Selasa, 29 November 2016

Nge-Random ke Solo Lagi


Kali ini saya tidak melakukan perjalanan sendiri. Tidak seperti pengalaman seminggu sebelumnya. Tujuannya ke Solo, nama daerah tersebut muncul begitu saja selepas makan siang yang merapel sarapan. Tak ada waktu untuk mencari destinasi wisata, atau tempat yang akan dikunjungi, atau mencicip makanan khas di sana. Persiapannya hanya setengah jam, termasuk mandi dan menjemput rekan. Tetapi terpaksa balik kost karena surat kendaraan sempat  tertinggal.
Pukul setengah duabelas kami berangkat. Matahari sedang terik-teriknya ketika kami meninggalkan Yogyakarta, melintasi Klaten, Sukoharjo dan berakhir di Solo. Sesekali menerabas lampu merah yang bikin saya ingin misuh-misuh. Sepanjang jalan membicarakan beberapa hal, termasuk bedanya angkringan, hik, dan wedangan. Itu gara-gara pertanyaan receh “di Klaten ada yang jualan nasi kucing gak ya? Atau, kenapa nama makanan khas suatu daerah harus punya identitas ketika berada di luar daerah asalnya? Mie Aceh, atau nasi Padang misalnya,” kurang lebih begitu pertanyaan yang saya layangkan. Sebab, dari beberapa artikel yang saya baca, nasi kucing berasal dari daerah Cawas. Desa kecil di ujung selatan kabupaten Klaten yang berbatasan dengan wilayah Gunung Kidul. Kata rekan saya, nama yang berbeda tersebut tergantung pada tempat dan cara menikmatinya yang berbeda. Di Solo disebut Hidangan Istimewa... (HIK). Namun, saya belum dapat kepastian tentang kepanjangan huruf K nya. Dijajakan dengan berkeliling di sekitar keraton Solo dengan pedagangnya yang membawa dingklik (kursi kecil). Berbeda dengan cara penyajian di Yogyakarta, pembeli menikmati nasi kucing dengan ngangkring (nangkring di atas kursi).
Masuk wilayah Solo, kami hanya mengandalkan papan petunjuk jalan. Pasar Klewer yang jadi tujuan pertama. Pasar sementara berada di alun-alun utara keraton Mangkunegara, sebab pasar Klewer mengalami kebakaran dan sedang dalam masa renovasi. Lagi, perang crane di angkasa. Kami tak mendapati apa-apa selain penjual kain dan baju. Mirip seperti lapak di pasar Beringarjo. Beberapa lapak menempati pendopo keraton yang dibangun oleh Pakubuwono ke XII kalau tak salah. Tak jauh dari pasar sementara, terdapat masjid Ageng Keraton Surakarta Hadiningrat. Masjid bergaya joglo itu terkesan lebih sederhana dibandingkan dengan masjid Agung Keraton Yogyakarta. Namun yang paling terlihat mencolok adala identitas masa pembuat bangunan. Mungkin sebagai alat legitimasi kekuasaan. Menunjukkan bahwa perekonomiannya maju dan digunakan untuk pembangunan. Kira-kira begitu.
Kemudian kami berniat mengunjungi Keraton Mangkunegara yang kini sudah menjadi museum, tidak sempat masuk ke dalam ruangannya. Karena sudah hampir tutup, kami hanya lewat sepanjang luar tembok pembatas. Sampai menuju alun-alun kidul yang menjadi tempat berkubang para kerbau bule. Selepas dari area keraton, kami sudah tak tahu arah. Palang menunjukkan ke arah Solo baru, dan kami gak tahu bakalan menemukan apa-apa di sana. Putar balik ke arah keraton lagi, mencicip es dawet yang isinya macam-macam. Amat berbeda dengan es dawet yang sering dijumpai di Jawa Timur yang berisi dawet, santan aroma pandan, dan gula merah. Sebenarnya baru kepikiran akan mampir ke Taman Sriwedari untuk melihat pertunjukan atau semacam pameran. Sayangnya kami tidak menemukan jalan kembali ke sana.

Sudah sore, dan mendung mulai berarak. Banyak petugas parkir yang menggunakan lurik. Identitas rupanya. Pulang, kami terjebak guyuran hujan di Sukoharjo. Musim hujan kali ini juga diikuti angin ribut. Beberapa pohon tumbang, dan ruas jalan penuh dengan genangan air hujan. 

Rabu, 23 November 2016

Pulang Ke Yogyakarta

masih ada semacam hutang untuk mencicip sanger, ayam tangkap, mie caluk, roti samahani, dan kuliner lain yang diolah di peruhan dengan penduduk yang ramah.

Yogyakarta ibarat rumah kedua bagi saya, daya tawar bagi kerinduan-kerinduan yang membuncah. Mau tak mau tempat ini menjadi  sarang untuk mengenyam pendidikan  1,5 tahun kedepan (mungkin). Seminggu menjejakkan tanah rencong membuat saya berpikir tentang pola adaptasi yang cepat. Waktu seminggu lebih banyak diisi dengan keterkejutan bertemu dengan teman-teman baru yang mayoritas berasal dari tanah Sumatera. Gaya bicara yang cepat, bahasa Indonesia dengan logat daerah membuat saya lemot luar biasa untuk mencerna kata-kata. Di malam pertemuan terakhir, lebih dari separuh teman baru mengatakan bahwa saya amat pendiam. Sampai ada yang khusus bertatap muka untuk mengatakan “mari kita berbicara.”
Ini semacam pembelaan. Bukankah akan lebih baik ketika memasang telinga dan menjadi pendengar yang baik di tempat baru? Menjadi sepotong spons untuk menyerap banyak informasi. Waktu seminggu menjadi amat singkat untuk belajar kultur masyarakat Banda Aceh. Terlampau singkat memang, sehingga tak perlu banyak yang dikatakan. Jika disuruh berbicara tentang keindahannya, paling tidak saya masih ada beberapa kalimat untuk mendefinisikannya selepas musibah tsunami sebelas tahun silam.

Selasa, 15 November 2016

Menjejak Tanah Serambi Mekah #2

koridor bandara Kualanamu-Medan

Deru mesin pesawat tinggal landas bak hujan yang bergemuruh di gendang telinga. Penerbangan pertama, rasanya seperti berlari kencang sembari merentangkan tangan kemudian melompat menangkap udara yang terkumpul. Melambung, kemudian bergetar sebentar di seluruh badan pesawat. Selebihnya hanyalah khayalan, tentang butiran air yang menggantung di udara, dan seolah transportasi udara ini turut menggantung tanpa melaju. Padahal, kecepatannya melampaui 800 km/jam. Sesekali terasa badan pesawat miring ke kiri  dan sadar bergerak ketika dapat melihat daratan dari ketinggian. Cuaca cerah, ditandai dengan teriknya matahari diatas ketinggian 9215 mdpl. Gendang telinga serasa mengembang, ketika pilot menaikkan ketinggian penerbangan.

Senin, 14 November 2016

Menjejak Tanah Serambi Mekah #1


Persiapan serba terburu-buru. Satu list keinginan, atau mungkin list kebutuhan telah tercapai dengan cara melarikan diri ke luar pulau Jawa selepas semester 4. Pertengahan November harus sudah tiba di Unsyiah-Banda Aceh. Ada ketakutan, ragu, cemas, dan was-was menyeruak menjadi satu. Namun, pejalanan yang mau tak mau serba dadakan tersebut menuai kata harus. Sebuah konsekwensi dari sebuah pilihan. Izin kuliah selam seminggu, padahal jatah bolos sudah habis semenjak kuliah paruh pertama.
Perjalanan panjang ini dimulai pada Sabtu sore (12/11) yang cukup terik dari stasiun Lempuyangan menuju stasiun Pasar Senen. Selama 8 perjalanan darat ini diwarnai dengan percakapan dengan dua penumpang lain. Di sebelah kiri kursi saya adalah seorang bapak yang telah memasuki usia senja, alumnus ITB jurusan Teknik arsitektur, 45 tahun silam. Saya berdecak, agak kagok untuk memulai sebuah percakapan. Dan seseorang lagi yang duduk berseberangan dengan saya adalah mahasiswa semester 7 Universitas Respati Yogyakarta, jurusan Gizi Kesehatan. Percakapan mulai mengalir ketika kami bercerita tentang kegiatan kampus. Perihal UKM, sistem pembayaran uang kuliah, dan mata kuliah yang sedang dipelajari.
Itu percakapan pada separuh perjalanan pertama, selanjutnya paling-paling terlelap dan sesekali menguping pembicaraan orang di seberang lorong. Saya terbangun ketika menjelang magrib dan kereta memasuki wilayah Banyumas. Ada sebidang lahan kosong yang menyajikan senja seperti di bibir pantai. Dan matahari keemasaan terpantul  dari permukaan air yang tenang. Sayangnya, saya tak mengabadikan dengan tepat.

Rabu, 09 November 2016

Rumah yang Seperti Apa?

Saya selalu membayangkan akan merancang hunian pada usia 25 tahun. Letaknya di desa, sebagai ganti keinginan memiliki rumah di puncak bukit pada usia senja. Tak perlu jauh dari keramaian, yang penting tidak bising dan dekat dengan akses pendidikakn untuk anak-anak kelak. Sebab saya lebih menyukai suasana tenang, udara bersih dan aroma akar pohon. Ah, membicarakan tentang rumah akan selalu identik dengan kata pulang, melabuhkan penat, dan menampung segenap rasa. Maka, idealnya rumah perlu dirancang sedemikian rupa. Saat ini, baru mampu menuangkan gambaran yang berseliweran di kepala menjadi kata-kata.
Beberapa kali saya mendatangi museum di kota Yogyakarta yang merupakan rumah pribadi, salah satunya adalah museum Dewantara Kirti Griya. Adalah salah satu bangunan rumah kedua Ki Hadjar Dewantara yang kini digunakan untuk menyimpan beberapa sisa perabotan semasa ia menjadi penggerak Taman Siswa. Saya mulai dari jumlah dan bentuk pintunya. Mayoritas rumah jawa pada abad 20-an memiliki lebih dari 1 pintu utama. Pintu pertama ada di dekat serambi, dan pintu kedua akan berhubungan dengan ruang kumpul yang lebih luas. Di museum Dewantara kemarin, saya menjumpai 3 pintu yang mengantarkan pengunjung untuk menyusuri ruang selanjutnya.

Sabtu, 29 Oktober 2016

Elegi

Memasuki Oktober, ada semacam kayu penyangga yang mulai lapuk. Keropos dimakan kutu kayu. Kalau sudah begitu pilihannya hanya ada dua, tega memotong beberapa jengkal atau menghitung detik jam menunggu ambruk.

Pada bulan ini segalanya serba kacau. Setandan pisang, sekotak umpatan dan sumpah serapah berhamburan, dan puluhan judul pelarian masih membelenggu kaki. Belum dapat beranjak, terperangkap dalam hening dan putaran kebingungan.

Jenuh. Mencermati diri bahwa hanya melompat-lompat dari kewajiban satu ke kewajiban lain yang tercacah dan tak lekas tuntas. Terjebak rutinitas, meskipun sesekali keluar malam untuk menikmati makan malam dan pertunjukan seni. Saya belum bisa melarikan diri.


Lagu Sementara nya Float melantun sedari pagi, membungkam tumpukan kertas yang kian bisu.

Rabu, 05 Oktober 2016

Mata



unsplash.com [Cristian Newman]


Musim kemarau terlampau cepat pergi pada tahun ini. Setelah September berakhir, rintik hujan kerap datang dan dingin perlahan menyergap lewat tengah malam. Tibalah saya di tengah lorong gelap, penuh karat pada awal Oktober. Kecipak tanah becek akibat kadal yang berkejaran, atau sambungan pipa air yang patah menggema di seluruh ruang. Tak ada siapa-siapa, tak ada seberkas sinar, cahaya lilin atau apapun yang dapat menerangi lorong ini. Kecuali sorot matamu, yang baru saya sadari belakangan ini.

Minggu, 25 September 2016

Saya Ingin Semua Tugas Segera Kelar



https://unsplash.com/collections/188185/paper





...here comes the rain again
falling from the stars
drenched in my pain again...
Judul unggahan yang paling gak masuk akal. Namun saya rasa itu menjadi gambaran apa yang sedang saya rasakan sebulan belakangan. Menjelang akhir September, rupa-rupanya saya menerima banyak kejutan. Baik dari hal yang menyenangkan hingga hal yang bikin geregetan. Sudah hampir tujuh hari berturut-turut hujan datang selepas tengah hari. Hawa dingin kembali menelisip di celah jendela, ventilasi kamar, hingga berani menghampiri serat selimut. Sedangkan di jalan, dekat jembatan, air hujan menggenang laiknya kubangan itik. Hujan tak pernah salah, berkah dari Tuhan di tengah krisis air yang melanda kota Yogyakarta. Masalah kekeringan yang sama mungkin dialami oleh wilayah lain di Indonesia. Namun, sayangnya beberapa kecamatan di kota ini penuh dengan lahan yang telah ditutupi semen, sebagian lagi tanahnya berupa hamparan sawah. Tak ada tanah resapan, sampah yang terbawa arus air hujan tak segan menyumpal aliran air di pinggir jalan. Persis seperti otak saya yang sedang tersumpal sesuatu yang entah apa namanya. Air, elemen yang dekat dan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Sampai saat ini saya masih memilih air untuk dijadikan tema tugas akademik, juga sebagai alasan saya ketemu dengan orang baru. Ternyata konsekuensi dari pilihan saya terhadap air membuat kepala saya pening.

Kamis, 11 Agustus 2016

Gadis Kecil dan Le Petit Prince



via europeonscreen


Hallo, apakabar? Semoga senantiasa sehat. Adakah komentar untuk beberapa postingan cerita akhir-akhir ini? Kalau tidak, saya ingin minta maaf saja. Beberapa tulisan agak aneh karena sedang dalam misi perenungan (>0<). Hari ini saya ingin bercerita lagi tentang sebuah film anak-anak.
Finally, belum banyak yang saya lakukan setelah kembali ke Yogyakarta. Sudah hampir sebulan di sini. Dan ketika teman-teman bertanya mengapa balik cepat, atau sudah kemana saja, saya kelimpungan untuk menjawabnya.

Rabu, 10 Agustus 2016

Imam Sepanjang Jalan

Siluet tubuhmu berlatar senja, agar tak dapat kulihat genangan air di sudut mata.

Pagi ini, udara kamar harus berganti, sekaligus iseng  melongokkan kepala dari balik pagar setinggi 2,5 meter. Bendera umbul-umbul telah terpasang sepanjang jalan depan kost. Ya, hari ini memasuki hari ke 10 di bulan Agustus, seminggu yang akan datang akan ada upacara bendera rutin untuk memperingati hari kemerdekaan, meskipun saya lebih suka memakai  istilah peringatan hari proklamasi.  
Sekilas, tidak ada yang spesial hingga siang yang terik ini. Hingga berkali-kali saya harus memastikan benar-benar tak ada yang spesial sambil mematung di depan kalender yang tergantung di tembok kamar. Lama. Namun dalam otak saya terus bergaung percakapan saya dengan seseorang, delapan tahun silam.    
“Ra, wanita harus mengenyam pendidikan yang layak. Harus punya keterampilan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, punya pekerjaan sendiri. Kalau sudah begitu, perihal rezeki dan jodoh tinggal tunjuk saja. namun jangan lupa, usahamu mendekat pada yang punya kehidupan harus kau upayakan sendiri, dan lalalala...” Begitulah kata-kata yang sempat masuk dalam otak dan diingat hingga saat ini, jauh sebelum saya belajar biologi dan gen manusia, serta tahu nama Dian Sastro dan quotenya “ ... Seorang wanita wajib berpendidikan tinggi, karena mereka akan menjadi ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas.”
Dan seketika berkelebat ingatan bukankah orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajadnya oleh Tuhan?
Saya melihat kalender lagi, hingga teman kost jengah melihat saya mematung di hadapan kalender. Ah, tanggal sepuluh, akhirnya ketemu mengapa tanggal ini terasa istimewa. Ya, hari ini hari istimewa. karena lelaki, imam sepanjang jalan saya pernah lahir ke dunia. Selama 2 tahun di tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini, saya meninggalkan rumah. Berniat  untuk melarikan diri dari kungkungan sang imam sepanjang jalan. Hari ini rasanya amat berbeda. Ingin pulang, sambil memeluk dan berbicara panjang lebar dalam pelukannya yang sebenarnya tidak terlampau hangat itu. Tidak ada kue ulang tahun, lilin angka petunjuk usia yang menyala. Apalagi tangisan sedu sedan. Sebab, rasa-rasanya kelopak mata saya kering karena kemarin sudah menangis pada waktu yang tidak tepat. Sialan!
Tapi, karena hari ini merupakan hari istimewa untuk imam sepanjang jalan, saya ingin berbahagia saja hari ini. Sambil merenungi himpunan kata-katanya yang tertinggal di otak sekaligus memanggil kembali ingatan yang telah melanglang buana. Saya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa selama ini usaha saya masih terlalu santai. Masih terlampau terbuai dengan permainan.
Untuk imam sepanjang jalan, ingatannya sudah tidak tajam lagi. Katanya, nikmat pendengarannya dikurangi oleh Tuhan. Maaf, karena perdebatan kita selama ini tak pernah menghasilkan sebuah perenungan panjang yang mengubah arah komunikasi. Alias sia-sia. Sebab, kita terlalu egois untuk mengakui rindu, termasuk mengakui salah. Kalau saya boleh bilang, otak kita terlalu bebal. Entahlah, tapi saya ingin mengamini himpunan kata-katanya yang dulu pernah berlalu.
Terimakasih, imam sepanjang jalan yang menghadiahkan ribuan chip memori dalam otak saya. Termasuk malam ini dengan warna langit yang semakin menua, saya menghaturkan rapalan doa-doa. Dan rapalan semoga dapat segera membumbung ke angkasa. 
 Terimakasih, saya menikmati hari ini.


Sabtu, 06 Agustus 2016

Berawal dari Titik Sederhana

Konsep pameran lingkaran polos oleh Laksmayshita K.L.C
Masih di awal bulan Agustus ini, saya belum dapat buku saku agenda pameran BBY (Bentara Budaya Yogyakarta). Biasanya untuk mengadakan pameran di sana, penyelenggara harus memasukkan proposal sejak satu tahun sebelum hari H. Lumayan lama. Menurut pegawai yang mengurusi BBY, hal tersebut untuk mempermudah menentukan timeline kegiatan satu tahun yang akan datang. Biar tidak bertubrukan. Sudah dua tahun saya menetap di Yogyakarta, sesekali pulang ke Mojokerto ketika liburan semester dan jika ada beberapa hal mendesak yang harus segera diurus. Paling tidak, saya datang barang sekali dua kali dalam satu bulan ke BBY.
Dengan keberadaan BBY, saya merasa diuntungkan dengan ketemu orang-orang baru. Melegakan pikiran yang sedang jenuh. Saya paling suka dengan pameran lukisan. Meskipun tidak terlalu paham dengan jenis cat ataupun aliran lukisan, namun ada sesuatu yang membuat saya terpaku di hadapan lukisan. Membiarkan pikiran yang menebak- nebak secara serampangan makna cat yang digoreskan di media lukis. Kemudian tebakan yang serampangan itu dibuntuti obrolan singkat dengan para perupa atau pemilik komunitas yang mengadakan pameran disana.
Pada (3/8), saya iseng mengunjungi BBY lagi. Hanya menebak saja bakalan ada pameran di sana. Setelah mematikan mesin kendaraan, saya sempat mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk gedung BBY. Banyak orang, saya kira usianya tak jauh beda dengan usia saya bergerombol disana. Tidak lama, saya masuk ke dalam ruangan. Masih tersisa LCD, proyektor dan sekitar 50 kursi lipat memenuhi ruangan. Rupanya, sekaligus diadakan workshop. Ternyata ada dua kegiatan berbeda. Orang-orang yang bergerombol tadi mengikuti semacam acara paduan suara. Entah untuk apa, saya tak begitu memperhatikan keterangan yang terdapat dalam lembar presensi. Disela pegawai BBY yang sedang mengemasi barang-barang tadi, saya mulai mengitari tiap sisi tembok yang penuh dengan karya. Ada sekitar 60 karya, kalau saya tidak salah hitung dari 16 seniman kolaborasi komunitas “Perspektif” Yogyakarta- “Tutti” Australia.  
Dinding yang pertama saya tatap tertempel 16 wajah senimannya. Beberapa diantaranya bisa diidentifikasi sebagai anak-anak berkebutuhan khusus (difabel).
Tidak ada yang mewah untuk media lukisan kali ini. Bermodal karton, kertas kalender, tutup botol, biji buah saga, kancing baju, bawang herbarium, perca, dan barang bekas diolah menjadi seni berbasis titik. Pola yang dibuat amat sederhana. Berawal dari titik menjadi sebidang lingkaran beragam warna. Ada satu sisi dinding ruang pameran yang 2/5 bagiannya dipenuhi lingkaran berdiameter 15 cm berwarna putih agak kebiruan. Polos. Awalnya saya pikir adalah gambaran gelembung air, hingga saya mendapat kejelasan maknanya setelah berbincang dengan ibu Nining, ketua komunitas “perspektif” yang selama dua tahun telah menampung 7 anak difabel untuk mengembangkan seni. Ternyata lingkaran-lingkaran yang saya anggap gambaran gelembung air adalah  gambaran dunia yang sepi oleh salah satu seniman yang yang mengalami difabel tuli (deaf ).
“ Mama, bisa mendengar? Adik bisa mendengar, mengapa hanya kakak yang tidak bisa mendengar?” kira-kira begitu kalimat yang terlontar dari salah satu seniman di komunitas ibu Nining ketika akan membangun kepercayaan dirinya untuk berkembang dan terus berkarya.
“ Karena kami sayang kakak,” jawab bu Nining. Kemudian semuanya hening. Tak ada pertanyaan yang terlontar lagi.
Namun, saya masih menangkap getaran suara dan lelehan air di sudut mata  ketika bu Nining menuturkan kembali percakapan tersebut ke saya.
Lukisan sederhana, pola sederhana, percakapan sederhana seolah menggedor jiwa. Mengapa berpikir terlalu rumit namun tak dapat dijangkau, sedangkan yang sederhana saja dapat menghanyutkan perasaan? Dibalik apresiasi karya seni mereka, ada proses panjang yang mereka titi hingga detik ini. Tentang paradigma masyarakat yang keliru melihat difabel, membuat mereka terasing dari lingkungannya. Padahal, kita sama-sama manusia punya kesempatan yang sama untuk mengekspresikan rasa. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk membangun kepercayaan diri. Rasa-rasanya, semua manusia butuh pengakuan, menunjukkan bahwa keberadaannya nyata di dunia. Maka itulah manusia perlu punya karya. Perwujudan hasil pemikiran seperti yang digaungkan Rene Descartes “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Bahkan tokoh se-imajiner dan hawa keberadaan yang se-tipis Kuroko Tetsuya dalam anime Kurobas (Kuroko no Basuke) pun masih bisa dikenali. Masih bisa diapresiasi lewat permainan basketnya.

Begitulah cerita saya bertemu dengan orang baru, ada percakapan sore hari yang cukup berkesan hari itu. Yang sempat saya tangkap di akhir perbincangan adalah, kadang perlu menanggalkan “ke-Aku-an” agar dapat berbaur dengan siapa saja dan bisa lebih dekat dengan mereka. 
Begitulah. Selamat sore, selamat menikmati akhir pekan.

Jumat, 29 Juli 2016

Pesta Perayaan Atas Kebebasan Diri



via unsplash.com


Berpuluh-puluh jam mengurung diri dalam kamar, tanpa penerangan. Kecuali lewat layar komputer jinjing.
Begitulah cara saya menghabiskan waktu kali ini, karena sebuah jadwal yang ditunda berhari-hari. Diam, kemudian sesekali mencomot  oat yang lembek karena gula. Biasanya, saya kerap ngobrol di depan akuarium yang penghuninya kehilangan tenaga dari hari ke hari. Sekarang akuarium itu teronggok di sudut bufet, berkawan dengan buku-buku baru yang belum terjamah dengan karbon pensil. Tidak banyak yang saya lakukan untuk mengisi keseloan tingkat 27. Tiga hari yang lalu, saya merampok koleksi film seorang teman. Beragam jenisnya, namun mayoritas adalah jenis sains-fiksi, film keluarga, juga laga semacam Sicario, Transcendence, Allegiant, Zootopia, dan Room. Sebenarnya saya merampok lebih banyak dari judul yang saya sebutkan, namun yang paling berkesan adalah film dengan judul Room (kamar).
Berdasarkan percakapan dalam film, usia tokoh utama baru  menginjak angka lima tahun. Mempertanyakan mengapa warna daun yang gugur di atas atap kaca tidak berwarna hijau? Menanyakan mengapa hingga usianya lima tahun belum bisa bertemu dengan anjing yang sering didengung-dengungkan dalam cerita ibunya yang hampir ia hapal di memori otaknya. Namanya Jack, bocah laki-laki yang  hidup dalam imajinasi ibunya di sebuah kamar (lebih baik untuk disebut sebagai sebuah gudang) yang dipaksakan menjadi sebuah rumah. Tempat tidur, makan, dapur, nonton televisi dibagi berdasarkan bayangan imajiner, tanpa sekat.
Ia terkungkung dalam sebuah ruang, tak dapat menikmati pergantian udara tanpa tarif tiap pagi, maupun celoteh teman-teman yang seusia dengannya. Kalau saya boleh lancang mengatakan, itu dikarenakan ia benar-benar terasing dari interaksi dengan manusia selain ibunya, juga sebuah kotak ajaib bernama televisi selama 5 tahun. 
Singkat cerita,  Jack dan ibunya berhasil melarikan diri dari kubikel mininya. Tubuhnya berontak untuk menyesuaikan dengan lingkungan barunya. Sistem pernapasannya harus menyesuaikan diri dengan udara yang dihirup, butuh kacamata berlensa hitam yang digunakan sebagai penghalang paparan sinar matahari menuju rentina. Tak hanya fisiknya saja yang butuh penyesuaian, ia juga butuh penyesuaian untuk hubungan sosialnya. Sebelumnya, ia berkata lirih dan menghindari tatapan manusia. Bersembunyi dalam zona nyaman dibalik punggung ibunya. Untungnya ia tidak memiliki claustropobia (ketakutan terhadap ruang sempit).
Ada semacam pesta perayaan atas penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh tubuh kecil Jack, yakni kebebasan menikmati keberadaan benda-benda lain secara nyata. Bukan dari cerita ibunya, maupun rekaan televisi. Namun, dibalik kesempatan untuk menikmati hal-hal baru, ternyata ia masih terikat kenangan dengan kubikel lamanya. Pada suatu kesempatan mengunjungi kubikel lama, ia merasa ruangnya menyusut. Bukan karena barangnya yang telah diamankan, namun karena pintunya telah terbuka.
“Saat usiaku empat tahun, aku tak mengerti apa-apa tentang dunia. Namun kini aku belajar untuk memahami dunia. Banyak hal yang mesti dicoba, meski terkadang terlihat menyeramkan.”- Jack
 Di usia yang telah menginjak angka 20, sudah sejauh apa kita menjelajah dunia? Namun, sejauh-jauhnya menjelajah ada kalanya waktu untuk pulang ke rumah. Kita semua membantu untuk saling kuat. Tidak ada yang kuat sendirian di tengah energi yang sedemikian besarnya.


Senin, 18 Juli 2016

"Pulang" dan Seiris Memori Kolektif



Derit roda kereta api yang bergesekan dengan rel menggedor gendang telinga saya yang sedang berada di ruang tunggu stasiun Mojokerto. Saya sampai di stasiun setengah jam lebih awal dari jadwal keberangkatan yang telah tertera dalam tiket, pukul 09.32 WIB. Maka, seperempat jam pertama saya mengaduk kantong tas untuk memastikan kunci kamar kost dan motor tidak tertinggal di rumah. Ya, hari itu tepatnya 15 Juli saya kembali ke Yogyakarta. Saya harus mengecek barang bawaan saya sekali lagi. Aman. Baru saya bisa bernapas lega. Sebuah buku saya keluaran untuk menemani perjalanan selama 4,5 jam kemudian. Novel Ahmad Tohari, berjudul Orang-orang Proyek yang tidak terlampau tebal sudah berada di genggaman saya.
Kereta api Sancaka datang 3 menit dari jadwal yang telah ditetapkan. Saya masuk di gerbong keempat, dekat dengan gerbong restoran. Aroma acar dan ayam goreng menguar ketika saya mulai mencari deretan tempat duduk. 6D, begitu yang tertera dalam tiket saya, harusnya saya duduk di dekat jendela. Namun, yang saya dapati ada mbak yang duduk di tempat yang seharusnya saya tempati. Tidak menjadi masalah memang, namun agak mengganjal. Saya ingin duduk di dekat jendela, dan kebetulan tiket saya mendukung hal tersebut. Tapi, kenyataannya tidak berjalan dengan baik. Tak apalah. Saya mulai sibuk menekuri kalimat dalam novel, setelah sebelumnya melempar senyum pada ‘teman seperjalanan’ saya itu. Di sela baca, saya sempat melirik tempat duduk sebelah kanan, mbaknya masih sibuk dengan gawainya. Saya berusaha membuka percakapan dengannya dengan menanyakan tujuan pemberhentiannya. Dia hanya menjawab sampai Madiun. Untung tidak terlampau jauh, saya membatin. Kalau sampai Yogyakarta, bisa menggeliat bosan saya. Atau sibuk menulikan telinga dengan  menyumpal mereka menggunakan earphone. Tapi itu tak saya lakukan. Menyiksa diri sendiri. Tidak baik. Akhirnya, tidur adalah pilihan alternatif yang saya pilih. Cuap orang-orang, gema anak-anak yang berlarian di lorong kereta mengantar saya memasuki alam bawah sadar dengan masih mendekap novel Orang-orang Proyek.
Mendekati stasiun Nganjuk, saya geragapan terbangun karena pemberitahuan dari pengeras suara. Tak banyak yang saya lakukan di kereta api kecuali mulai membaca novel kembali. Pada 78 halaman awal novel tersebut, saya diajak nostalgia dengan suasana desa yang rupanya sudah dekat dengan wilayah administrasi kota. Pesona sebuah desa yang dialiri oleh sungai Cibawor (saya gak tahu persis letak sungai Cibawor itu) dideskripsikan cukup jelas. Sungai yang mengalir jernih, berbagai jenis ikan yang ikut berenang dalam aliran sungai tersebut, serta sebuah proyek maha penting: pembangunan jembatan. Saya jadi teringat dengan matakuliah Historiografi Umum yang telah usai semester lalu. Lain waktu, saya bakalan cerita tentang hubungan jembatan dan Historiografi itu.
Baik, kembali ke proyek yang diceritakan oleh Tohari. Ia menceritakan kecurangan-kecurangan beserta polemik lain yang melingkupi orang-orang yang terlibat dalam proyek pembangunan sebuah jembatan di atas sungai Cibawor. Persis dengan cerita bapak, ketika saya mulai memasuki SD pada 2002. Usia bapak tak beda jauh dengan Ahmad Tohari, hanya terpaut beberapa bulan saja, dan masa awal masuk SD bertepatan dengan terbitnya novel Orang-orang Proyek. Saya sempat berandai-andai, bapak menuliskan pengalamannya menjadi sebuah novel dan bersaing dengan karya Ahmad Tohari. Haha. Sewaktu kelas dua SD, sempat saya melontarkan pertanyaan mengapa bapak tidak menjadi PNS saja? Polisi atau profesi lainnya yang memilki penghasilan tetap? Bapak menjawab dengan wegah, menurutnya orang-orang yang memiliki akses terhadap uang rakyat akan berpotensi lebih untuk menggunakan uang titipan tersebut. Bukan digunakan untuk hal yang seharusnya, melainkan memakmurkan kepentingan salah satu pihak saja. Kemudian cara-cara curang dengan mengurangi kualitas barang, melambungkan anggaran, dan mengurangi hal-hal lain menjadi hal yang wajar dilakukan.
Sempat saya ingat, bapak selalu menggerutu panjang pendek ketika kami melewati jalan desa yang rusak parah, bertambal sulam, bahkan tak jarang dibiarkan menganga. Kami sering menjumpai kondisi jalan seperti itu di Kalicangkring, ketika berburu burung perkutut pada seorang peternak. Dusun Kalicangkring berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kecamatan Bangsal. Saya tak paham dan tidak mengerti mengapa bapak menggerutu sepanjang jalan. Karena saya lebih memilh tolah-toleh  melihat tanaman yang mirip pandan, berjajar sepanjang sungai yang dibentengi oleh rumpun bambu Jawa. Atau ketika mulai memasuki perkampungan, saya akan sibuk mengagumi tumpukan batu-bata atau genteng yang sedang mengalami proses pembakaran. Tak lupa membaui aroma kayu petai, randu, campur sekam yang mulai mengikis kadar air tanah liat. Juga sibuk dengan mulut yang penuh dengan berbagai gorengan. Aroma pembakaran tanah liat yang berbaur dengan aroma gorengan, embun, dan kopi yang dipesan bapak di warung dekat sawah merupakan kombinasi aroma yang dahsyat dalam ingatan saya, empat belas tahun silam. Biasanya bapak akan berhenti menggerutu ketika mulai menyuap gorengan ke mulutnya.
Setelah perut kenyang, sembari menunggu bapak yang menghabiskan seduhan kopinya, saya menghitung truk colt diesel  yang lalu-lalang di jalan depan warung. Tak jauh dari lokasi warung, terdapat portal yang terbuat dari bambu dengan pemberat di salah satu sisinya. Umumnya colt  yang lewat bukan jenis baru, cat yang terdapat pada kayu penghalang tiap sisinya mengelupas dan deru mesinnya terdengar seperti erangan tertahan. Sambil terus memperhatikan jalan yang selebar 2 meter yang penuh lubang dan undakan, tak sengaja saya ikut memperhatikan debu yang berhamburan membuntuti ekor colt  itu. Warnanya sedikit merah, bukan hitam, maupun abu-abu halus. Saya baru menyadari sumber deru mesin yang tertahan itu berasal dari colt yang mengangkut batu-bata ataupun genteng ke toko bahan bangunan yang lokasinya dekat dengan jalan protokol.
Mungkin saat itu saya tidak mengerti apa itu tekanan permukaan jalan, beban maksimum kendaraan, atau kapasitas jalan. Namun sederhana saja, aspal di jalan selebar 2 meter dan sepanjang 3 kilometer itu khatam ditempa tubuh truk yang membawa muatan batu-bata. Setiap hari pula, dan tidak hanya satu atau dua truk yang melintas. Ada hampir sepuluh truk dengan beban muatan yang sama. Barangkali itulah yang membuat bapak menggerutu tentang jalan yang berlubang, kualitas aspal, dan debu-debu yang membuntuti ekor kendaraan kami.
Kegiatan baca saya terhenti di stasiun Madiun. Saya beringsut menuju kursi di dekat jendela yang harusnya menjadi jatah saya sejak dua jam sebelumnya. Seorang ibu yang usianya sekitar 50 tahun menempati kursi yang saya tinggalkan barusan. Saya ingin mengatupkan mata, mengistirahatkannya dari paparan warna kertas putih kecoklatan dengan melihat bentang sawah yang hijau. Namun rupanya niatan saya batal, karena mulut saya lancang mengeluarkan suara,         “Ibu akan turun di mana?” pada penumpang baru itu.

Jadi, dua jam selanjutnya saya pasang telinga untuk menjadi pendengar yang baik. 

Senin, 11 Juli 2016

Yang Diingat dari Lebaran

           
via wikimedia.org

            Halo, apakabar?

Semoga niat baru yang baik sudah tertata rapi di dalam rongga hati. Kali ini saya bakalan cerita seputar suasana lebaran. Yang terekam dalam ingatan jangka pendek saya, merupakan sebuah kumpulan kata warna dinding baru, kue, petasan, uang saku, keluarga, serta ketupat. Sangat material. Terlihat oleh mata, mudah dihapal, dan tak perlu menduga-duga. Baik, saya akan merangkumnya dalam cerita yang tak terlalu panjang.
Perihal warna dinding baru. Saya selalu mengamati tetangga, atau bahkan perilaku bapak saya ketika seminggu menjelang lebaran. Berkaleng-kaleng cat, maupun beberapa bungkus gamping dibeli untuk memperbarui warna dinding yang mulai kusam. Rumah yang berjejer, meski pekarangan luas masih jadi pemisah deretan warna pastel terlihat semakin semarak. Tak lupa juga mengecat pagar rumah. Pekerjaan ini kerap dilakukan oleh kaum laki-laki, dan urusan mengecat akan selesai tepat ketika kumandang takbir bergema. Keesokan harinya ketika berjalan ke masjid untuk melakukan sholat Id, taraaaa... rumah seperti warna lollipop. Mungkin pemilik rumah sekalian beberes isi rumah, lagi demen sama suasana yang bersih. Itu rutinitas beberapa tahun yang lalu, namun saat ini banyak yan memilih menghemat pundi-pundi uang dengan memasang poselen di dinding rumahnya. Hanya perlu menyiram atau mengelap dinding ketika berdebu. Cukup praktis.
Beranjak ke kue khas lebaran, yeaay... oiya, sebelum membuat kue, saya pengen cerita dikit perihal tumpeng. Sejak saya kecil, kira-kira ketika usia SD kami (saya dan teman-teman sebaya) membawa tumpeng ke surau ketika datang waktu magrib. Selain digunakan untuk berbuka di ramadhan terakhir tahun tersebut, biasanya digunakan sebagai persediaan makanan untuk sarapan keesokan hari. Kalau saat ini di lingkungan baru, saya menjumpai tumpeng dibawa ke masjid selepas sholat Id. Belum sempat saya tanyakan mengapa seperti itu.
Oke, kembali pada perihal kue. Dari beberapa dapur masih tercium aroma adonan kue yang dipanggang. Sedap... sembari saya mengaduk ingatan lama pembuatan kue bersama mbah uti (nenek). Baik, menjelang lebaran kami disibukkan denga adonan kue, aroma vanili, tepung, mentega, telur, dan berbagai bahan kue lainnya menguar di seluruh penjuru rumah. Biasanya, kami membuat nastar, lidah kucing, kacang telur, kuping gajah, semprit, dan berbagai macam kue manis. Kadang membuat jenang, atau madumongso yang rasanya luar biasa manis, waktu pun tidak sebentar untuk membuat kedua makanan tersebut. Sedangkan untuk rasa asin dan gurih, kami membuat adonan kerupuk berbagai rasa. Bertahun-tahun kami melakukan hal tersebut, hingga mbah uti cukup sepuh dan tidak mampu membuat kue lagi. Kami membeli kue-kue tersebut di toko, dekat dengan pusat kota. Biasanya bonus jalan-jalan sore antara saya dengan bapak. Jalan raya belum seberapa ramai seperti saat ini. Jangan tanya apa resep kue yang saya sebutkan diatas, karena saya gak pernah ikutan untuk membuat adonannya. Saya hanya mengaduk-aduk tepung seenak jidat, mengusap tangan yang terkena pewarna makanan campur tepung pada kelambu yang sudah dicuci. Dan mencomot beberapa keping kue yang baru diangkat dari loyang, lupa kalau kondisi sedang berpuasa. Kalau sekarang, cukup dengan membeli makanan kemasan. Semua telah tersedia. Hanya butuh mengeluarkan toples, dan beberapa gelas dari persemayaman mereka, kemudian dicuci dengan kembang tujuh rupa. Haha.
Setelah urusan kue rampung bebarengan dengan bapak-bapak yang selesai mengecat dinding, kita bisa beristirahat dengan tenang untuk sementara. Esok harinya, kami berbondong menuju masjid. Sesekali diantara gema takbir terdapat bisikan tetangga dan jerit tangisan balita. Entah mengapa mereka kerap sekali menangis di waktu seperti ini. Mungkin, terlambat minum susu. Selepas sholat Id, petasan jenis blanggur (semacam meriam) yang diikuti oleh petasan kecil dikerek pada tiang setinggi 7 meter. Saya buru-buru pulang, karena tak tahan dengan bunyinya yang ribut. Sepanjang hari, bunyi petasan tak henti-henti.
Lebaran, perut selalu penuh dengan makanan manis. Sebenarnya kurang baik bagi pencernaan. Tak ada masakan sayur, sebab tak ada penjual yang buka. Seharusnya belanja pada malam harinya, atau merawat tanaman hidroponik yang siap panen ketika lebaran. Dan tak ada hidangan ketupat pada hari pertama lebaran. Orang-orang desa selalu membuat ketupat dan masakan bersantan lainnya tepat seminggu momen lebaran. Hari raya ketupat namanya. Otak-atik gatuk orang Jawa, sempat saya tanyakan sebentar kepada bapak, mengapa harus tujuh/pitu? Katanya, angka pitu berarti pitulungan (pertolongan) dengan jumlah hari yang cukup, tidak terlalu dekat maupun terlalu panjang. Yang paling mengesankan adalah proses menganyam janur untuk ketupat. Hanya sepuluh buah, namun tangan rasanya keriting. Begitulah.

Kali ini saya cerita itu dulu yak? Selamat balik ke rutinitas sehari-hari. Selamat menikmati liburan yang produktif bagi siswa-siswa yang akan mengadapi  masa orientasi siswa baru, minggu depan. Semoga hari-hari kalian menyenangkan...

Pesan dari Jakarta

Perjalanan menuju gedung ANRI Dalam rangka kuliah lapangan, kami sekelas bersepakat mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI...