabok,  sebelum ia memutuskan untuk bunuh diri  harus segera kuamati.
Semoga kau tidak jemu menekuri tulisan-tulisan ku.


PS: Stranger King, merupakan semacam Raja panggilan dalam konteks Nusantara menjelang masuknya periode kolonial Hindia-Belanda. Sedangkan Historiografi, merupakan rekonstruksi sejarah berdasar karya sejarah pada masa penulisannya.
Jujur saja aku terbengong-bengong dengan hampir sepuluh nama penulis klasik masuk dalam karya ini. Ada  Dante, Dostoyevsky, Shakespeare, Joseph Conrad, Charles Dickens, Trauman Capote, Scott Fitzgerald, John Updike, Raymond Chandler. selain sastrawan ia juga memasukkan unsur musik, puluhan judul lagu (juga) The Beatles dan Rolling Stone ada.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...