Persiapan serba terburu-buru. Satu list keinginan,
atau mungkin list kebutuhan telah tercapai dengan cara melarikan diri ke luar
pulau Jawa selepas semester 4. Pertengahan November harus sudah tiba di
Unsyiah-Banda Aceh. Ada ketakutan, ragu, cemas, dan was-was menyeruak menjadi
satu. Namun, pejalanan yang mau tak mau serba dadakan tersebut menuai kata harus. Sebuah konsekwensi dari sebuah pilihan. Izin kuliah selam seminggu, padahal
jatah bolos sudah habis semenjak kuliah paruh pertama.
Perjalanan panjang ini dimulai pada Sabtu sore
(12/11) yang cukup terik dari stasiun Lempuyangan menuju stasiun Pasar Senen.
Selama 8 perjalanan darat ini diwarnai dengan percakapan dengan dua penumpang
lain. Di sebelah kiri kursi saya adalah seorang bapak yang telah memasuki usia
senja, alumnus ITB jurusan Teknik arsitektur, 45 tahun silam. Saya berdecak,
agak kagok untuk memulai sebuah percakapan. Dan seseorang lagi yang duduk
berseberangan dengan saya adalah mahasiswa semester 7 Universitas Respati
Yogyakarta, jurusan Gizi Kesehatan. Percakapan mulai mengalir ketika kami
bercerita tentang kegiatan kampus. Perihal UKM, sistem pembayaran uang kuliah,
dan mata kuliah yang sedang dipelajari.
Itu percakapan pada separuh perjalanan pertama,
selanjutnya paling-paling terlelap dan sesekali menguping pembicaraan orang di
seberang lorong. Saya terbangun ketika menjelang magrib dan kereta memasuki
wilayah Banyumas. Ada sebidang lahan kosong yang menyajikan senja seperti di
bibir pantai. Dan matahari keemasaan terpantul
dari permukaan air yang tenang. Sayangnya, saya tak mengabadikan dengan
tepat.
Teman seperjalanan yang turun pertama adalah mas
mahasiswa, ketika kereta berhenti di stasiun Prujakan dia berpamitan terlebih
dahulu kepada kami. Sedangkan bapak yang tak saya ketahui namanya menemani
perjalanan hingga tengah malam sampai kereta berhenti di Pasar Senen. Di
stasiun Pasar Senen, saya sempat kebingungan untuk memilih kendaraan umum
menuju bandara Soekarno-Hatta. Sebab ketika bertanya ke petugas, kereta yang
menuju stasiun Duri baru beroperasi selepas pukul 7. Ini penerbangan pertama
saya, sehingga rasa takut ketinggalan bergelayut manja di sudut pikiran. Opsi lain
menuju bandara adalah mengunakan bus Damri yang berangkat dari stasiun Gambir sejak
pukul 3 dinihari. Sempat tepikir untuk jalan kaki dari Pasar Senen menuju
Gambir yang berjarak 3 KM itu, tetapi kata orang terlalu riskan.
Supir taksi menawarkan tarif Pasar Senen- Soetta
seharga 150.000 rupiah, sedangkan setelah googling harusnya bisa didapat dengan
harga murah ketika kita bisa mengakses dari stasiun Gambir dengan ojek. Tarif Pasar
Senen-Gambir 10.000 rupiah, dan bus Damri seharga 40.000 rupiah. Saya baru ngeh bahwa Gambir itu dekat sekali
dengan Monumen Nasional. Selama satu jam saya mantengin cahaya biru yang terpancar di tugu dengan ujungnya yang
berwarna keemasan. Subuh saya ditemani dengan udara dingin bandara, serta
rintik hujan disela mencari musholla yang lumayan susah dicari di bandara yang
katanya paling sibuk se- Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar