Jumat, 27 Mei 2016

Narasi Pembangun Paralelisme Cerita dalam “1Q84”





Akhir-akhir ini musim tak menentu. Kadang cerah sepanjang hari, tak jarang pula rintik hujan yang rapat mengguyur bumi pada sore hari. Seperti lagu dari Maluku “Waktu Hujan Sore-sore”. Masih ingat liriknya?
“Waktu hujan sore-sore
Kilat sambar pohon kanari
E jujaro deng mongare
Mari dansa dan manari...”
Bikin saya pengen hujan-hujan, sambil main ikutan nari. Mungkin. Bukan sambil berkendara yang kerap bikin masuk angin. Sementara aksi mogok, saya tangguhkan dulu. Kali ini saya bakalan cerita, tentang karya Murakami (lagi). Tentang pararelisme, alur cerita, dan narasi panjang yag tak harus disimpulkan.
Jadi, niatnya adalah memikirkan rumusan masalah untuk tugas-tugas akhir semester yang disambi dengan baca novel. Kenyataannya niat terbalik, 1Q84 habis selama tiga hari. Sedangkan buku referensi dari M.C Ricklefs masih anteng di rak buku selama 2 minggu.  Jilid pertama 1Q84 dengan bayangan angka 9 dibalik hurf Q, ia menulis dengan sudut pandang dua tokoh. Aomame (wanita) dan Tengo (laki-laki), dengan karakter yang menurut saya amat bertolak belakang. Aomame yang berdarah dingin, karena berkaitan dengan profesinya. Tengo yang lemah lembut (mungkin), dan punya kemampuan komunikasi yang baik. Yang asik adalah keduanya pandai memainkan logika. Apalagi Tengo bisa memahami bahasa matematika, jadi guru matematika. Pikirannya logis dan terarah. Kemampuan matematikanya membawa berkah dengan kemampuannya mengolah kata-kata menjadi sebuah cerita maupun novel. Kalo saya hidup di zaman yang sama, rupanya saya mau jadi muridnya. Dari alur ceritanya, Murakami selalu bisa membuat kejutan pada setiap lembarnya. Namun beberapa alur masih bisa ditebak.
Tentang paralelisme, ini istilah yang baru saya ketahui dari sebuah film Taiwan, berjudul  You Are the Apple of My Eye. Bahwa peristiwa di atas bumi ini berjalan sejajar, ada hukum sebab akibat dari belahan wilayah lain yang mempengaruhi kegiatan di belahan wilayah lainnya. Di kuliah sejarah, ternyata ada kajian tentang paralelisme peristiwa. Salah satunya adalah J.C. Van Leur yang menuliskannya dalam buku yang berjudul Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History. Ia mengusung konsep global history yang mengedepankan peran dan pengaruh suatu wilayah terhadap wilayah lain. Ia menggunakan gambaran perdagangan di Nusantara pada abad 18. Sayangnya saya belum khatam baca buku itu. Peristiwa paralel yang sering didengungkan untuk sebuah contoh adalah meletusnya Tambora (1815) yang berdampak pada kekalahan pasukan Napoleon dalam perang terakhirnya. 
Untuk saat ini, saya masih percaya kalau peristiwa yang terjadi bukan karena kebetulan. Sekalipun dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan kehidupan antara Tengo dan Aomame dalam novel Murakami ini. Murakami dengan amat pandai menggiring pembaca dalam sebuah peristiwa besar dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh sebuah sekte di Jepang. (hubungan penjelasan dan contohnya membingungkan yak?). Intinya memang ada narasi besar yang ingin diungkap.
Perihal isi cerita 1Q84, saya seperti baca novel fiktif petualangan, mungkin bisa dibayangkan novel teenlit Luna Torashingu dengan (kalau tidak salah) trilogi Mawar Merah- nya. Semacam permainan detektif  dan penemuan harta karun dengan tempo cerita yang cepat, gitu. Sialnya, saya malah merasa tidak diburu waktu ketika membaca dan bisa tuntas dalam tiga hari. Saya seolah ikut dalam setiap penyelidikan yang dilakukan Aomame. Kadang juga merasa seolah ikut duduk dan mendengarkan percakapan antara Tengo dengan seorang gadis penutur cerita. Jika dibandingkan dengan novel yang baca sebelumnya Norwegian Wood, jujur saja bingung harus cerita gimana. Yang menarik di 1Q84 ini adalah runtutan peristiwa sejarahnya. Banyak informasi yang didapatkan pasca kekalahan Jepang dalam PD II, perihal kebangkitan ekonominya, seragam,  senjata yang digunakan oleh polisinya dan hal lain. Meskipun karya fiksi, saya pengen kroscek kebenaran peristiwanya. Oh iya, dosen saya sempat nyeletuk pada pertemuan terakhir kuliah semester ini. “mayoritas yang dikaji dari suatu peristiwa pembunuhan adalah motif dan hubungan antara pelaku dan korban. Jarang sekali yang membahas perihal senjata yang diproduksi massal untuk pembunuhan,” (dalam gambaran kasus pembunuhan ini yang digunakan adalah pistol).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...