Senin, 14 November 2016

Menjejak Tanah Serambi Mekah #1


Persiapan serba terburu-buru. Satu list keinginan, atau mungkin list kebutuhan telah tercapai dengan cara melarikan diri ke luar pulau Jawa selepas semester 4. Pertengahan November harus sudah tiba di Unsyiah-Banda Aceh. Ada ketakutan, ragu, cemas, dan was-was menyeruak menjadi satu. Namun, pejalanan yang mau tak mau serba dadakan tersebut menuai kata harus. Sebuah konsekwensi dari sebuah pilihan. Izin kuliah selam seminggu, padahal jatah bolos sudah habis semenjak kuliah paruh pertama.
Perjalanan panjang ini dimulai pada Sabtu sore (12/11) yang cukup terik dari stasiun Lempuyangan menuju stasiun Pasar Senen. Selama 8 perjalanan darat ini diwarnai dengan percakapan dengan dua penumpang lain. Di sebelah kiri kursi saya adalah seorang bapak yang telah memasuki usia senja, alumnus ITB jurusan Teknik arsitektur, 45 tahun silam. Saya berdecak, agak kagok untuk memulai sebuah percakapan. Dan seseorang lagi yang duduk berseberangan dengan saya adalah mahasiswa semester 7 Universitas Respati Yogyakarta, jurusan Gizi Kesehatan. Percakapan mulai mengalir ketika kami bercerita tentang kegiatan kampus. Perihal UKM, sistem pembayaran uang kuliah, dan mata kuliah yang sedang dipelajari.
Itu percakapan pada separuh perjalanan pertama, selanjutnya paling-paling terlelap dan sesekali menguping pembicaraan orang di seberang lorong. Saya terbangun ketika menjelang magrib dan kereta memasuki wilayah Banyumas. Ada sebidang lahan kosong yang menyajikan senja seperti di bibir pantai. Dan matahari keemasaan terpantul  dari permukaan air yang tenang. Sayangnya, saya tak mengabadikan dengan tepat.

Teman seperjalanan yang turun pertama adalah mas mahasiswa, ketika kereta berhenti di stasiun Prujakan dia berpamitan terlebih dahulu kepada kami. Sedangkan bapak yang tak saya ketahui namanya menemani perjalanan hingga tengah malam sampai kereta berhenti di Pasar Senen. Di stasiun Pasar Senen, saya sempat kebingungan untuk memilih kendaraan umum menuju bandara Soekarno-Hatta. Sebab ketika bertanya ke petugas, kereta yang menuju stasiun Duri baru beroperasi selepas pukul 7. Ini penerbangan pertama saya, sehingga rasa takut ketinggalan bergelayut manja di sudut pikiran. Opsi lain menuju bandara adalah mengunakan bus Damri yang berangkat dari stasiun Gambir sejak pukul 3 dinihari. Sempat tepikir untuk jalan kaki dari Pasar Senen menuju Gambir yang berjarak 3 KM itu, tetapi kata orang terlalu riskan.

Supir taksi menawarkan tarif Pasar Senen- Soetta seharga 150.000 rupiah, sedangkan setelah googling harusnya bisa didapat dengan harga murah ketika kita bisa mengakses dari stasiun Gambir dengan ojek. Tarif Pasar Senen-Gambir 10.000 rupiah, dan bus Damri seharga 40.000 rupiah. Saya baru ngeh bahwa Gambir itu dekat sekali dengan Monumen Nasional. Selama satu jam saya mantengin cahaya biru yang terpancar di tugu dengan ujungnya yang berwarna keemasan. Subuh saya ditemani dengan udara dingin bandara, serta rintik hujan disela mencari musholla yang lumayan susah dicari di bandara yang katanya paling sibuk se- Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...