Selasa, 15 November 2016

Menjejak Tanah Serambi Mekah #2

koridor bandara Kualanamu-Medan

Deru mesin pesawat tinggal landas bak hujan yang bergemuruh di gendang telinga. Penerbangan pertama, rasanya seperti berlari kencang sembari merentangkan tangan kemudian melompat menangkap udara yang terkumpul. Melambung, kemudian bergetar sebentar di seluruh badan pesawat. Selebihnya hanyalah khayalan, tentang butiran air yang menggantung di udara, dan seolah transportasi udara ini turut menggantung tanpa melaju. Padahal, kecepatannya melampaui 800 km/jam. Sesekali terasa badan pesawat miring ke kiri  dan sadar bergerak ketika dapat melihat daratan dari ketinggian. Cuaca cerah, ditandai dengan teriknya matahari diatas ketinggian 9215 mdpl. Gendang telinga serasa mengembang, ketika pilot menaikkan ketinggian penerbangan.

Belum ada maskapai penerbangan yanglangsung menghubungkan antara Jakarta-Aceh, maupun Yogyakarta-Aceh. Sehingga, penerbangan kali ini dijadwalkan untuk transit di bandara Kualanamu, Medan.  Waktu transit sekitar 40 menit habis dengan antrian panjang pengambilan tanda transit dan pengecekan ulang barang bawaan. Rasanya seperti melintasi sirkuit balap motor. Dari ujung pintu ruang transit, menuju pintu 6, kemudian balik lagi ke ujung pintu. Dibandingkan dengan ruang tunggu penerbangan domestik di bandara Soetta, ruang tunggu bandara Kualanamu terkesan lebih mewah. Lantai beralas karpet abu-abu, banyaknya bangku, dan luas ruangan yang berkali lipat menjadi penanda. Satu hal yang menarik di bandara Kualanamu adalah lift untuk difabel dengan design mininiatur rumah adat Batak. Atap berwarna merah menarik perhatian dari dominasi tiang warna putih dan sinar matahari yang masuk melalui jendela kaca.
Perjalanan berlanjut, kali ini teman perjalanan saya adalah mahasiswi asal Aceh yang baru saja wisuda di Poltekes Medan, juga seorang ibu berbadan tambun yang berasal dari Padang. Kami banyak bertukar informasis perihal pengalaman kak Fitra selama magang di beberapa rumah sakit, juga rekomendasi kuliner dan tempat wisata dari bu Ainun. Salah satu makanan yang direkomendasikan adalah ayam “sampah” menurut bu Ainun, namun baru saja saya baru tahu sebutannya adalah ayam tangkap.
Percakapan kami terhenti tatkala melihat kubah yang didominasi warna hijau dan kuning di bandara Sultan Iskandarmuda- Banda Aceh. Menurut cerita kak Fitra, bangunan lain di Banda Aceh identik dengan bentuk kubah dan terdapat peraturan khusus bahwa bangunan tidak boleh melebihi tinggi masjid raya Baiturrahman. Semacam kepercayaan tak boleh mendirikan bangunan yang lebih tinggi daripada Siti hinggil di Yogyakarta. Katanya, sampai saat ini belum ada yang berani melanggar aturan yang telah disepakati tersebut di bumi bagian Serambi Mekah ini.


NB: Mungkin saya akan lebih banyak bercerita tentang Aceh lewat tulisan yang lebih berniat di sini selepas tuntas dai jeratan tugas :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...