|
Tempatnya terlalu menggoda untuk tidak disinggahi. |
Semester
ini tak banyak bertemu orang-orang baru. Hanya bisa dihitung dengan jari,
karena ruang gerak amat terbatas. Saya harap hanya berlaku disemester ini saja.
Berbeda
dengan semester ganjil lalu, yang secara tak sengaja bertemu dengan orang-orang
baru dari berbagai latar belakang budaya, berbagai negara, berbagai pengalaman
yang datang bertubi-tubi. Yang paling berkesan adalah pertemuan dengan seorang
pelukis muda asli Bali, yang mengenyam pendidikan dan memperdala ilmunya di ISI
Yogyakarta. Pertemuan yang tak direncanakan itu bermula ketika penyakit iseng
berkunjung ke tempat pameran sedang kambuh. Sebut saja lokasinya di Bentara
Budaya Yogyakarta, salah satu cabang humas Kompas Gramedia yang berada di jalan
Suroto, Kotabaru, Yogyakarta. Tak jauh jaraknya dari kampus. Waktu itu sekitar
akhir bulan Agustus, saya pergi. Sendirian. Karena kalo rame-rame pasti ribet.
Dan kala itu saya masih polos, selalu tidak kebagian booklet agenda tiap
sebulan sekali tentang acara pameran yang bakal diadakan di sana. Kebetulan
lagi, baner yang segede gaban itu memampang tulisan “Anggap Saja Rumah
Sendiri”. Penasaran bakalan sepengen pulang yang kayak gimana, maka masuklah
saya kedalam ruang pameran itu.
Saya
melongo, kesan pertama pamerannya asik. Karena merupakan pameran campuran, ada
instalasi, lukis, dan ukiran. Kalau tidak salah, saya lupa. Saya selalu
mengitari ruangan segi empat tersebut searah dengan jarum jam. Dari kiri ke kanan.
Di jajaran separoh tembok bagian kiri, terdapat lukisan dengan warna-warna
cerah. Komposisi kuning, merah, hijau, coklat, dan warna alam lainnya pas. Yang
menarik adalah terdapat lukisan wajah Monroe, Kartini, dan Bunda Theresa dalam
satu bingkai dikelilingi oleh manusia-manusia kecil berkaki dan berlengan
panjang. Lukisan kedua yang bersanding dengan lukisan ketiga wanita itu juga
menampilkan sosok wanita yang meletakkan sajen diatas kepalanya, sambil
menyanyikan lagu Naff, Mengapa begini...
lagi-lagi dikelilingi oleh manusia-manusia kecil itu. Dan lukisan ketiga yang
sedang digarap, masih berupa sket di kanvas. Karena waktu itu suasana ruang
pameran tak terlampau banyak pengunjung, saya dengan muka tebal ngajak kenalan
pelukisnya, ngobrol. Saya lupa mengapa objek lukisannya adalah wanita yang
dikelilingi oleh manusia-manusia kecil itu. Tak terlalu memperhatikan. Yang
sempat saya tangkap adalah, bahwa hidup di perantauan itu harus menyesuaikan
diri tanpa mencerabut akar-akar budaya yang melekat dalam diri kita. Bahasa
ringkasnya adalah, jangan sampai kehilangan jati diri.
Beralih
kami ke bagian tembok tengah pameran. Disana terdapat instalasi balok-balok
transparan berisi foto rontgen tulang
yang patah atau bergeser dari sendinya. Mengelilingi sebuah motor yang beberapa
bagiannya ringsek. Sebuah narasi kejadian kecelakaan dan penanganan di rumah
sakit disajikan. Tak lupa lengkap dengan pakaian yang dikenakan korban waktu
kejadian. Saya sedikit ngilu dan sempat kehabisan napas kala itu. Saya sempat
mikir kenapa harus ada hal semacam itu di pemeran seni? Ternyata itu pengalaman
pribadinya salah satu pelukisnya. Dan sisi tembok sebelah kanan terpasang
relief timbul, rumah, pohon, dari kayu. Lengkap dengan tulisan Sejauh Mata
Memandang. Sesaat saya kangen rumah yang dekat dengan hutan. Sama seperti saat
ini, saya rindu rumah.
Setelah
itu percakapan kami ngalor-ngidul,
gak jelas juntrungnya, sempat bahas babad Bali. Kebetulan saat itu saya lagi
belajar tentang babad dan sejarah Indonesia sampai abad-16. Beberapa hal
tentang Bali kami perbincangkan. Pertemuan kali itu bermuara pada undangan
untuk menghadiri pameran keduanya di Jogja Galery, beberapa bulan kedepan
setelah pameran ini usai. Berkat undangannya kali itu, saya diperkenalkan
kepada orang Belanda bernama Erick Kampherbeek yang lagi ada proyek re-inventarisasi
bangunan kolonial sepanjang The Groote Postweg
(jalan Anyer-Panarukan). Menyusuri jalan 2500 km pulang-pergi menggunakan
sepeda angin. Entah waktu itu ada peristiwa apa sehingga beberapa noni dan sinyo
datang menelusuri bekas perjuangan kakeknya di Hindia-Belanda. Ada 3 orang yang
saya ketahui kala itu.
Dan
pengalaman bertemu orang baru adalah agenda Pasar Kangen Yogyakarta. Rame-rame,
bersama beberapa teman kelas. Mata saya langsung jelalatan cari benda
unyu-unyu. Akhirnya saya menemukan tumpukan postcard
yang harganya tidak terlalu murah sebenarnya, dan sebuah majalah tentang negeri
kincir angin, yang ingin banget saya kunjungi. Entah kapan. Ternyata, sebelah
saya ada seorang bapak yang sama-sama asyik cari postcard. Saya gak berani sok asik nanya-nanya. Tiba-tiba bapaknya
nyeletuk, “mbak suka koleksi postcard lama?”. Saya sempat bengong sejenak dari
aktivitas seleksi tumpukan kertas itu. “enggak pak, saya cuma tertarik dengan
bangunannya dan beberapa pemandangan alamnya dari berbagai negara. Kali aja
saya bisa kesana suatu saat nanti,” saya menjawab dengan mata tertuju pada postcard dengan khusyuk. Ia mengaku
mengenal seseorang yang dulunya gemar mengkoleksi postcard dan akirnya berhasil mendatangi tempat-tempat dan
membandingkan dengan foto yang ada di postcard.
Bapaknya sempat menyebutkan nama, sayangnya ingatan saya buruk.
|
Saya selalu terkagum-kagum dengan Bali. Baik dari topografinya, panoramanya, kebudayaannya, maupun perempuannya yang berparas ayu. Semuanya, mereka teramat anggun. Juga berserak postcard Gereja Basilica di Roma, Town Hall di Copenhagen, dan sepotong senja di Tanah Lot. |
Itu
sekilas pertemuan dengan orang-orang baru, semester lalu. Sudah bilang
sebelumnya kan, kalau perjumpaan dengan orang-orang baru semester ini berkurang
amat banyak. Akibatnya, saya seolah ingin lari sana-sini mencari hal baru.
Tapi, rasa- rasanya masih terkungkung. Meskipun kejutan selalu ada hampir
setiap hari, semenjak saya rutin menulis di blog. Seperti hari ini. Seperti saat
ini!
Pertemuan
dengan orang baru kali ini serasa lebih menyesakkan. Sepanjang hari jantung
saya berdebam—debam gak keruan, lebih dari rasanya ketemu gebetan. Pertemuan
dengannya melalui pesan linimasa membuat saya ingin kembali menikmati sastra
klasik Indonesia, yang sezaman dengan Ahmad Tohari, Umar Kayam, Y.B. Mangun
Wijaya, Nh. Dini (lagi). Memahami lebih dalam setiap larik kata-katanya dan
mengaitkan dengan ilmu sejarah. Karena bahagia saya sudah terlalu banyak meluap
ketika bertemu dengan naskah terjemahan. Ini semacam pengingat agar saya mulai
rajin baca tulisan tentang Indonesia.
Oh
iya, karena jantung saya perlu ditertibkan agar tak mengganggu kinerja yang
lain, saya ingin menghilang sejenak. Tugas-tugas akan segera
didistribusikan, dan dirampungkan. Biar saya nanti bisa menekuri tiap baris
kata yang ada dalam novel bertema putih semester ini, yang mulai berjejal di
rak saya. Secepatnya. Melahap setiap buku, dan mengejar keterlambatan yang
telah berjarak menganga. Dengan tenang, harusnya.