Halo, apa kabar? Di sini gerimis baru saja reda, menyisakan sedikit aroma tanah berbaur dengan kopi hitam yang baru diseduh. Kali ini aku akan bercerita banyak kepadamu. Sekenanya, karena aku belum mahir merangkai kata. Terlepas dari koridor ruang pribadi ataupun ruang bersama untuk dibaca, aku ingin berbagi tentang apa yang ku dapatkan.
Tepat
seminggu, gelisahku terhadap kenangan masalalu membuncah. Hari itu bertepatan dengan bertambahnya usia salah satu rekan. Kemudian kegelisahan genap di penutup April tahun
ini. Ada enam ekor ikan baru di kamar, salah satunya kunamai Stanger King*. Malam harinya, menonton bersama seorang teman untuk kedua kalinya. Sepulangnya, ada
seiris bahagia dan segumpal penat di kepala. Bukan karena kepalaku kekurangan
oksigen, namun akumulasi rindu dan kenangan masalalu yang tak rasional. Aku tak
ingin membahas lebih panjang hari itu.
Kali
ini silakan menebak aku bercerita tentang apa, kuharap kamu sedang dalam
keadaan yang tenang.
Aku
tak tahan dengan salah satu linimasa yang penuh dengan postingan pantai. Karena pekan ini, jatah libur lebih banyak. Maka, membaca novel sambil bergelung dibalik selimut sepertinya lebih asyik. Nama Haruki Murakami
baru masuk list bacaan seminggu terakhir ini, karena salah satu karyanya tersorot jelas ditayangan film pada layar segede gaban. Sepertinya ia seorang
sastrawan besar Jepang di era 80-an. Baru tiga hari yang lalu seorang teman
membawa salah satu karya Murakami berjudul Norwegian Wood untuk dibaca terlebih dahulu. Kuucapkan
terimakasih. Ia menyita malam-malamku, dan kerap membangunkanku menjelang pagi
untuk sekadar membaca satu-dua halaman atau melongok ikan.
Sebagai pembaca awal karya Murakami aku akan sedikit berbicara tentang karyanya. Baru
kali ini membaca novel tanpa resah, tidak diburu waktu. Meskipun harus
mengembalikan pada esok Minggu. Barangkali akan menjadi memori kolektif ketika
membaca karya ini. Pernah ada karya sastra yang populer di masa ini, tentu dengan analisa jiwa zaman (zeit geist). 20 tahun lagi, bisa dijadikan kajian historiografi*. Separuh bagian awal kubaca dengan mengalir, seperti kelopak
sakura yang hanyut oleh arus sungai Meguro. Tenang, seperti terpengaruh obat bius.
Bagian awal menyoroti tentang kehidupan kampus di Tokyo dengan sentuhan demo pada 1968. Hampir terpaut 48 hingga 49 tahun antara cerita tersebut dengan tahun ini. Yang membuat sedikit kaget, dan menimbulkan senyum nanar (sedikit sarkas juga) perihal gaya hidup mahasiswa. Lelaki dengan umur akhir belasan menjelang awal 20-an sudah dekat dengan sake, menyundut rokok, pandai memikat perempuan, dan kasus bunuh diri. lebih ke tengah buku, ada penjelasan rinci tentang meditasi. Walaupun begitu, lembar demi lembar masih kubaca dengan telaten. Lembaran-lembaran berikutnya menanti, menggiurkan perlahan tapi pasti aku membacanya. Ke-aku-an dalam karyanya amat rendah, meskipun ditulis dengan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama. Seperti candu memang. Namun tak sekalipun pernah mencicip candu.
Bagian awal menyoroti tentang kehidupan kampus di Tokyo dengan sentuhan demo pada 1968. Hampir terpaut 48 hingga 49 tahun antara cerita tersebut dengan tahun ini. Yang membuat sedikit kaget, dan menimbulkan senyum nanar (sedikit sarkas juga) perihal gaya hidup mahasiswa. Lelaki dengan umur akhir belasan menjelang awal 20-an sudah dekat dengan sake, menyundut rokok, pandai memikat perempuan, dan kasus bunuh diri. lebih ke tengah buku, ada penjelasan rinci tentang meditasi. Walaupun begitu, lembar demi lembar masih kubaca dengan telaten. Lembaran-lembaran berikutnya menanti, menggiurkan perlahan tapi pasti aku membacanya. Ke-aku-an dalam karyanya amat rendah, meskipun ditulis dengan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama.
Sebelumnya tak pernah di semester ini membaca
novel hingga tuntas se-khusyuk ini, tanpa baper. Sebelumnya, ‘Jentera Lepas’ karya Ashadi Siregar
kutinggalkan begitu saja setelah separuh bagian pertama novelnya. Karena menurutku, bahasa yang digunakan terlalu ribet. Sebelumnya lagi, novel travel ‘Garis Batas’
karya Agustinus Wibowo menguras emosi. Ia menuliskan pengalammannya dengan pendekatan antropologi di perbatasan negeri Stan, Asia Tengah itu. Kalau kau
belum membaca, suatu saat kau harus membacanya. Aku menikmati novel Murakami di setiap
lembarnya karena bukan untuk tugas review
atau resensi. Sudah lama aku tak merasakan hal seperti ini. Membaca tanpa
tuntutan.
Di
seratus halaman pertama, tokoh utama bernama
Watanabe yang memiliki teman berbagi ruang pada awal masa kuliahnya, Kopasgat ia menyebutnya begitu. Otomatis aku menarik garis dengan pengalamanku berbagi
ruang kamar di tahun pertama kuliah. Teman
semeriah itu baru kutemukan di bangku kuliah. Berbagai hal kami ceritakan sepulang kelas. Kebetulan
ia berbeda jurusan denganku. Dan merasa kehilangan ketika kami
memutuskan berpisah pada tahun kedua ini. Aku suka ketika emosiku tidak diaduk
ketika perpisahan Watanabe dengan teman jurusan Geografinya itu. Ditandai dengan pemberian kunang-kunang, aku lupa cerita itu
dibagian mana.
Murakami
menyelesaikan setiap segmen ceritanya dengan bahasa yang tenang dan anggun. Begitu
pula dengan bahasa di bagian cerita antara Watanabe dengan Naoko, Midori yang
menjadi temannya di kelas Sejarah Drama II, dengan Reiko. Ataupun dengan
tokoh-tokoh lain yang namanya ada dalam novel tersebut. Aku menghentikan bacaanku,
tepat sebelum bab 5 ketika Naoko kembali dengan surat yang ditujukan kepada
Watanabe. Kemudian meneruskan membaca di hari kedua. Hingga tuntas pada
sore ini.
Ratusan, atau bahkan ribuan hari yang dibingkai dalam 124 halaman. Kamu pergi sebegitu lamanya, dan kemudian suratmu tiba-tiba hadir di kotak suratku.
Ratusan, atau bahkan ribuan hari yang dibingkai dalam 124 halaman. Kamu pergi sebegitu lamanya, dan kemudian suratmu tiba-tiba hadir di kotak suratku.
Aku
mulai menerka, cerita dalam novel ini juga menenangkan pikiranku mungkin
dikarenakan tokoh yang seumuran, meskipun dengan latar tempat, budaya, dan
waktu yang berbeda. Murakami juga membawa pembacanya untuk menyelami karakter
individu dalam novelnya, apalagi ia menuliskan dengan sangat rinci pengalaman
tetirah Naoko di tempat yang jauh dari keramaian. Aku sangat suka, meskipun aku
tak bisa menempatkan diriku di tokoh yang mana. Karena biasanya aku selalu
membayangkan dan menempatkan diriku menjadi salah satu tokohnya. Mungkin itu
yang membuat kali ini aku tidak baper. Entahlah, aku kurang paham.
Jika
kau membaca Norwegian Wood bagian hampir akhir, dan menemukan kalimat dari Ito yang berbunyi, “Perempuan yang memasuki usia 20 atau 21
tahun kehilangan sisi manis yang terlihat sebelumnya dan mulai terlihat
biasa-biasa saja atau bahkan menjurus ke menyebalkan...”, jangan percaya! Perempuan akan terlihat lebih menawan, karena ia mulai
merancang masa depannya di usia tersebut.
Aku sedang menunggu berpuluh-puluh lembar cerita yang sering tertunda penyampaiannya, namun aku perlu mengkonfirmasi satu hal. Kalimatnya ku ambil dari lembar-lembar terakhir novel itu, bagaimana jika aku sekarang bergerak hanya mengikuti kenangan saja, sedangkan sesuatu dalam diriku yang penting sudah lama mati?
Aku sedang menunggu berpuluh-puluh lembar cerita yang sering tertunda penyampaiannya, namun aku perlu mengkonfirmasi satu hal. Kalimatnya ku ambil dari lembar-lembar terakhir novel itu, bagaimana jika aku sekarang bergerak hanya mengikuti kenangan saja, sedangkan sesuatu dalam diriku yang penting sudah lama mati?
Petualangan
imajinasiku di Jepang lewat karya Murakami terpaksa berhenti di Tokyo 1970-an. Selain
karena konsentrasiku mulai pecah dengan gambaran tugas akhir yang belum
terjamah, dan memang ini sudah halaman terakhir dari novel. Stranger
King ikan jenis manfish dalam
akuarium yang sedang mabok, sebelum ia memutuskan untuk bunuh diri harus segera kuamati.
Semoga kau tidak jemu menekuri tulisan-tulisan ku.
PS: Stranger King, merupakan semacam Raja panggilan dalam konteks Nusantara menjelang masuknya periode kolonial Hindia-Belanda. Sedangkan Historiografi, merupakan rekonstruksi sejarah berdasar karya sejarah pada masa penulisannya.
Jujur saja aku terbengong-bengong dengan hampir sepuluh nama penulis klasik masuk dalam karya ini. Ada Dante, Dostoyevsky, Shakespeare, Joseph Conrad, Charles Dickens, Trauman Capote, Scott Fitzgerald, John Updike, Raymond Chandler. selain sastrawan ia juga memasukkan unsur musik, puluhan judul lagu (juga) The Beatles dan Rolling Stone ada.
Semoga kau tidak jemu menekuri tulisan-tulisan ku.
PS: Stranger King, merupakan semacam Raja panggilan dalam konteks Nusantara menjelang masuknya periode kolonial Hindia-Belanda. Sedangkan Historiografi, merupakan rekonstruksi sejarah berdasar karya sejarah pada masa penulisannya.
Jujur saja aku terbengong-bengong dengan hampir sepuluh nama penulis klasik masuk dalam karya ini. Ada Dante, Dostoyevsky, Shakespeare, Joseph Conrad, Charles Dickens, Trauman Capote, Scott Fitzgerald, John Updike, Raymond Chandler. selain sastrawan ia juga memasukkan unsur musik, puluhan judul lagu (juga) The Beatles dan Rolling Stone ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar