Selasa, 21 Juni 2016

Percakapan-percakapan Menjelang Tengah Malam



Persis seminggu ini luar biasa sensitif dengan hawa dingin, mendung dan hujan. Mengingkari pernyataan bahwa saya rindu bermain dengan hujan. Saya bingung harus bercerita kepada manusia yang seperti apa, karena saya rasa sudah terlalu jauh dari Tuhan.  Saya mulai tidak bisa menikmati cuitan burung, terutama yang berasal dari pucuk beringin. Membuat kuping saya gerah. Mungkin berkaitan dengan postingan di blog saya sebelumnya perihal seorang gadis tuli yang menari seperti orang kesurupan dibawah pohon beringin. Suasana mendung juga rintik hujan membuat saya tak nyaman. Karena mungkin ini musim pancaroba yang dinginnya beda nol koma beberapa derajad dari suhu dingin di hari-hari biasanya. Saya merasa kedinginan. Seperti malam kemarin-kemarin  yang telah diguyur butir-butir air sepanjang sore. Bukan perkara kekurangan gula dalam darah, namun rupanya hati saya yang mulai dingin mengeras.
Satu minggu pula, saya berkomunikasi secara intim dengan para perempuan. Percakapan kami selalu menyentil hati. Selalu begitu, mungkin karena saya cukup lama tidak berkomunikasi secara terbuka dengan perempuan lain.
Percakapan pertama, dengan wanita yang kerap saya panggil madame. Ibu, peramal sekaligus ahli nujum paling ulung. Percakapan yang gamblang perihal masa depan, saya sempat tak percaya membicarakan diluar rutinitas saat ini. Bagaimanapun saya tak dapat mengelak dari pertanyaannya. Tak akan pernah bisa, sepertinya ikatan batin kami masih cukup berkait erat.
Sedangkan percakapan kedua hadir setelah mimpi-mimpi pendek yang kerap datang menjelang dini hari. Kebetulan, beberapa hari sebelum mimpi itu mampir saya mengunjungi pameran yang ada patung Cut Nyak Dien yang duduk meringkuk. Seketika itu saya ingin memeluk perempuan. Entah perempuan yang mana saja. Yang membuat hati saya bahagia, maupun yang sakit hati dengan kelakuan saya.
Saya cuma kepikiran, perempuan-perempuan yang berada di lingkaran saya merupakan orang-orang spesial. Yang punya cara-caranya sendiri untuk mengukuhkan hati. Semoga saya bisa menyerap hal-hal baik dengan cara yang baik. Pengharapan yang klise, namun perlu diusahakan secara perlahan.

Untuk Ibu, sebentar lagi saya pulang. Tak usah membuatkan makanan spesial, karena saya akan belajar membuatnya. Untaian kata yang dirapal membumbung melewatti genting tiap malam menjadi selimut paling hangat yang bisa saya nikmati, mungkin hingga saat ini.

Kamis, 09 Juni 2016

Pertemuan dengan Orang-orang Baru

Tempatnya terlalu menggoda untuk tidak disinggahi.


Semester ini tak banyak bertemu orang-orang baru. Hanya bisa dihitung dengan jari, karena ruang gerak amat terbatas. Saya harap hanya berlaku disemester ini saja.
Berbeda dengan semester ganjil lalu, yang secara tak sengaja bertemu dengan orang-orang baru dari berbagai latar belakang budaya, berbagai negara, berbagai pengalaman yang datang bertubi-tubi. Yang paling berkesan adalah pertemuan dengan seorang pelukis muda asli Bali, yang mengenyam pendidikan dan memperdala ilmunya di ISI Yogyakarta. Pertemuan yang tak direncanakan itu bermula ketika penyakit iseng berkunjung ke tempat pameran sedang kambuh. Sebut saja lokasinya di Bentara Budaya Yogyakarta, salah satu cabang humas Kompas Gramedia yang berada di jalan Suroto, Kotabaru, Yogyakarta. Tak jauh jaraknya dari kampus. Waktu itu sekitar akhir bulan Agustus, saya pergi. Sendirian. Karena kalo rame-rame pasti ribet. Dan kala itu saya masih polos, selalu tidak kebagian booklet agenda tiap sebulan sekali tentang acara pameran yang bakal diadakan di sana. Kebetulan lagi, baner yang segede gaban itu memampang tulisan “Anggap Saja Rumah Sendiri”. Penasaran bakalan sepengen pulang yang kayak gimana, maka masuklah saya kedalam ruang pameran itu.
Saya melongo, kesan pertama pamerannya asik. Karena merupakan pameran campuran, ada instalasi, lukis, dan ukiran. Kalau tidak salah, saya lupa. Saya selalu mengitari ruangan segi empat tersebut searah dengan jarum jam. Dari kiri ke kanan. Di jajaran separoh tembok bagian kiri, terdapat lukisan dengan warna-warna cerah. Komposisi kuning, merah, hijau, coklat, dan warna alam lainnya pas. Yang menarik adalah terdapat lukisan wajah Monroe, Kartini, dan Bunda Theresa dalam satu bingkai dikelilingi oleh manusia-manusia kecil berkaki dan berlengan panjang. Lukisan kedua yang bersanding dengan lukisan ketiga wanita itu juga menampilkan sosok wanita yang meletakkan sajen diatas kepalanya, sambil menyanyikan lagu Naff, Mengapa begini... lagi-lagi dikelilingi oleh manusia-manusia kecil itu. Dan lukisan ketiga yang sedang digarap, masih berupa sket di kanvas. Karena waktu itu suasana ruang pameran tak terlampau banyak pengunjung, saya dengan muka tebal ngajak kenalan pelukisnya, ngobrol. Saya lupa mengapa objek lukisannya adalah wanita yang dikelilingi oleh manusia-manusia kecil itu. Tak terlalu memperhatikan. Yang sempat saya tangkap adalah, bahwa hidup di perantauan itu harus menyesuaikan diri tanpa mencerabut akar-akar budaya yang melekat dalam diri kita. Bahasa ringkasnya adalah, jangan sampai kehilangan jati diri.
Beralih kami ke bagian tembok tengah pameran. Disana terdapat instalasi balok-balok transparan berisi foto rontgen tulang yang patah atau bergeser dari sendinya. Mengelilingi sebuah motor yang beberapa bagiannya ringsek. Sebuah narasi kejadian kecelakaan dan penanganan di rumah sakit disajikan. Tak lupa lengkap dengan pakaian yang dikenakan korban waktu kejadian. Saya sedikit ngilu dan sempat kehabisan napas kala itu. Saya sempat mikir kenapa harus ada hal semacam itu di pemeran seni? Ternyata itu pengalaman pribadinya salah satu pelukisnya. Dan sisi tembok sebelah kanan terpasang relief timbul, rumah, pohon, dari kayu. Lengkap dengan tulisan Sejauh Mata Memandang. Sesaat saya kangen rumah yang dekat dengan hutan. Sama seperti saat ini, saya rindu rumah.
Setelah itu percakapan kami ngalor-ngidul, gak jelas juntrungnya, sempat bahas babad Bali. Kebetulan saat itu saya lagi belajar tentang babad dan sejarah Indonesia sampai abad-16. Beberapa hal tentang Bali kami perbincangkan. Pertemuan kali itu bermuara pada undangan untuk menghadiri pameran keduanya di Jogja Galery, beberapa bulan kedepan setelah pameran ini usai. Berkat undangannya kali itu, saya diperkenalkan kepada orang Belanda bernama Erick Kampherbeek yang lagi ada proyek re-inventarisasi bangunan kolonial sepanjang The Groote Postweg (jalan Anyer-Panarukan). Menyusuri jalan 2500 km pulang-pergi menggunakan sepeda angin. Entah waktu itu ada peristiwa apa sehingga beberapa noni dan sinyo datang menelusuri bekas perjuangan kakeknya di Hindia-Belanda. Ada 3 orang yang saya ketahui kala itu.
Dan pengalaman bertemu orang baru adalah agenda Pasar Kangen Yogyakarta. Rame-rame, bersama beberapa teman kelas. Mata saya langsung jelalatan cari benda unyu-unyu. Akhirnya saya menemukan tumpukan postcard yang harganya tidak terlalu murah sebenarnya, dan sebuah majalah tentang negeri kincir angin, yang ingin banget saya kunjungi. Entah kapan. Ternyata, sebelah saya ada seorang bapak yang sama-sama asyik cari postcard. Saya gak berani sok asik nanya-nanya. Tiba-tiba bapaknya nyeletuk, “mbak suka koleksi postcard lama?”. Saya sempat bengong sejenak dari aktivitas seleksi tumpukan kertas itu. “enggak pak, saya cuma tertarik dengan bangunannya dan beberapa pemandangan alamnya dari berbagai negara. Kali aja saya bisa kesana suatu saat nanti,” saya menjawab dengan mata tertuju pada postcard dengan khusyuk. Ia mengaku mengenal seseorang yang dulunya gemar mengkoleksi postcard dan akirnya berhasil mendatangi tempat-tempat dan membandingkan dengan foto yang ada di postcard. Bapaknya sempat menyebutkan nama, sayangnya ingatan saya buruk.

Saya selalu terkagum-kagum dengan Bali. Baik dari topografinya, panoramanya, kebudayaannya, maupun perempuannya yang berparas ayu. Semuanya, mereka teramat anggun. Juga berserak postcard Gereja Basilica di Roma, Town Hall di Copenhagen, dan sepotong senja di Tanah Lot.

Itu sekilas pertemuan dengan orang-orang baru, semester lalu. Sudah bilang sebelumnya kan, kalau perjumpaan dengan orang-orang baru semester ini berkurang amat banyak. Akibatnya, saya seolah ingin lari sana-sini mencari hal baru. Tapi, rasa- rasanya masih terkungkung. Meskipun kejutan selalu ada hampir setiap hari, semenjak saya rutin menulis di blog. Seperti hari ini. Seperti saat ini!
Pertemuan dengan orang baru kali ini serasa lebih menyesakkan. Sepanjang hari jantung saya berdebam—debam gak keruan, lebih dari rasanya ketemu gebetan. Pertemuan dengannya melalui pesan linimasa membuat saya ingin kembali menikmati sastra klasik Indonesia, yang sezaman dengan Ahmad Tohari, Umar Kayam, Y.B. Mangun Wijaya, Nh. Dini (lagi). Memahami lebih dalam setiap larik kata-katanya dan mengaitkan dengan ilmu sejarah. Karena bahagia saya sudah terlalu banyak meluap ketika bertemu dengan naskah terjemahan. Ini semacam pengingat agar saya mulai rajin baca tulisan tentang Indonesia.

Oh iya, karena jantung saya perlu ditertibkan agar tak mengganggu kinerja yang lain, saya ingin menghilang sejenak. Tugas-tugas akan segera didistribusikan, dan dirampungkan. Biar saya nanti bisa menekuri tiap baris kata yang ada dalam novel bertema putih semester ini, yang mulai berjejal di rak saya. Secepatnya. Melahap setiap buku, dan mengejar keterlambatan yang telah berjarak menganga. Dengan tenang, harusnya. 

Selasa, 07 Juni 2016

Mengusahakan Mimpi-mimpi Esok Hari


Sebelumnya saya hanya berani bermimpi, masih terselip ragu untuk menapaki pijakan-pijakannya, tapi akhir-akhir ini berbeda.
Ada yang mesti diusahakan dengan serius untuk mencapai mimpi-mimpi itu. Dan saya , harusnya masih bisa baca novel sastra.
Sebelumnya, mimpi-mimpi saya hanyalah onggokan rangka. Yang stagnan dan hanya ada di angan-angan. Ujung-ujungnya mangkrak. Kali ini saya baru bisa membuka diri untuk berani memperbaiki dan menambal berbagai sisi kerangka tersebut. 
Proses menapaki hari, pertemuan sekaligus perbincangan dengan orang-orang baru membuat saya dekat dengan mimpi tentang masa mendatang yang sedang saya buat.


"...Kali ini aku berani bermimpi
Yang sebelumnya hanya bilang "entah kapan lagi"
Bersama kamu, aku tidak lagi takut menjadi pemimpi
Karena segalanya terasa dekat, segala sesuatunya ada, segala sesuatunya benar
Dan bumi, adalah sebagian debu dibawah telapak kaki kita."*


*Terinspirasi dari W.B Yeats dalam tulisan Dee.


Minggu, 05 Juni 2016

Murakami, 61

"...Aku tak bisa melakukan apa-apa kepadamu, tak bisa pula menderetkan kata-kata yang indah untukmu. Lagi pula, kita sama-sama tidak terlalu saling mengenal.


Tetapi, jika kau memberi waktu, aku akan melakukan yang terbaik sehingga mungkin kita akan bisa saling mengetahui lebih baik lagi.


Aku ingin bertemu denganmu, dan berbicara panjang. Sejak aku kehilangan, aku kehilangan orang yang bisa dijadikan teman bicara secara jujur dan aku kira kamu pun mengalami hal yang sama.


Aku kira kita saling membutuhkan lebih daripada yang kita duga."

Sabtu, 04 Juni 2016

Tentang Potongan-potongan Senja


Saya cuma mau sekadar cerita tentang senja, untuk mengurangi sakit kepala yang tak jelas mulanya. Saya tidak bisa saban hari ketemu langit sore. Bisa karena terkungkung dalam ruangan, bisa juga karena mendung ataupun hujan. Syukur, hampir seminggu terakhir sering berada di luar ruangan dan langit bisa berkompromi dengan bumi. Jadi saya bisa menikmati senja dengan cuma-cuma.
Ada beberapa alasan yang membuat saya menyukai senja. Saya akan coba menguraikannya. Senja itu penanda dari alam kalau sudah waktunya pulang, tak jarang kita menjumpai hewan-hewan unggas, serangga yang pulang ke peraduannya ketika senja datang. Begitu pula dengan manusia bukan?  Bagiku juga, senja adalah pulang. Penanda alami sejak kecil ketika main dengan teman-teman di lapangan, untuk segera pulang ke rumah sebelum sendal melayang ke belakang betis kaki.
 Semakin bertambah usia, saya tidak bisa diam-diam mengagumi senja. Alasannya baru saya temukan beberapa menit yang lalu. Gradasi warna lazuardi yang dibatasi sebagian awan berwarna lembayung  itu sendu menghangatkan. Tidak menyilaukan seperti matahari yang lagi ramah ketika langit cerah. Entah ada relasi apa antara melihat langit sore dengan perubahan emosi. Tapi saya rasa itu dopamin secara tidak langsung untuk menetralkan perasaan suka yang meluap-luap, maupun sedih campur jengkel. Seperti perasaan saya hari ini yang kejebak macet karena salah milih jam pulang yang bebarengan jam pulang kantor.
Ah, tentang gradasi saya baru dapat info bagaimana hal itu bisa terjadi. Jadi gini, spektrum warna pembentuknya berbeda level. Ketika siang hari pancaran spektrum warna di atmosfer akan didominasi oleh warna-warna yang kuat, misalnya biru dan sedikit ungu. Sedangkan warna senja didominasi oleh warna yang spektrum pancarannya lemah, seperti merah jambu, kuning, ataupun merah. Meskipun demikian, kondisinya sering dijumpai warna biru masih bertengger nyaman di singgasana senja. Kemudian perlahan menghitam karena rotasi bumi mengharuskan matahari berbagi sinar ke belahan bumi yang lain.
Saya juga suka kepada senja, karena mereka menyajikan kemolekan dengan cara yang tidak membeda-bedakan warna semula. Semuanya terkena sinar keemasan, kemudian dengan anggunnya mereka menyajikan siluet. Hitam, bersanding dengan spektrum warna yang lemah. Tidak ada yang dominan, keduanya indah. Siluet apa saja yang ada di atas bumi. Inilah salah satu alasan saya bisa menyukai secara diam-diam.

Kadang rasa bahagia saya meluap ketika menemui senja, karena kekhawatiran tidak bisa menikamtinya dengan mata normal. Agak sedikit kesusahan ketika harus  menikmati malam karena banyaknya kelebatan lampu kendaraan. Itu saja ceritak saya tentang potongan senja kali ini. Mungkin kamu punya cerita yang lebih menarik ataupun menambahi alasan-alasan yang sudah saya ketik sedemikian panjang. Karena indah tidak harus dinikmati sendirian bukan? 

Sindrom Parkinson







Siang hari dengan langit biru.  Minus cuitan burung yang bandel nangkring di pucuk pohon gelitu, saya iseng mampir di salah satu situs berita online. Berita pertama dengan foto Muhammad Ali (seorang petinju petinju dunia ternama) nampang dengan tangan terkepal, khas gaya seorang petinju. Potret wajahnya terlihat sumringah, tapi sayangnya itu kabar duka. Menurut berita, tadi pagi ia wafat. Tidak terlalu terbawa emosi. Karena saya gak paham tentang dunia pertinjuan dan alasan-alasan yang membuat ia mendapatkan gelar dunia. Yang saya tahu orang menang dalam sebuah tinju, adalah ketika salah satu dari mereka menonjok lawannya hingga terkapar. Itu saja. Bicara tentang tonjok menonjok saya pengen banget nonjok samsak. Hari ini saja. Tapi, kali ini saya lebih penasaran (kembali) tentang sindrom parkinson.
Sindrom parkinson/ parkinson ini merupakan “penyakit orang tua” yang menyerang sistem sirkuit dalam otak. Pasalnya, beberapa artikel menyebutkan 1 banding 250 orang berusia diatas 60 tahun berpotensi terkena sindrom ini. Penyakit yang mendera Ali selama hampir 30 tahun hingga tutup usia di angka 74, dan saya baru mengetahui nama penyakit ini pada 2007 lewat salah satu artikel di majalah Tempo. Edisi berapa, saya lupa. Ternyata parkinson ini dipengaruhi oleh dopamin, salah satu hormon dalam tubuh yang memberi dorongan kepada tubuh untuk aktif bergerak. Kalau lagi malas, mungkin kadar dopamin lagi rendah. Oh iya, perihal dopamin masih ingat kalau buah pisang bisa menambah cadangan dopamin? Sayangnya konsumsi pisang terhalang dengan harga yang ‘sedikit’ tinggi. kalo pulang ke rumah saya bakal lebih leluasa makan buah pisang, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Gejala umum yang sering disebut-sebut adalah tremor separuh badan, yang kemudian diikuti oleh postur tubuh yang bengkok. Tremor yang terlampau sering, akan mempengaruhi kegiatan menulis dengan tangan. Akibatnya si penderita semakin kekurangan kegiatan.  Lebih parahnya, ada degradasi ingatan dalam otak. Semacam pikun dan gejala penyakit Alzheimer. Ali dikabarkan terkena parkinson karena terkena dampak jangka panjang oleh kegiatan olahraga tinju yang telah membesarkan namanya itu. Mungkin, area kepalanya sering menerima pukulan keras. Selain karena kerusakan otak, faktor usia, dan keturunan, faktor alam dan makanan yang dikonsumsi pun ikut andil memperburuk kondisi ini. Katanya, konsumsi makanan dengan kadar pestisida tinggi juga berpotensi menimbulkan penyakit ini.
Kabarnya, penyakit ini baru bisa terdeteksi menjelang usia senja. Belum lagi keterbatasan peralatan dan masih berkembangnya penelitian sindrom parkinson ini belum menemukan obat yang manjur. Mayoritas penderitanya tutup usia.
Kita tidak pernah tahu kan, kapan hitungan usia akan berhenti? Kalau inisiatif untuk megusahakan tubuh agar tetap sehat tidak terlalu mahal. Mengapa masih ragu untuk memulainya? Semoga ingatan-ingatan kita tetap rapi sampai nanti entah usia kita masuk hitungan keberapa. Kali aja ntar masih ada orang yang butuh data sejarah tentang tahun ini dan hanya bisa digali dengan bantuan sumber lisan.

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...