Saya
selalu membayangkan akan merancang hunian pada usia 25 tahun. Letaknya di desa,
sebagai ganti keinginan memiliki rumah di puncak bukit pada usia senja. Tak
perlu jauh dari keramaian, yang penting tidak bising dan dekat dengan akses
pendidikakn untuk anak-anak kelak. Sebab saya lebih menyukai suasana tenang,
udara bersih dan aroma akar pohon. Ah, membicarakan tentang rumah akan selalu
identik dengan kata pulang, melabuhkan penat, dan menampung segenap rasa. Maka,
idealnya rumah perlu dirancang sedemikian rupa. Saat ini, baru mampu menuangkan
gambaran yang berseliweran di kepala menjadi kata-kata.
Beberapa
kali saya mendatangi museum di kota Yogyakarta yang merupakan rumah pribadi,
salah satunya adalah museum Dewantara Kirti Griya. Adalah salah satu bangunan
rumah kedua Ki Hadjar Dewantara yang kini digunakan untuk menyimpan beberapa
sisa perabotan semasa ia menjadi penggerak Taman Siswa. Saya mulai dari jumlah
dan bentuk pintunya. Mayoritas rumah jawa pada abad 20-an memiliki lebih dari 1
pintu utama. Pintu pertama ada di dekat serambi, dan pintu kedua akan
berhubungan dengan ruang kumpul yang lebih luas. Di museum Dewantara kemarin,
saya menjumpai 3 pintu yang mengantarkan pengunjung untuk menyusuri ruang
selanjutnya.
Dua
pintu dari arah depan berhubungan dengan ruang kerja sekaligus kamar, serta
berhubungan dengan ruang kumpul. Sedangkan pintu ketiga berada di sisi kiri
bangunan yang langsung bertatap muka dengan ruang kumpul berukuran 6x8 meter. Dari
bentuknya, pintu-pintu kamar atau penyekat antar ruang dibuat ganda. Satu pintu
gantung berbahan kayu dengan tinggi sekitar 1.5 meter dan pintu kedua setinggi
3 meter. Saya kurang tahu jenis kayu apa yang digunaan, namun kesan kokoh
muncul berkat pelitur dan vernis berwarna coklat saga.
Nah,
bila dibandingkan dengan jumlah pintu yang semakin banyak saya akan memilih 2
pintu saja. Setelah dipikir ulang, pintu juga berfungsi sebagai penyekat antara
kegiatan pribadi keluarga dengan kegiatan yang dilakukan dengan tamu. Meskipun
sempat terpikir bahwa menggunakan satu pintu akan lebih praktis.
Saya
masih ingin rumah yang memiliki halaman di tengah krisis lahan hunian. Tak usah
terlalu luas. Paling tidak, cukup untuk meletakkan bonsai, satu pohon pelem manalagi, beberapa pucuk hydrangea, dan jajaran sayur hidroponik
agar konsumsi sayuran meningkat pesat. Selebihnya adalah tanaman mawar kuning
yang dapat menyediakan 12 kuntum tiap bulannya sebagai lambang terimakasih, dan
halaman untuk bermain.
Oiya,
sebagian dari bangunan rumah nanti setidaknya ada perpustakaan yang bisa
diakses oleh anak-anak desa. Berisi majalah, buku cerita petualangan anak-anak,
dan lainnya. Saya belum memikirkan ini dengan rinci. Sedangkan ruangannya akan berupa
bale yang salah satu sisinya berdinding kaca untuk sarana diskusi dan
menuangkan ide selepas membaca.
Apakah
sudah cukup nyaman? Untuk detail setiap ruangan akan saya ceritakan kapan-kapan
yang entah sampai kapan.
NB:
tulisan ini sudah lama terinspirasi dari seseorang perempuan tangguh berinisial
SNA yang berjumpa lewat proses pertemuan amat panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar