Rabu, 09 November 2016

Rumah yang Seperti Apa?

Saya selalu membayangkan akan merancang hunian pada usia 25 tahun. Letaknya di desa, sebagai ganti keinginan memiliki rumah di puncak bukit pada usia senja. Tak perlu jauh dari keramaian, yang penting tidak bising dan dekat dengan akses pendidikakn untuk anak-anak kelak. Sebab saya lebih menyukai suasana tenang, udara bersih dan aroma akar pohon. Ah, membicarakan tentang rumah akan selalu identik dengan kata pulang, melabuhkan penat, dan menampung segenap rasa. Maka, idealnya rumah perlu dirancang sedemikian rupa. Saat ini, baru mampu menuangkan gambaran yang berseliweran di kepala menjadi kata-kata.
Beberapa kali saya mendatangi museum di kota Yogyakarta yang merupakan rumah pribadi, salah satunya adalah museum Dewantara Kirti Griya. Adalah salah satu bangunan rumah kedua Ki Hadjar Dewantara yang kini digunakan untuk menyimpan beberapa sisa perabotan semasa ia menjadi penggerak Taman Siswa. Saya mulai dari jumlah dan bentuk pintunya. Mayoritas rumah jawa pada abad 20-an memiliki lebih dari 1 pintu utama. Pintu pertama ada di dekat serambi, dan pintu kedua akan berhubungan dengan ruang kumpul yang lebih luas. Di museum Dewantara kemarin, saya menjumpai 3 pintu yang mengantarkan pengunjung untuk menyusuri ruang selanjutnya.

Dua pintu dari arah depan berhubungan dengan ruang kerja sekaligus kamar, serta berhubungan dengan ruang kumpul. Sedangkan pintu ketiga berada di sisi kiri bangunan yang langsung bertatap muka dengan ruang kumpul berukuran 6x8 meter. Dari bentuknya, pintu-pintu kamar atau penyekat antar ruang dibuat ganda. Satu pintu gantung berbahan kayu dengan tinggi sekitar 1.5 meter dan pintu kedua setinggi 3 meter. Saya kurang tahu jenis kayu apa yang digunaan, namun kesan kokoh muncul berkat pelitur dan vernis berwarna coklat saga.
Nah, bila dibandingkan dengan jumlah pintu yang semakin banyak saya akan memilih 2 pintu saja. Setelah dipikir ulang, pintu juga berfungsi sebagai penyekat antara kegiatan pribadi keluarga dengan kegiatan yang dilakukan dengan tamu. Meskipun sempat terpikir bahwa menggunakan satu pintu akan lebih praktis.
Saya masih ingin rumah yang memiliki halaman di tengah krisis lahan hunian. Tak usah terlalu luas. Paling tidak, cukup untuk meletakkan bonsai, satu pohon pelem manalagi, beberapa pucuk hydrangea, dan jajaran sayur hidroponik agar konsumsi sayuran meningkat pesat. Selebihnya adalah tanaman mawar kuning yang dapat menyediakan 12 kuntum tiap bulannya sebagai lambang terimakasih, dan halaman untuk bermain.
Oiya, sebagian dari bangunan rumah nanti setidaknya ada perpustakaan yang bisa diakses oleh anak-anak desa. Berisi majalah, buku cerita petualangan anak-anak, dan lainnya. Saya belum memikirkan ini dengan rinci. Sedangkan ruangannya akan berupa bale yang salah satu sisinya berdinding kaca untuk sarana diskusi dan menuangkan ide selepas membaca.
Apakah sudah cukup nyaman? Untuk detail setiap ruangan akan saya ceritakan kapan-kapan yang entah sampai kapan.




NB: tulisan ini sudah lama terinspirasi dari seseorang perempuan tangguh berinisial SNA yang berjumpa lewat proses pertemuan amat panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...