Selasa, 29 November 2016

Nge-Random ke Solo Lagi


Kali ini saya tidak melakukan perjalanan sendiri. Tidak seperti pengalaman seminggu sebelumnya. Tujuannya ke Solo, nama daerah tersebut muncul begitu saja selepas makan siang yang merapel sarapan. Tak ada waktu untuk mencari destinasi wisata, atau tempat yang akan dikunjungi, atau mencicip makanan khas di sana. Persiapannya hanya setengah jam, termasuk mandi dan menjemput rekan. Tetapi terpaksa balik kost karena surat kendaraan sempat  tertinggal.
Pukul setengah duabelas kami berangkat. Matahari sedang terik-teriknya ketika kami meninggalkan Yogyakarta, melintasi Klaten, Sukoharjo dan berakhir di Solo. Sesekali menerabas lampu merah yang bikin saya ingin misuh-misuh. Sepanjang jalan membicarakan beberapa hal, termasuk bedanya angkringan, hik, dan wedangan. Itu gara-gara pertanyaan receh “di Klaten ada yang jualan nasi kucing gak ya? Atau, kenapa nama makanan khas suatu daerah harus punya identitas ketika berada di luar daerah asalnya? Mie Aceh, atau nasi Padang misalnya,” kurang lebih begitu pertanyaan yang saya layangkan. Sebab, dari beberapa artikel yang saya baca, nasi kucing berasal dari daerah Cawas. Desa kecil di ujung selatan kabupaten Klaten yang berbatasan dengan wilayah Gunung Kidul. Kata rekan saya, nama yang berbeda tersebut tergantung pada tempat dan cara menikmatinya yang berbeda. Di Solo disebut Hidangan Istimewa... (HIK). Namun, saya belum dapat kepastian tentang kepanjangan huruf K nya. Dijajakan dengan berkeliling di sekitar keraton Solo dengan pedagangnya yang membawa dingklik (kursi kecil). Berbeda dengan cara penyajian di Yogyakarta, pembeli menikmati nasi kucing dengan ngangkring (nangkring di atas kursi).
Masuk wilayah Solo, kami hanya mengandalkan papan petunjuk jalan. Pasar Klewer yang jadi tujuan pertama. Pasar sementara berada di alun-alun utara keraton Mangkunegara, sebab pasar Klewer mengalami kebakaran dan sedang dalam masa renovasi. Lagi, perang crane di angkasa. Kami tak mendapati apa-apa selain penjual kain dan baju. Mirip seperti lapak di pasar Beringarjo. Beberapa lapak menempati pendopo keraton yang dibangun oleh Pakubuwono ke XII kalau tak salah. Tak jauh dari pasar sementara, terdapat masjid Ageng Keraton Surakarta Hadiningrat. Masjid bergaya joglo itu terkesan lebih sederhana dibandingkan dengan masjid Agung Keraton Yogyakarta. Namun yang paling terlihat mencolok adala identitas masa pembuat bangunan. Mungkin sebagai alat legitimasi kekuasaan. Menunjukkan bahwa perekonomiannya maju dan digunakan untuk pembangunan. Kira-kira begitu.
Kemudian kami berniat mengunjungi Keraton Mangkunegara yang kini sudah menjadi museum, tidak sempat masuk ke dalam ruangannya. Karena sudah hampir tutup, kami hanya lewat sepanjang luar tembok pembatas. Sampai menuju alun-alun kidul yang menjadi tempat berkubang para kerbau bule. Selepas dari area keraton, kami sudah tak tahu arah. Palang menunjukkan ke arah Solo baru, dan kami gak tahu bakalan menemukan apa-apa di sana. Putar balik ke arah keraton lagi, mencicip es dawet yang isinya macam-macam. Amat berbeda dengan es dawet yang sering dijumpai di Jawa Timur yang berisi dawet, santan aroma pandan, dan gula merah. Sebenarnya baru kepikiran akan mampir ke Taman Sriwedari untuk melihat pertunjukan atau semacam pameran. Sayangnya kami tidak menemukan jalan kembali ke sana.

Sudah sore, dan mendung mulai berarak. Banyak petugas parkir yang menggunakan lurik. Identitas rupanya. Pulang, kami terjebak guyuran hujan di Sukoharjo. Musim hujan kali ini juga diikuti angin ribut. Beberapa pohon tumbang, dan ruas jalan penuh dengan genangan air hujan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...