Rabu, 23 November 2016

Pulang Ke Yogyakarta

masih ada semacam hutang untuk mencicip sanger, ayam tangkap, mie caluk, roti samahani, dan kuliner lain yang diolah di peruhan dengan penduduk yang ramah.

Yogyakarta ibarat rumah kedua bagi saya, daya tawar bagi kerinduan-kerinduan yang membuncah. Mau tak mau tempat ini menjadi  sarang untuk mengenyam pendidikan  1,5 tahun kedepan (mungkin). Seminggu menjejakkan tanah rencong membuat saya berpikir tentang pola adaptasi yang cepat. Waktu seminggu lebih banyak diisi dengan keterkejutan bertemu dengan teman-teman baru yang mayoritas berasal dari tanah Sumatera. Gaya bicara yang cepat, bahasa Indonesia dengan logat daerah membuat saya lemot luar biasa untuk mencerna kata-kata. Di malam pertemuan terakhir, lebih dari separuh teman baru mengatakan bahwa saya amat pendiam. Sampai ada yang khusus bertatap muka untuk mengatakan “mari kita berbicara.”
Ini semacam pembelaan. Bukankah akan lebih baik ketika memasang telinga dan menjadi pendengar yang baik di tempat baru? Menjadi sepotong spons untuk menyerap banyak informasi. Waktu seminggu menjadi amat singkat untuk belajar kultur masyarakat Banda Aceh. Terlampau singkat memang, sehingga tak perlu banyak yang dikatakan. Jika disuruh berbicara tentang keindahannya, paling tidak saya masih ada beberapa kalimat untuk mendefinisikannya selepas musibah tsunami sebelas tahun silam.
Itu untuk wilayah kota. Selebihnya saya buta, dan menjadi sangat antusias ketika seorang teman pecinta kopi bercerita tentang pengalamannya hidup di perkebunan. Perkebunan kopi beradi di wilayah pegunungan, yang paling terkenal adalah kopi arabika dari Gayo, kopi Robusta juga kopi Liberika yang lebih ringan dibanding dua pendahulunya. Banyak cerita yang mengalir, tentang komoditas, atau tentang kuliner yang belum tuntas dicicip satu per satu.
Satu atau dua percakapan yang mampu membuka percakapan-percakapan selanjutnya. Waktu seminggu tak akan pernah cukup, namun pertemuan tatap muka harus disudahi untuk jangka waktu kali ini. Banyak yang harus segera dibereskan di Yogya, mengingat saya banyak meninggalkan tanggung jawab ketika berangkat. Sehingga membuat was-was sepanjang perjalanan. Mungkin, butuh waktu sebulan bahkan setahun untuk dapat beradaptasi di tempat baru, menemukan zona nyaman yang baru. Namun, lagi-lagi saya perlu menata perjumpaan dengan tanggung jawab yang lain. Mungkin, kita hanya sebatas teman bercengkrama tentang komoditas dan menjadi pemandu ketika saya berkunjung ke tanah Rencong lagi. Mungkin.
Sudah seminggu, harus berhadapan lagi dengan plat kendaraan AB yang memenuhi jalan Gejayan-Colombo. Bertemu kembali dengan atap gedung Sugondo yang hampir tuntas. Bertemu dengan crane yang berderet makin rapat. Bertemu dengan beringin di depan sekretariat. Dan bertemu dengan pepatah bahwa pertemuan sepaket dengan bungkusan perpisahan dan rindu. Bahwa Yogyakarta menawarkan penerimaan, menjadi rumah untuk pulang. Juga tempat merumuskan kunjungan selanjutnya ke luar pulau Jawa dengan rumusan adaptasi yang lebih cepat. Agar saya cepat berkomunikasi dengan teman-teman baru. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...