masih ada semacam hutang untuk mencicip sanger, ayam tangkap, mie caluk, roti samahani, dan kuliner lain yang diolah di peruhan dengan penduduk yang ramah. |
Yogyakarta
ibarat rumah kedua bagi saya, daya tawar bagi kerinduan-kerinduan yang
membuncah. Mau tak mau tempat ini menjadi
sarang untuk mengenyam pendidikan
1,5 tahun kedepan (mungkin). Seminggu menjejakkan tanah rencong membuat
saya berpikir tentang pola adaptasi yang cepat. Waktu seminggu lebih banyak
diisi dengan keterkejutan bertemu dengan teman-teman baru yang mayoritas
berasal dari tanah Sumatera. Gaya bicara yang cepat, bahasa Indonesia dengan
logat daerah membuat saya lemot luar biasa untuk mencerna kata-kata. Di malam
pertemuan terakhir, lebih dari separuh teman baru mengatakan bahwa saya amat
pendiam. Sampai ada yang khusus bertatap muka untuk mengatakan “mari kita
berbicara.”
Ini
semacam pembelaan. Bukankah akan lebih baik ketika memasang telinga dan menjadi
pendengar yang baik di tempat baru? Menjadi sepotong spons untuk menyerap
banyak informasi. Waktu seminggu menjadi amat singkat untuk belajar kultur
masyarakat Banda Aceh. Terlampau singkat memang, sehingga tak perlu banyak yang
dikatakan. Jika disuruh berbicara tentang keindahannya, paling tidak saya masih
ada beberapa kalimat untuk mendefinisikannya selepas musibah tsunami sebelas
tahun silam.
Itu
untuk wilayah kota. Selebihnya saya buta, dan menjadi sangat antusias ketika
seorang teman pecinta kopi bercerita tentang pengalamannya hidup di perkebunan.
Perkebunan kopi beradi di wilayah pegunungan, yang paling terkenal adalah kopi
arabika dari Gayo, kopi Robusta juga kopi Liberika yang lebih ringan dibanding
dua pendahulunya. Banyak cerita yang mengalir, tentang komoditas, atau tentang
kuliner yang belum tuntas dicicip satu per satu.
Satu
atau dua percakapan yang mampu membuka percakapan-percakapan selanjutnya. Waktu
seminggu tak akan pernah cukup, namun pertemuan tatap muka harus disudahi untuk
jangka waktu kali ini. Banyak yang harus segera dibereskan di Yogya, mengingat
saya banyak meninggalkan tanggung jawab ketika berangkat. Sehingga membuat
was-was sepanjang perjalanan. Mungkin, butuh waktu sebulan bahkan setahun untuk
dapat beradaptasi di tempat baru, menemukan zona nyaman yang baru. Namun,
lagi-lagi saya perlu menata perjumpaan dengan tanggung jawab yang lain. Mungkin,
kita hanya sebatas teman bercengkrama tentang komoditas dan menjadi pemandu
ketika saya berkunjung ke tanah Rencong lagi. Mungkin.
Sudah
seminggu, harus berhadapan lagi dengan plat kendaraan AB yang memenuhi jalan
Gejayan-Colombo. Bertemu kembali dengan atap gedung Sugondo yang hampir tuntas.
Bertemu dengan crane yang berderet
makin rapat. Bertemu dengan beringin di depan sekretariat. Dan bertemu dengan
pepatah bahwa pertemuan sepaket dengan bungkusan perpisahan dan rindu. Bahwa
Yogyakarta menawarkan penerimaan, menjadi rumah untuk pulang. Juga tempat
merumuskan kunjungan selanjutnya ke luar pulau Jawa dengan rumusan adaptasi
yang lebih cepat. Agar saya cepat berkomunikasi dengan teman-teman baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar