koridor bandara Kualanamu-Medan |
Deru mesin pesawat tinggal landas bak hujan yang
bergemuruh di gendang telinga. Penerbangan pertama, rasanya seperti berlari
kencang sembari merentangkan tangan kemudian melompat menangkap udara yang
terkumpul. Melambung, kemudian bergetar sebentar di seluruh badan pesawat. Selebihnya
hanyalah khayalan, tentang butiran air yang menggantung di udara, dan seolah
transportasi udara ini turut menggantung tanpa melaju. Padahal, kecepatannya
melampaui 800 km/jam. Sesekali terasa badan pesawat miring ke kiri dan sadar bergerak ketika dapat melihat
daratan dari ketinggian. Cuaca cerah, ditandai dengan teriknya matahari diatas
ketinggian 9215 mdpl. Gendang telinga serasa mengembang, ketika pilot menaikkan
ketinggian penerbangan.
Belum ada maskapai penerbangan yanglangsung
menghubungkan antara Jakarta-Aceh, maupun Yogyakarta-Aceh. Sehingga,
penerbangan kali ini dijadwalkan untuk transit di bandara Kualanamu,
Medan. Waktu transit sekitar 40 menit
habis dengan antrian panjang pengambilan tanda transit dan pengecekan ulang
barang bawaan. Rasanya seperti melintasi sirkuit balap motor. Dari ujung pintu ruang
transit, menuju pintu 6, kemudian balik lagi ke ujung pintu. Dibandingkan dengan
ruang tunggu penerbangan domestik di bandara Soetta, ruang tunggu bandara
Kualanamu terkesan lebih mewah. Lantai beralas karpet abu-abu, banyaknya
bangku, dan luas ruangan yang berkali lipat menjadi penanda. Satu hal yang
menarik di bandara Kualanamu adalah lift untuk difabel dengan design mininiatur rumah adat Batak. Atap
berwarna merah menarik perhatian dari dominasi tiang warna putih dan sinar
matahari yang masuk melalui jendela kaca.
Perjalanan berlanjut, kali ini teman perjalanan saya
adalah mahasiswi asal Aceh yang baru saja wisuda di Poltekes Medan, juga
seorang ibu berbadan tambun yang berasal dari Padang. Kami banyak bertukar
informasis perihal pengalaman kak Fitra selama magang di beberapa rumah sakit,
juga rekomendasi kuliner dan tempat wisata dari bu Ainun. Salah satu makanan
yang direkomendasikan adalah ayam “sampah” menurut bu Ainun, namun baru saja
saya baru tahu sebutannya adalah ayam tangkap.
Percakapan kami terhenti tatkala melihat kubah yang
didominasi warna hijau dan kuning di bandara Sultan Iskandarmuda- Banda Aceh. Menurut
cerita kak Fitra, bangunan lain di Banda Aceh identik dengan bentuk kubah dan
terdapat peraturan khusus bahwa bangunan tidak boleh melebihi tinggi masjid
raya Baiturrahman. Semacam kepercayaan tak boleh mendirikan bangunan yang lebih
tinggi daripada Siti hinggil di Yogyakarta. Katanya, sampai saat ini belum ada
yang berani melanggar aturan yang telah disepakati tersebut di bumi bagian Serambi
Mekah ini.
NB:
Mungkin saya akan lebih banyak bercerita tentang Aceh lewat tulisan yang lebih
berniat di sini selepas tuntas dai jeratan tugas :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar