Kali ini saya tidak melakukan perjalanan
sendiri. Tidak seperti pengalaman seminggu sebelumnya. Tujuannya ke Solo, nama
daerah tersebut muncul begitu saja selepas makan siang yang merapel sarapan. Tak
ada waktu untuk mencari destinasi wisata, atau tempat yang akan dikunjungi,
atau mencicip makanan khas di sana. Persiapannya hanya setengah jam, termasuk
mandi dan menjemput rekan. Tetapi terpaksa balik kost karena surat kendaraan
sempat tertinggal.
Pukul setengah duabelas kami berangkat. Matahari
sedang terik-teriknya ketika kami meninggalkan Yogyakarta, melintasi Klaten,
Sukoharjo dan berakhir di Solo. Sesekali menerabas lampu merah yang bikin saya
ingin misuh-misuh. Sepanjang jalan membicarakan beberapa hal, termasuk bedanya
angkringan, hik, dan wedangan. Itu gara-gara pertanyaan receh “di Klaten ada
yang jualan nasi kucing gak ya? Atau, kenapa nama makanan khas suatu daerah harus
punya identitas ketika berada di luar daerah asalnya? Mie Aceh, atau nasi
Padang misalnya,” kurang lebih begitu pertanyaan yang saya layangkan. Sebab,
dari beberapa artikel yang saya baca, nasi kucing berasal dari daerah Cawas. Desa
kecil di ujung selatan kabupaten Klaten yang berbatasan dengan wilayah Gunung
Kidul. Kata rekan saya, nama yang berbeda tersebut tergantung pada tempat dan
cara menikmatinya yang berbeda. Di Solo disebut Hidangan Istimewa... (HIK). Namun,
saya belum dapat kepastian tentang kepanjangan huruf K nya. Dijajakan dengan
berkeliling di sekitar keraton Solo dengan pedagangnya yang membawa dingklik (kursi kecil). Berbeda dengan
cara penyajian di Yogyakarta, pembeli menikmati nasi kucing dengan ngangkring (nangkring di atas kursi).
Masuk wilayah Solo, kami hanya
mengandalkan papan petunjuk jalan. Pasar Klewer yang jadi tujuan pertama. Pasar
sementara berada di alun-alun utara keraton Mangkunegara, sebab pasar Klewer mengalami
kebakaran dan sedang dalam masa renovasi. Lagi, perang crane di angkasa. Kami tak mendapati apa-apa selain penjual kain
dan baju. Mirip seperti lapak di pasar Beringarjo. Beberapa lapak menempati
pendopo keraton yang dibangun oleh Pakubuwono ke XII kalau tak salah. Tak jauh
dari pasar sementara, terdapat masjid Ageng Keraton Surakarta Hadiningrat. Masjid
bergaya joglo itu terkesan lebih sederhana dibandingkan dengan masjid Agung
Keraton Yogyakarta. Namun yang paling terlihat mencolok adala identitas masa
pembuat bangunan. Mungkin sebagai alat legitimasi kekuasaan. Menunjukkan bahwa
perekonomiannya maju dan digunakan untuk pembangunan. Kira-kira begitu.
Kemudian kami berniat mengunjungi
Keraton Mangkunegara yang kini sudah menjadi museum, tidak sempat masuk ke
dalam ruangannya. Karena sudah hampir tutup, kami hanya lewat sepanjang luar
tembok pembatas. Sampai menuju alun-alun kidul yang menjadi tempat berkubang
para kerbau bule. Selepas dari area keraton, kami sudah tak tahu arah. Palang menunjukkan
ke arah Solo baru, dan kami gak tahu bakalan menemukan apa-apa di sana. Putar balik
ke arah keraton lagi, mencicip es dawet yang isinya macam-macam. Amat berbeda
dengan es dawet yang sering dijumpai di Jawa Timur yang berisi dawet, santan
aroma pandan, dan gula merah. Sebenarnya baru kepikiran akan mampir ke Taman
Sriwedari untuk melihat pertunjukan atau semacam pameran. Sayangnya kami tidak
menemukan jalan kembali ke sana.
Sudah sore, dan mendung mulai berarak. Banyak
petugas parkir yang menggunakan lurik. Identitas rupanya. Pulang, kami terjebak
guyuran hujan di Sukoharjo. Musim hujan kali ini juga diikuti angin ribut. Beberapa
pohon tumbang, dan ruas jalan penuh dengan genangan air hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar